tirto.id - Begitu menjabat sebagai Direktur Utama Perum Bulog, 27 April 2018, Budi Waseso mewacanakan beragam program menarik. Mulai dari niatan lebih banyak menggudangkan gabah, ambisi ekspor, rencana penguatan jejaring dengan TNI dan Polri, sampai peluncuran program beras renteng.
Sayangnya hingga 2018 rampung sederet terobosan ini justru tertutupi dengan bobroknya pengelolaan stok beras dan impor beras yang ugal-ugalan. Semua bermula pada transisi menjelang 2018, alias beberapa bulan sebelum penunjukan Buwas. Saat itu kondisi harga beras dalam negeri bergoncang.
Kementerian Pertanian (Kementan) mulanya yakin stok beras produksi petani dalam negeri 2018 akan cukup memenuhi kebutuhan masyarakat. Prediksi mereka per Desember 2017, sepanjang 2018 petani Indonesia bakal menghasilkan setidaknya 46,5 juta ton beras, jauh di atas kebutuhan konsumsi yang ditaksir berada di level 30 juta ton per tahun.
“Selama Januari-Maret 2018 adalah: 2,8 juta ton [Januari]; 5,4 juta ton [Februari]; dan 7,4 juta ton [Maret],” ujar Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementan, Agung Hendriadi, meyakinkan publik.
Masalahnya situasi harga di pasar tak sesuai dengan asumsi surplus yang digaungkan Hendriadi dan kolega. Berdasarkan data BPS, awal Januari 2018 beras medium di penggilingan mencapai Rp10.177 per kg, naik 6,83 persen dibandingkan Desember 2017. Jika ditotal dari September 2017, tingkat kenaikannya bahkan diperkirakan menembus 24,7 persen.
Situasi diperparah lantaran per 13 Januari 2018 Bulog mengklaim stok beras di gudang mereka berada di kisaran 903.000 ton. Angka ini dianggap tak bisa jadi jimat mujarab untuk meredam kenaikan harga di pasar.
Pemerintah lantas merespons dengan mengadakan Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) Beras pertama, 15 Januari 2018. Rapat ini dipimpin Darmin Nasution (saat itu Menko Perekonomian) dan dihadiri Enggartiasto Lukita (saat itu Menteri Perdagangan), Amran Sulaiman (saat itu Menteri Pertanian), Wahyu Kuncoro (Deputi Industri Argo dan Farmasi Kementerian BUMN), serta Dirut Bulog pendahulu Buwas yakni Djarot Kusumayakti.
Secara garis besar ada dua sikap tegas yang dihasilkan Rakortas pertama ini, yakni penggalakan operasi pasar dari 1.600 titik jadi 1.800 titik serta rencana impor 500.000 ton beras. Penugasan impor ini tertuang dalam surat Mendag nomor 94/M-DAG/SD/1/2018.
Dua orang yang paling meyakini bahwa impor bisa jadi jalan keluar adalah Darmin dan Enggar. Selain perkara kenaikan harga, keduanya punya dasar lain mengapa impor harus dilakukan, yakni penilaian bahwa prediksi beras Kementan kerap tak relevan.
Namun, setelah Rakortas Beras pertama itu masalah tak lenyap begitu saja. Musababnya 500 ribu ton beras yang hendak diimpor tak jua tiba ke dalam negeri hingga pertengahan Maret. Padahal, beras ini seharusnya sampai di Indonesia akhir Februari.
Di sisi lain per 15 Maret 2018 stok beras di gudang Bulog tambah tipis, jadi 649 ribu ton saja. 28 Maret dan 15 April 2018 Rakortas Beras lanjutan akhirnya dihelat.
Dilanda kepanikan, dalam dua kali Rakortas itu keluarlah keputusan mengejutkan. Impor hendak dinaikkan jadi 2 juta ton. Izin impor ini tertuang dalam Risalah Rakortas Bidang Perekonomian Nomor 28.03.2018.
Menteri Pertanian kala itu, Amran Sulaiman sebenarnya sama sekali tidak mengeluarkan rekomendasi teknis terhadap impor jor-joran ini. Fakta tersebut kami temukan dalam salinan Laporan Hasil Pemeriksaan Penyaluran CBP 2018 dan Pengelolaan Pendapatan 2017-2018 Perum Bulog yang dirilis Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), 16 Agustus 2019 (halaman 143).
Jika mengacu Pasal 17 ayat (2b) Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor, tidak adanya rekomendasi teknis Kementan harusnya bikin impor tak bisa digulirkan. Namun, kala itu impor tetap berjalan karena sebagian menteri yang hadir dalam rakortas menilai “situasinya sudah mendesak.” Sehingga, seperti yang ditulis auditor BPK, “rakortas akhirnya dianggap sebagai pengganti rekomendasi teknis.”
Tahu bahwa impor itu tanpa rekomendasi teknis, Budi Waseso yang baru beberapa bulan menjabat lantas mencak-mencak.
Sejak awal Buwas memang sosok yang mengklaim punya mimpi “membebaskan Indonesia dari impor beras.” Walhasil dia mengeluarkan pelbagai jurus untuk menekan permintaan impor pemerintah, termasuk hadir di Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi IV dan Komisi VI DPR di Gedung DPR, Senayan, 23 Mei 2018.
Dalam RDP ini Buwas dan dua komisi DPR terang-terangan sepakat menentang Impor.
“Pertama, kami meminta pemerintah memperbaiki tata kelola distribusi untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan pangan. Kedua, meminta Bulog mengidentifikasikan dan memetakan ketersediaan dan kebutuhan pangan pokok di tingkat nasional dan daerah,” ujar Edhy Prabowo, kala itu menjabat Ketua Komisi IV, menyampaikan kesimpulan hasil rapat.
Tetapi penolakan itu tidak menghasilkan apa-apa. Walau realisasinya tak sampai 2 juta ton, rekapitulasi BPK mencatat sepanjang 2018 Bulog mengimpor beras sebanyak 1.779.705,10 kg (1,78 juta ton) atau senilai lebih dari Rp12,1 triliun. Rincian beras impor ini antara lain datang dari India (185.850 ton), Pakistan (193.855 ton), Vietnam (696.600 ton), serta porsi terbesar Thailand (703.400 ton).
Total angka di atas jauh melampaui impor tahun-tahun sebelumnya. Lonjakan ini bikin gudang Bulog yang sebagian masih direnovasi dan cuma muat 2,2 juta ton jadi penuh. Total stok beras Bulog akhir 2018 disinyalir menembus angka 3 juta ton dan mereka akhirnya menyewa gudang tambahan milik TNI AU.
Kini, hampir dua tahun telah lewat sejak wacana impor fantastis di atas jadi realita. Bagaimana nasib beras-beras tersebut?
Beras Impor Masih Nganggur
Buwas mengakui bahwa beras impor sisa banyak. Ia menyebutkan sampai sekarang masih ada 900 ribu ton beras impor yang belum tersalurkan sejak 2018. Artinya, selama hampir dua tahun beras-beras yang tersalur belum ada setengahnya.
Ia pun menargetkan pada April 2020 beras itu harus sudah terdistribusi.
"Sekarang masih sisa sekitar 900 ribu ton. Makanya ini yang harus terus kami upayakan, targetnya April itu harus sudah tersalur," kata Buwas, Rabu 5 Februari 2020.
Anak buah Buwas, Direktur Operasional dan Pelayanan Publik (OPP) Perum Bulog, Tri Wahyudi Saleh menyebut peralihan program Rastra ke Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) yang dilakukan Kementerian Sosial (Kemensos) sebagai pemicunya.
"Saluran kami untuk distribusi jadi mengecil. Di sisi lain kami terus mendapat banyak penugasan," ujarnya, Jumat (31/1/2020).
Berbeda dengan Rastra yang seratus persen disuplai Bulog, BPNT diberikan pemerintah kepada kalangan tertentu dengan berbentuk uang tunai. Penerima dibebaskan membeli beras dan bahan pokok dari e-warong, semacam tempat untuk membeli sembako, yang tidak sepenuhnya mengandalkan beras Bulog.
Dalih Tri tidak keliru; faktanya peralihan Rastra ke BPNT memang berbuntut tak optimalnya angka distribusi beras Bulog lewat skema Public Service Obligation (PSO).
Dari data resmi Bulog, penyaluran lewat skema PSO tiga tahun terakhir terus turun, masing-masing berada di angka 2,7 juta ton (2017), 1,8 juta ton (2018), dan 325 ribu ton (2019/per November 2019). Angka ini tidak ada apa-apanya ketimbang skema pelepasan via PSO pada periode 2014-2016--ketika program Rastra masih ada--yang acap melampaui 3 juta ton per tahun.
Walau demikian, jika dikaji lebih cermat hilangya program Rastra bukan satu-satunya pemicu banyak beras impor di atas nganggur. Faktor yang tidak kalah penting adalah pencanangan impor yang sejak awal diwarnai pelbagai salah kaprah pemerintah.
Pertama, impor beras bertepatan dengan panen raya. Akibatnya beras impor harus bersaing dengan beras hasil produksi petani lokal.
Beras yang diimpor Bulog di satu sisi harganya memang lebih murah dari beras lokal dan secara visual punya tampilan lebih menarik. Namun, dari segi karakteristik dan rasa, beras-beras impor kedapatan lebih pera. Hal ini bikin masyarakat tak tertarik dan lebih memilih beras petani dalam negeri, bahkan meski kadar brokennya lebih tinggi.
"Dulu ada kesalahan waktu impor karena kami hanya, yang penting jumlahnya. Kami tidak berhitung masalah taste, masalah rasa," ujar Buwas mengakui.
Kasus demikian terjadi hampir di semua drive dan kantor penjualan Bulog, tak terkecuali di Jawa Barat. Saking susah lakunya, menurut laporan BPK, beras impor di Perum Bulog Drive Jabar sampai harus dijual memakai sistem bundling (paket) bersamaan beras dalam negeri (halaman 146).
Pada saat bersamaan, selain jadi bumerang, penjadwalan impor yang kacau ini juga melanggar regulasi. Pasal 3 Ayat (1) SK Menperindag No.9.MPP/Kep/1/2004 secara tegas mengatur impor beras dilarang dilakukan satu bulan sebelum panen raya, selama panen raya, atau dua bulan setelah panen raya.
Sebagai catatan, panen raya 2018 berlangsung bulan Februari-Maret. Larangan serupa juga ada dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras serta Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Polemik tak berhenti di situ. Di luar konteks waktu, blunder kedua yang bikin hasil impor tak laku adalah pemilihan jenis beras yang nyeleneh.
Mengakali Aturan Beras Impor
Audit BPK menyebut dari 1,78 juta ton beras impor, sekitar 826.854.502 kilogram (826 ribu ton) atau 40 persen di antaranya merupakan beras broken 5 persen. Jika mengacu Permendag Nomor 57 Tahun 2017, beras broken 5 persen termasuk dalam kategori beras premium.
Beras broken 5 persen ini diimpor dari Vietnam 108.542 ton, Thailand 659.622 ton, Pakistan 37.913 ton, dan India 20.776 ton. Sampai April 2019, beras broken 5 persen itu belum tersalurkan sebanyak 769.589 ton. BPK menyebutkan, sisa beras senilai Rp7,3 triliun itu terancam turun mutu.
