tirto.id - Asosiasi Petani Jagung Indonesia (APJI) menyayangkan keputusan pemerintah yang mengizinkan impor jagung 100 ribu ton melalui Perum Bulog. Kebijakan ini dinilai sama sekali tidak tepat jelang masa panen.
“Saya khawatir kebijakan pemerintah ini akan menurunkan semangat petani,” kata Ketua APJI Sholahuddin kepada reporter Tirto, Kamis (8/11/2018) kemarin.
Menurut Sholahuddin, alasan pemerintah membuka keran impor demi menjaga harga jagung pakan ternak di Jawa Timur tak masuk akal. Sebab, sekitar dua pekan lagi, lahan di sejumlah daerah seperti Jember, Tuban, Kediri, Jombang, dan Mojokerto akan panen.
Pernyataan itu sekaligus menepis anggapan bahwa kenaikan harga pakan ternak selama ini diakibatkan produksi jagung yang menurun.
“Kalau ada yang menyebut impor perlu dilakukan karena stok menipis, kami bisa mentahkan itu. Saat ini pabrik pengering kami di Lamongan saja masih ada stok 6.000 ton. Di Dompu juga masih banyak stok karena di sana masih ada panen,” kata Sholahuddin.
Karena itu Sholahuddin meminta pemerintah mempertimbangkan kembali keputusan impor. Di tengah kondisi surplus tersebut, kata dia, semestinya pemerintah melalui Bulog memilih opsi menyerap jagung dalam negeri saja.
Apalagi, kata dia, Undang-undang mengamanatkan agar pemerintah harus melindungi petani dari kerugian. “Impor ketika panen raya melanggar undang-undang karena itu bisa menyebabkan harga anjlok,” kata dia.
Dengan kondisi tanam dan panen yang bervariasi, Sholahuddin optimis produksi jagung hingga akhir tahun ini bisa mencapai target yang ditetapkan pemerintah. Ia semakin optimis karena panen tahun ini mencakup lahan yang cukup luas.
Dia mencontohkan, penanaman jagung di sejumlah wilayah pada September lalu mencapai 5,86 juta hektare. Hingga akhir Oktober lalu, kata Sholahuddin, produksi jagung diperkirakan sudah mencapai 25,97 juta ton.
“Insyaallah dengan semangat petani untuk menanam, target 30,05 juta ton jagung di 2018 bisa tercapai. Semangat petani itu yang perlu kita jaga,” kata dia.
Beda dengan Sholahuddin, keputusan impor ini diapresiasi Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) Sudirman. Dia menyebutkan kebutuhan jagung untuk pakan ternak bisa mencapai 850 ribu ton per bulan, sedangkan khusus untuk peternak mandiri sekitar 200 ribu ton per bulan.
Sayangnya, kata Sudirman, kebijakan ini dinilai terlambat lantaran impor jagung baru bisa terealisasi setidaknya pada Desember nanti atau bahkan Januari 2019.
Sejumlah negara yang berpotensi menjadi pemasok seperti Argentina dan Brasil segera memasuki musim gugur. Hal ini setidaknya berdampak pada dua hal: pertama, harga jagung di pasar internasional terkerek; kedua, harga tersebut berpotensi tetap melambung dalam dua bulan hingga Januari.
“Target [impor] 50 ribu ton-100 ribu ton kemudian kami [diminta] turunkan harga jagung jadi Rp4.000 itu enggak mungkin,” kata dia.
Saat ditemui di kawasan Pasar Induk Cipinang, Kamis (8/11/2018) lalu, Menteri Pertanian Amran Sulaiman tetap bersikukuh kebijakan impor 100 ribu ton akan tetap dilakukan untuk berjaga-jaga bila harga jagung pakan ternak mengalami kenaikan.
Langkah itu diambil lantaran produksi jagung dari petani lokal diborong pengusaha-pengusaha peternakan besar sebagai pengganti pakan ternak dari gandum. Hal ini, kata Amran, menyebabkan para peternak kecil mandiri yang memanfaatkan jagung dari petani tak dapat jatah.
“Harusnya [pengusaha besar] impor gandum, biasanya 200 ribu ton. Tetapi sampai hari ini nol. Enggak ada. Karena katanya alasannya ada kenaikan dolar. Selisih Rp2 ribu. Sehingga mereka ramai-ramai serap jagung ke petani. Dibayar sebelum panen,” kata Amran.
Amran mengaku stok jagung yang melimpah dari berbagai daerah sebenarnya bisa diserap Bulog untuk mengontrol harga. Namun, Amran malah ragu dengan kemampuan Bulog mengoptimalkan stok jagung dari dalam negeri.
“Bulog bukan hanya itu saja tugasnya. Banyak,” kata Amran.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) Sumardjo Gatot Irianto sebelumnya sempat mewanti-wanti bila impor jagung yang dilakukan pemerintah berpotensi tidak terserap di tengah surplusnya cadangan Bulog.
Alasannya, kata dia, saat melakukan impor jagung sebanyak 1,1 juta ton pada 2016, ternyata banyak peternak yang tidak menyerap dan membuat perusahaan pelat merah itu merugi.
Terkait hal ini, Dirut Perum Bulog Budi Waseso menyampaikan pihaknya tengah mendata berapa perkiraan jagung yang bisa diserap oleh peternak kecil mandiri.
“Nanti kami suplai tidak ke pengusaha besar, tetapi ke peternak kecil. Tidak sampai dua minggu sudah terdistribusi. Impor belum berlangsung. Yang ada dulu. Dilihat kebutuhan per hari, per minggu,” kata pria yang akrab disapa Buwas ini.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz