tirto.id - UU Cipta Kerja yang diusulkan pemerintahan Joko Widodo dan disahkan DPR RI pada 5 Oktober lalu berpotensi membawa Indonesia terjebak dalam kebiasaan impor produk pertanian. Petani pun waswas dibuatnya.
Ketua Umum Serikat Petani (SPI) Indonesia Henry Saragih mengatakan pelonggaran impor pangan tampak jelas dalam revisi UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan). UU Cipta Kerja menghapus frasa pasal 30 ayat (1) beleid itu yang berbunyi: “setiap orang dilarang mengimpor komoditas pertanian pada saat ketersediaan komoditas pertanian dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan pemerintah.”
Dalam UU Cipta Kerja versi 812 halaman, pasal 30 ayat (1) diubah menjadi: “Kecukupan kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan pemerintah berasal dari produksi dalam negeri dan impor dengan tetap melindungi kepentingan petani.”
Frasa “mengutamakan produksi pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional” dalam pasal 15 juga ikut dihapus. Sanksi bagi orang yang mengimpor saat kebutuhan dalam negeri tercukupi dalam pasal 101 juga ditiadakan.
UU Cipta Kerja juga melonggarkan impor produk hortikultura dalam revisi UU 13/2010. Beleid setebal 812 halaman itu menghapus ketentuan “ketersediaan produk hortikultura dalam negeri dan penetapan sasaran produksi dan konsumsi” dalam pasal 88 sebagai aspek yang wajib dipertimbangkan dalam impor produk hortikultura.
“Ini jelas berdampak pada petani dalam negeri. Tidak ada lagi ketentuan kewajiban mengutamakan produksi pertanian dalam negeri,” ucap Henry dalam keterangan tertulis, Rabu (14/10/2020).
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santoso mengatakan aturan itu bermasalah meski maksudnya mengintegrasikan sistem pangan Indonesia ke pangan dunia, memenuhi ketentuan World Trade Organization (WTO) Agreement of Agriculture. Ia mengingatkan kesalahan yang sama pernah dilakukan pemerintah di tahun 90-an.
Dwi yang juga adalah Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) mencontohkan pada tahun 1990-an Indonesia sudah mencapai swasembada bawang putih dan kedelai. Namun tahun 2000-an pemerintah membuka keran impor untuk keduanya. Akibatnya, saat ini sekitar 90 persen kebutuhan bawang putih dipenuhi dari luar, tepatnya Cina. Sekitar 80-90 persen kebutuhan kedelai Indonesia juga dipenuhi dari impor karena waktu itu importir Indonesia mendapat banyak fasilitas dari Amerika Serikat.
“Konsep itu sudah mematikan petani bawang putih. Menyebabkan petani kedelai hilang juga,” ucap Dwi kepada reporter Tirto, Kamis (22/10/2020). “2000-an dibuka keran impor dan kita sekarang full impor.”
Dwi mengingatkan ketergantungan pada produk pangan luar negeri akan membuat Indonesia rentan terhadap gejolak harga komoditas pangan dunia. Pemerintah akan mengulangi kesalahan negara-negara di Afrika Utara dan Timur Tengah yang saat ini menjadi importir.
FAO food price index pada tahun 2011 sempat mencapai 131 poin, jauh dari posisi saat ini di bawah 100. Waktu itu lonjakan harga pangan dunia telah menciptakan instabilitas di negara-negara berpendapatan menengah ke bawah dan memicu gejolak politik. “Jatuhnya rezim Afrika Utara dan Timur-Tengah itu masalah pangan,” ucap Dwi.
Sekretaris Jenderal Aliansi Petani Indonesia Muhammad Nuruddin juga mengaku khawatir lantaran pelonggaran impor produk pertanian dapat berdampak pada petani lokal. Saat impor masuk tanpa memperhatikan pasokan dan musim panen, maka harga di tingkat petani mudah terganggu. “Impor jadinya bisa sangat memukul harga yang diterima petani,” ucap Nuruddin kepada reporter Tirto, Kamis.
Saat harga terganggu, bagaimana mungkin petani dapat tetap sejahtera apalagi mencari untung. Praktis, semakin sedikit juga masyarakat yang ingin tetap menanam apalagi menjaga produksi.
Harga tebu tingkat petani sempat jatuh jelang musim panen Juni 2020 ke angka Rp10.800 per kilogram dari posisi bulan puasa Rp12.300/kg lantaran tidak terserap perusahaan gula. Ironisnya, saat musim panen, impor gula tak menurun. Data BPS mencatat impor gula malah mencapai angka tertinggi di Juni 2020 yaitu 883.927 ton, padahal selama Maret-Mei berkisar 642-684 ribu ton. Sampai September 2020 impor gula masih 490.197 ton.
Pemerintah juga pernah kelebihan impor beras di tengah karut-marut data pangan tahun 2018. Imbasnya, per Februari 2020, sekitar 900 ribu ton beras impor di gudang Bulog belum tersalurkan sejak 2018 padahal masa simpan beras tanpa intervensi memadai hanya berkisar empat bulan sebelum harus dimusnahkan.
Pada Januari 2019, petani hortikultura pernah mengeluhkan impor jagung pemerintah lantaran mereka kesulitan menjual hasil panennya. Impor jagung tetap naik dari 84.102 ton (Januari) menjadi 177.192 ton di Maret 2019. Belakangan diketahui ada ketidakcocokan data antara produksi dan konsumsi pemerintah sehingga diduga menyebabkan kelebihan impor.
Reporter Tirto telah berupaya menghubungi Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Suwandi dan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Didi Sumedi. Namun pertanyaan tertulis dan panggilan telepon tak memperoleh jawaban.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino