Menuju konten utama

Sengsara Bulog: Tak Cuma Beras, Utang Juga Bertumpuk

Di tengah penurunan angka distribusi beras dan komoditas lain, Bulog terus dituntut melakukan pengadaan dengan bergantung pinjaman bank. Bunga yang mencekik dan pelunasan yang memakan waktu lama bikin mereka kerap merugi.

Sengsara Bulog: Tak Cuma Beras, Utang Juga Bertumpuk
Utang Akhir Tahun Bulog. tirto.id/Lugas

tirto.id - Desember 2019 adalah bulan yang melelahkan bagi Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog). Belum juga reda kritik akibat kemunculan 20 ribu ton beras turun mutu eks pengadaan dalam negeri 2017-2018, ombak lain datang menerjang.

Pemicunya adalah publikasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) soal kinerja perusahaan-perusahaan pelat merah di Indonesia. Dari total 41 BUMN yang mendapat Penyertaan Modal Negara (PMN), berdasarkan data tersebut, ada tujuh yang merugi. Satu di antaranya Perum Bulog.

Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan Bulog merugi sebesar Rp797 miliar pada tahun 2018, padahal pada tahun 2017 dan 2016 Bulog masih untung masing-masing Rp705 miliar dan Rp892 miliar.

“Tahun 2017 sudah ada perubahan setelah 2 kali PMN, jumlah BUMN yang laba ada 38 perusahaan dan rugi 3 perusahaan. Tahun lalu BUMN yang laba jadi 34 perusahaan dan yang rugi 7 perusahaan,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani di Jakarta, 1 Desember 2019.

Sri Mulyani bilang Debt to Equity Ratio (DER) alias rasio utang terhadap modal Perum Bulog jauh dari kata membanggakan, yakni 3,19 dari batas aman 3. Selain itu berdasarkan indeks Altman (Z-Score) yang dirilis Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DKJN), nilai Bulog cuma 0,93. Capaian ini berada di bawah batas aman, yakni 1,3.

Indeks Z-Score merupakan piranti ukur yang kerap dipakai menilai kondisi maupun kinerja perusahaan mengacu laporan keuangan mereka. Pengukurannya dilakukan dengan melihat kerentanan perusahaan terhadap kemungkinan berbagai gejolak lewat penghitungan aset lancar, pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi hingga amortisasi.

Konon indeks ini dapat dijadikan dasar untuk meramal kebangkrutan suatu perusahaan. Jika ditarik ke rapor Bulog, tak heran apabila banyak orang mulai mulai bertanya-tanya soal seberapa dekat jarak organisasi kelahiran zaman orde baru ini dengan kebangkrutan.

Atau, tak usah jauh-jauh bicara soal hitungan njelimet. Kekhawatiran ini dilanggengkan oleh fakta menyoal posisi utang Bulog. Berdasarkan klaim terbaru Direktur Utama Budi Waseso, utang Bulog ke perbankan di Indonesia per akhir 2019 berkisar di angka Rp28 triliun.

"Iya, jumlahnya segitu. Masih sekitar segitu, sebelumnya, kan, juga sudah saya sampaikan," kata Buwas pada wartawan, Rabu 5 Februari 2020.

Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Tri Wahyudi Saleh dan Sekretaris Perusahaan Awaluddin Iqbal membenarkan juga soal angka utang itu. Namun mereka enggan memastikan lebih jauh sebab angka tersebut belum diaudit.

Buwas, begitu Budi Waseso biasa dipanggil, lantas tidak buru-buru menyebut situasi ini sebagai akhir dari segalanya. Saat menanggapi publikasi Kemenkeu di kantornya, 3 Desember 2019, pensiunan jenderal polisi bintang tiga itu bilang: bangkrut atau tidaknya Bulog adalah sesuatu yang relatif; tergantung sudut pandang yang dipakai.

“Untung kalau bicara komersial. Tapi [rugi] kalau bicara penugasan.” Sebab, kata Buwas, "ada beban bunga, dan dengan sistem yang ada, begitu menagih pembayaran ke pemerintah perjalanannya rada lumayan."

Penugasan Memaksa Bulog Berutang

Ucapan Buwas ada benarnya. Mengacu hasil audit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) terhadap laporan keuangan mereka dari tahun ke tahun, sebagian besar dari porsi utang Bulog muncul akibat penugasan pemerintah.

Contoh riilnya terjadi di 2018. Pada laporan akhir tahun, tercatat utang bank jangka pendek Bulog mencapai Rp29.306.598 juta alias Rp29,3 triliun. Naik sekitar 16,1 tiliun atau 121,37 persen tinimbang catatan utang pada penghujung 2017 (13,2 tiliun).

Kenaikan tersebut muncul bersamaan dengan tingginya penugasan dari pemerintah. Terkait komoditas beras misal, di dalam negeri Bulog menyerap beras sampai 3,2 juta ton. Meski meleset dari permintaan awal tahun Kementan (3,7 juta ton), namun angka ini naik signifikan dari 2017 yang realisasinya hanya 2,2 juta ton.

Kasus serupa terjadi dalam hal impor. Tahun 2018 Bulog tercatat mengimpor dua jenis beras, premium dan medium, dari empat negara berbeda dengan total jumlah 1,78 juta ton. Angka ini lagi-lagi naik signifikan, sebab pada 2017 Bulog cuma mengimpor 256 ribu ton beras.

Belum lagi untuk komoditas lain seperti beras dan gula, yang mana Bulog juga perlu melakukan penyerapan dalam jumlah besar.

Menjadi masalah karena kenaikan-kenaikan penugasan itu tidak diikuti perubahan kebijakan yang bisa memperluas pangsa distribusi Bulog. Alih-alih, jaminan distribusi mereka terus anjlok menyusul adanya transisi program Rastra ke Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).

Pada saat bersamaan aturan secara tegas menyebut Bulog tidak bisa menggunakan PMN atau APBN untuk membeli beras dalam negeri maupun impor. Artinya, mau tidak mau Bulog harus meminjam duit dulu dari bank untuk membeli beras maupun komoditas lain.

Rincian utang terbesar tahun 2018 tersebar ke tiga bank, yakni BRI (16,3 triliun), BNI (12,7 triliun) dan sisanya Bank Bukopin.

“Utang seperti itu baru akan dibayar jika berasnya sudah tersalur. Kalau CBP, ya berarti baru dibayar setelah tersalur dan pemerintah memberikan ganti rugi,” ujar Sekretaris Perusahaan Perum Bulog, Awaluddin Iqbal saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat (31/1/2020).

Beban terasa semakin berat karena pencairan dana dari pemerintah butuh waktu yang tidak singkat. Belum lagi jika beras-beras sulit terjual atau tersalurkan. Padahal, bunga utang Bulog di bank tidak sedikit. Jika ditotal, klaim Bulog, bunga itu bisa sampai Rp10 miliar per hari.

Tahun 2018 pun bunga bank yang ditanggung Bulog hingga akhir kalender menyentuh nilai Rp1,37 triliun, meningkat dari bunga yang harus ditanggung penghujung 2017 (Rp779 milyar).

Semua hitung-hitungan di atas baru utang bank. Belum termasuk utang pihak ketiga atau utang pajak.

“Utang pihak ketiga itu biasanya kami beli sesuatu untuk operasional, hanya pembayarannya belum selesai. Kalau pajak, ya berarti pajak yang memang belum waktunya di bayar sampai akhir kalender tahunan,” sambung Awaluddin.

Minim Tanda-Tanda Perbaikan

Menariknya, kendati mengalami lonjakan utang yang signifikan dari akhir 2017 ke 2018, pada penghujung 2019 situasi Bulog secara nominal utang membaik. Jika ucapan Buwas soal utang bank Rp28 triliun benar, artinya angka tersebut relatif berkurang ketimbang utang bank Bulog di penghujung 2018.

Namun jangan salah sangka, kasus tersebut tak bisa pula disebut sebagai pertanda bagus.

Musababnya, jika menggunakan logika matematika dasar, utang bank itu cuma berkurang sekitar Rp1 triliun lebih. Penurunan tipis ini teramat timpang dengan anjlok drastisnya serapan Bulog dari 2018 ke 2019.

Tahun lalu, Bulog tercatat menyerap 1,19 juta beras dari petani lokal alias cuma sekitar 37 persen jika dibanding serapan pada 2018 (3,2 juta ton). Mereka sama sekali tidak melakukan impor. Dalam hal komoditas lain serapan Bulog pun tak sebanyak tahun sebelumnya.

Pengadaan gula pasir Bulog misal, berkisar 4.324 ton, turun dari 4.700 ton pada 2017. Begitu pula jagung sebanyak 837 ton (turun dari 53.000 ton) dan minyak goreng sebanyak 1.568 kilo liter (turun dari 2.600 kilo liter). Satu-satunya komoditas yang pengadaannya naik adalah daging kerbau sebanyak 7.748 ton, meningkat dari 5.800 ton.

“Memang kepengennya pengadaan turun harusnya utang turun juga, karena logikanya mengerem pengadaan ditujukan untuk mengurangi stok di gudang. Kalau stok tersalur otomatis utang terbayar,” ujar Awaluddin. “Tapi logikanya tidak bisa murni seperti itu juga,” imbuhnya, menegasikan premis yang dilemparkannya sendiri.

Awaluddin menjelaskan, alphanya penurunan utang drastis Bulog meski pengadaan turun banyak dipengaruhi oleh situasi penugasan yang tidak seimbang di level hilir. Dalam hal ini adalah penugasan untuk melakukan penyaluran beras Rastra maupun operasi pasar yang semakin minim. Padahal, di sisi hulu penugasan untuk penyerapan masih cukup tinggi.

“Utang ini, kan, harusnya dipandang sebagai posisi gudang di akhir tahun. Kalau masih tinggi sederhana saja, artinya apa yang ada gudang masih banyak, harus disalurkan. Dan Bulog tentu tidak bisa memaksakan diri, karena kami bergerak juga ada penugasannya,” sambung Awaluddin.

Infografik HL Indepth Bulog

Utang Akhir Tahun Bulog. tirto.id/Lugas

Berharap Besar pada Komersialisasi

Masalah utang ini sebenarnya tidak didiamkan saja. Di tahun 2018 misal, saat impor beras sedang kencang-kencangnya, Buwas pernah mengusulkan keringanan supaya impor juga ditanggung APBN.

Setahun kemudian hasrat itu masih ada. Tepatnya saat menghadiri RDP dengan Komisi IV DPR 21 November 2019, eks Ketua Badan Narkotika Nasional (BNN) bahkan terang-terangan keinginan agar CBP--baik penyerapan dalam negeri maupun impor--ditopang duit negara.

“Harusnya CBP ini yang membiayai negara, bukan Bulog. Sekarang ini semua bertumpu ke Bulog.”

Buwas menyebut pada praktiknya uang penggantian yang diberikan negara pun tidak sesuai dengan beban yang harus dibayar. Selalu ada saja tambahan bunga yang mau tidak mau harus ditambal Bulog menggunakan duit laba hasil penjualan komersial mereka.

“Mau bagaimana pun kita rugi terus. Persoalannya karena keuntungannya untuk menutupi beban bunga tadi. karena memang penugasan," sambungnya.

Belakangan, Bulog sedang mengkampanyekan solusi lain yang lebih logis untuk memangkas utang ini, yakni dengan penyaluran komersial (penjualan) yang porsinya lebih besar, khususnya terkait komoditas beras.

Sebagai catatan, porsi penugasan dan komersial Bulog relatif timpang, sekitar 80:20 persen. Wacananya, pada 2020 ini Bulog bakal berupaya membuat proporsi itu berimbang jadi 50:50 persen.

Dengan porsi komersial yang lebih besar, Bulog yakin dapat mengeruk keuntungan lebih banyak dan mampu mencicil bunga-bunga utangnya dengan lebih cepat.

Belakangan Buwas meralat pernyataannya soal proporsi 50:50 itu. "Enggak, enggak gitu. Bukan maksudnya kita minta jualan lebih banyak. Itu, kan, bahasa saja. Angka itu cuma bahasa. Bahasa apa? Supaya porsi kami hulu dan hilir lebih imbang. Kalau target komersialisasi 50 persen, itu enggak ya, saya kira belum kalau tahun ini," kata Buwas, Rabu 5 Februari 2020.

Namun demikian niatan komersialisasi ini sebenarnya sudah sudah dicicil tahun lalu, misalnya dengan meluncurkan lapak panganandotcom di berbagai e-commerce kenamaan. Sepanjang 2019, Bulog juga telah meluncurkan sekitar 50 produk beras baru. Peluncuran ini bertujuan meningkatkan pilihan dan ketertarikan konsumen.

Hanya saja, Bulog sendiri menyadari bahwa misi itu tak mungkin berjalan mulus jika porsi penugasan mereka antara hulu dan hilir tidak dibereskan lebih dulu.

“Sesungguhnya Bulog juga membutuhkan sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan dari para regulator,” ujar Buwas. “Dan dukungan sistem penganggaran yang jelas serta mudah dilaksanakan sejak dari hulu dan juga sisi hilir.

Baca juga artikel terkait BULOG atau tulisan lainnya dari Herdanang Ahmad Fauzan

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Herdanang Ahmad Fauzan
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Mawa Kresna