Ada alasan mengapa beras-beras yang diklaim punya kualitas bagus ini mangkrak. Menteri Perdagangan kala itu, Enggartiasto Lukita memproyeksikan beras premium ini sebagai stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Perintah tersebut dikeluarkan sejak awal impor tahun 2018 dan ditegaskan kembali pada 29 Maret 2019 lewat surat bernomor 475/M.DAG/SD/3/2019 (halaman 147). Masalahnya, jika merujuk Inpres Nomor 5 Tahun 2015, beras premium seharusnya tidak boleh dimasukkan ke dalam stok CBP. Penyalurannya wajib melalui penjualan komersial.
Kontradiksi di atas bikin Kepala Drive Gudang Bulog Seluruh Indonesia (Selindo) sempat berpolemik dengan direksi Bulog mengenai dasar memutuskan beras premium dipaksakan menjadi CBP. Mereka saling mempertanyakan kenapa perintah perintah ini bisa muncul.
Akhirnya diambil jalan tengah: beras premium yang telah diimpor tetap digunakan sebagai CBP (sesuai instruksi Kemendag). Namun, agar tak menabrak regulasi, beras disalurkan lewat skema KPSH dengan sistem mixing (mencampurnya dengan beras medium).
Masalahnya, solusi ini pun bukanlah jalan keluar menguntungkan bagi Bulog sebagai korporasi. Sebab kebutuhan untuk mixing lebih kecil ketimbang penjualan beras secara apa adanya.
Menurut hitung-hitungan BPK, hingga akhir 2018 beras premium eks impor itu baru tersalur 36 ribu ton atau 4,36 persen dari pengadaan keseluruhan.
Kemudian sepanjang 2019, berdasarkan keterangan Tri ada sekitar 290 ribu ton tambahan beras premium terdistribusi. Artinya, saat ini di gudang Bulog masih ada sisa sekitar 500 ribu ton beras premium eks impor 2018.
"Dan itu [beras premium eks impor] masih kami lakukan penjualan melalui program KPSH [Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga]," ujar Tri.
Bulog pada dasarnya tidak bisa sepenuhnya dikambinghitamkan atas blunder ini. Bagaimanapun keputusan memasukkan beras premium sebagai CBP lagi-lagi bukan murni atas kemauan mereka, melainkan bersumber dari Rakortas dan surat penugasan yang dikirim Kemendag.
Kami mencoba mengonfirmasi eks Mendag Enggar berkali-kali untuk menanyakan dasar pemilihan beras impor premium sebagai CBP. Namun, hingga artikel ini rilis Enggar tidak bisa dihubungi.
Kami juga mencoba menanyakan hal serupa kepada Direktur Impor Kemendag, Ani Mulyati, tapi yang bersangkutan menolak menjelaskan dan meminta kami menghubungi atasannya.
“Ke pak Dirjen [Direktur Jenderal] saja ya,” ucapnya singkat.
Sayangnya, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag yang pernah menjabat di era Enggar, Oke Nurwan maupun Dirjen Perdangan Luar Negeri aktif saat ini, Indrasari Wisnu Wardhana juga sama-sama tutup mulut. Panggilan telepon kami diputus dan pertanyaan yang kami kirim lewat pesan singkat tak direspons.
Soal nasib beras-beras ini, jika sampai April tak tersalur, Buwas berkata masih menunggu Rakortas. "Nanti pasti akan dibahas lagi, pasti ada rakortas lagi. Hanya, belum bisa dipastikan kapan itu akan dibahas," kata Buwas.
Buwas juga menyadari masalah distribusi beras impor yang tersendat ini juga terjadi lantaran tugas Bulog yang tidak seimbang.
"Begini, beras impor itu tidak tersalur ada sebabnya. Sekarang permasalahannya, Bulog dapat tugas tidak seimbang, di hulu banyak tapi hilirnya tidak ada. Yang kedua, kita tidak ada dukungan dari APBN, untuk beli beras," katanya.
Belum Ada Solusi Konkret
Mengacu Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 Tahun 2018, beras yang melampaui batas waktu simpan paling sedikit empat bulan atau berpotensi turun mutu hendaknya didisposal. Artinya jika mau tegas, seharusnya 900 ribu beras eks impor yang masih ada di gudang Bulog saat ini dimusnahkan. Terlebih alarm bahwa beras-beras ini punya potensi besar untuk turun mutu sudah dibunyikan oleh BPK dalam rekomendasi hasil audit mereka yang keluar pertengahan 2019 lalu.
Hingga kini langkah berani itu tak masuk pertimbangan Bulog. Tri Wahyudi Saleh menyebut setahun terakhir timnya terus berupaya semaksimal mungkin menjaga sisa beras impor itu agar mutunya terjaga dan masih bisa disalurkan. Bagaimanapun, menurutnya, memusnahkan beras eks impor yang sebanyak itu bakal jadi langkah merugikan.
“Permentan memang bilang bahwa stok Bulog yang usia simpannya di atas empat bulan dapat dilakukan disposal atau pelepasan,” kata dia. “Namun, apabila perawatan dan pengolahannya dilakukan dengan baik, beras itu masih bisa dimaksimalkan dan tidak perlu didisposal.”
Tri lantas menjabarkan bahwa penjagaan kualitas beras uzur itu dilakukan Bulog dengan berbagai metode seperti blowing, sosoh, penggabungan dan pengkabutan serta color sorter.
"Beras itu masih layak, kami jamin sekarang masih layak sekali untuk dikonsumsi.”
Bulog juga menerapkan teknologi baru bernama sungkup alias cocoon. Hanya saja, teknologi ini masih dalam tahap uji coba; belum teraplikasi seratus persen.
Cocoon adalah semacam alat dari bahan menyerupai plastik untuk menyungkup beras. Cara kerja alat ini yakni dengan menjaga kadar CO2 pada titik tertentu hingga meminimalisir oksigen.
Dengan metode tersebut, celah hama untuk hidup dan menurunkan mutu beras akan terminimalisir. Tri mengklaim hasilnya beras bisa terjaga kualitasnya seperti saat pertama kali disimpan, bahkan meski sudah lewat setahun.
Namun, Tri mengakui bila tanpa diimbangi dengan jaminan bahwa beras ini bakal tersalurkan, secanggih apapun metode cocoon pada akhirnya juga akan jadi bom waktu semata.
Menjamin semakin luasnya saluran distribusi Bulog adalah solusi paling sehat jika tidak ingin mengurangi penugasan lembaga ini. Dan BPNT, bagaimanapun adalah jalur paling menjanjikan bagi Bulog untuk menyalurkan CBP selain dengan operasi pasar.
"Yang terjadi sampai sekarang, peluang Bulog menyalurkan beras lewat skema ini seperti jalan di tempat."
Pada 8 Juli 2019 Pemerintah lewat Kemensos sebenarnya sempat menelurkan imbauan lewat Surat Edaran Mensos Nomor 1/MS/K/07/2019 tentang Perum Bulog Sebagai Penyedia Komuditas BPNT. Isi surat ini, sebagaimana diklaim Mensos Agus Gumiwang Kartasasmita, adalah "karpet merah untuk Bulog" sebagai penyuplai utama beras BPNT.
"Saya yakin dengan strategi yang dilakukan di bawah Pak Budi Waseso, Perum Bulog dapat berperan maksimal. Jangankan 70 persen, 100 persen kami sangat welcome," kata Agus dalam pernyataan resminya.
Namun, patut disayangkan karena instruksi tersebut hanya berbentuk surat edaran yang tak ada konsekuensi hukumnya. Pihak Bulog mengakui jika hingga kini situasinya masih belum berubah drastis. Beras mereka di e-warong belum selaku yang diharapkan.
“Saya rasa ini harus dipikirkan bersama, tidak hanya Bulog saja," pungkas.
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Mawa Kresna