tirto.id - Kementerian Perdagangan memastikan Indonesia akan kedatangan 60 ribu ton jagung impor hingga Maret 2019. Jumlah ini diperoleh setelah pemerintah memutuskan menambah impor jagung untuk kebutuhan pakan ternak sebanyak 30 ribu ton, Februari mendatang.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan, kebijakan itu diputuskan setelah rapat koordinasi terbatas yang dilakukan tahun lalu saat pemerintah membuka keran impor jagung sebanyak 100 ribu ton.
Berdasarkan keputusan itu, kata Oke, jagung impor yang masuk sudah 70 ribu ton hingga Desember 2018. Sementara sisanya yang berjumlah 30 ribu ton akan masuk pada tahun ini.
Artinya, dengan penambahan 30 ribu ton lagi, maka hingga Maret nanti akan ada 60 ribu ton impor jagung.
Pertimbangan untuk menambah impor jagung, kata Oke, dilihat dari kebutuhan konsumsi para pengusaha ternak mandiri. “Jadi sedang diusulkan untuk itu [tambah impor 30 ribu ton]. Menurut rakortas harus tambah,” kata Oke, di Kementerian Perdagangan, Senin lalu.
Namun, Ketua Asosiasi Hortikultura Nasional Anton Muslim Arbi menampik bila Indonesia tengah membutuhkan impor jagung.
Menurut dia, produksi jagung lokal masih dapat mencukupi kebutuhan di daerah-daerah. Bahkan, kata Anton, jumlahnya sedang surplus.
Apa yang dikatakan Anton bisa jadi benar. Sebab rilis Kementerian Pertanian pada 2018 menunjukkan adanya tren kenaikan, baik produksi maupun konsumsi jagung hingga 2021 mendatang. Surplus jagung pun dipastikan tetap terjadi hingga tahun 2021.
Pada 2019, produksi jagung diperkirakan mencapai 29,9 juta ton dan konsumsi 21,6 juta ton. Jumlah ini diprediksi naik dibanding tahun 2018 dengan jumlah produksi 28,6 juta ton dan konsumsi 20,3 juta ton. Keduanya memiliki neraca jagung surplus sebanyak 6,7 juta ton.
“Kalau jagung bisa disuplai dari dalam negeri, kenapa harus impor?” kata Anton mempertanyakan keputusan pemerintah.
Anton mengkhawatirkan bila pemerintah tetap melanjutkan rencana itu, maka langkah tersebut akan memukul petani lokal. Apalagi rencana impor jagung yang dilakukan Kemendag nanti berdekatan dengan masa panen raya yang siklusnya antara Oktober hingga Maret.
Kehadiran jagung impor, kata Anton, akan semakin menyulitkan petani menjual hasil panennya. Ia menilai kondisi ini menunjukkan pemerintah tidak serius soal urusan pangan. Padahal pada 2014 silam, kata dia, Presiden Jokowi pernah berjanji setop impor.
Selain itu, kata Anton, kebijakan impor jagung ini sebagai bukti bukti bahwa pemerintah tidak melindungi petani lokal dari terjangan impor pangan.
“Kami bingung alasan impor jagung sekarang yang dekat dengan masa panen. Ini, kan, blunder. Kalau seperti ini presiden ingkar janji dong. [Kebijakannya] malah menyakiti petani,” kata Anton.
Sementara itu, peneliti cum dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santoso mengatakan tidak heran bila keputusan impor bertentangan dengan klaim data Kementan yang selalu menyebut jagung surplus.
Dwi mencontohkan, pada November 2018, keputusan impor 100 ribu ton jagung malah menyebabkan kenaikan harga jagung di atas Rp6000/kg. Ia memprediksi kesalahan yang sama juga akan terjadi saat pemerintah menambah 30 ribu ton pada tahun ini.
“Keputusan impor saat ini karena mereka enggak punya satu pun data yang bisa dijadikan pijakan,” kata Dwi kepada reporter Tirto.
Dwi mengatakan polemik ini hanya dapat diselesaikan bila pemerintah menggunakan data produksi jagung yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS).
Sebab, klaim Kementan yang mengatakan biaya logistik mahal, kata Dwi, hanyalah dalih untuk menutupi pertentangan antara klaim surplus dengan harga jagung di pasaran yang ternyata melonjak.
“Harus ada pembenahan data. Sektoral enggak boleh mengurusi data, kalau enggak jadi kacau. Lihat saja selama 4 tahun ini data Kementan dan BPS bisa selisih banyak,” kata Dwi.
Dalih Kementan Soal Impor Jagung
Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriadi mengatakan impor yang disepakati oleh Kementan dan Kemendag semata-mata ditujukan untuk menstabilkan harga agar mencapai Rp4.500/kg.
Agung menilai ketersediaan jagung belum cukup merata di berbagai daerah, terutama pada awal tahun. Sebab, kata Agung, sebagian besar panen baru akan terjadi mulai akhir Januari 2019.
“Untuk pengendalian harga saja. Kalau sudah turun harganya, ya sudah [tidak impor lagi]” kata Agung.
Kalau pun sudah panen, Agung menuturkan, terdapat kendala menyalurkan jagung dari petani ke peternak lantaran saling berjauhan. Dengan demikian, terdapat kendala biaya distribusi yang menyebabkan harga jagung seolah tetap mahal kendati sudah panen.
“Indonesia ini, kan, negara kepulauan. Tidak mudah menekan biaya logistik apalagi kalau harus sama seperti Thailnad atau India,” kata Agung.
Meski demikian, Agung membenarkan bila stok jagung domestik masih berada di angka yang cukup.
Per tahunnya, kata Agung, panen jagung dapat mencapai 33 juta ton. Sementara kebutuhan pakan ternak hanya sekitar 12 juta ton per tahunnya, sehingga ia yakin hasil produksi jagung tetap surplus.
Atas dasar itu, Agung justru mengisyaratkan jika impor jangung memang belum diperlukan. Apalagi pada akhir Januari, Maret, dan April tahun ini, petani akan panen raya.
“Sudah seharusnya kalau mau panen tidak perlu impor. Kan, jagungnya ada,” kata Agung.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz