tirto.id - Sukarno ada di Sungai Kahayan atau Sungai Dayak Besar pada 17 Juli 1957, mengarunginya selama 36 jam lebih. Ia merencanakan daerah yang dilewati sungai tersebut, Kota Palangkaraya, menjadi ibu kota baru bagi Indonesia. Wijanarka dalam Sukarno dan Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangkaraya (2006) mencatat bahwa Bung Besar setidaknya dua kali mengunjungi kota yang dahulu hanya berupa kampung kecil tersebut.
Namun memasok bahan-bahan pembangunan dan akses ke lokasi sangat sulit. Karena itu rencana tinggal rencana. Sumber lain mengatakan bahwa rencana ini juga terbengkalai karena pemerintah sibuk dengan Asian Games 1962 yang diselenggarakan di Jakarta.
Wacana serupa muncul lagi pada masa Soeharto. Sang Jenderal terobsesi dengan Jonggol yang terletak di Jawa Barat. Pada 1997, ia meneken Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1 Tahun 1997 tentang Koordinasi Pengembangan Kawasan Jonggol sebagai Kota Mandiri. Namun, sebelum rencana diteruskan, seperti yang semua orang tahu, Soeharto keburu lengser dari kekuasaannya.
Di era Reformasi bisa dikatakan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-lah yang serius menggarap ibu kota baru. Rencananya begini: Jakarta tetap jadi pusat perdagangan, tapi pusat pemerintahan ada di tempat lain. Rencana ibu kota baru tetap ada di Kalimantan, taksiran dana yang dibutuhkan mencapai Rp100 triliun.
Sejak itu bisa dikatakan hampir setiap tahun wacana ibu kota baru mencuat. Di awal kepemimpinan Joko Widodo, Megawati Soekarnoputri, yang merupakan Ketua PDIP, partai pengusung Sang Presiden Ketujuh, setuju agar ibu kota dipindahkan ke Kalimantan. Tentu saja yang ia sebut adalah Palangkaraya, yang direncanakan bapaknya tapi tenggelam sekian lama.
Sekarang wacana ibu kota baru semakin mendekati kenyataan. Adalah Jokowi yang berhasil merampungkan itu semua bersama DPR periode 2019-2024.
Jika Roro Jonggrang membangun candi dalam satu malam, maka DPR dan pemerintah, berhasil mengesahkan UU Ibu Kota Negara (IKN) Selasa 18 Januari lalu setelah digodok hanya selama 16 jam. Palu tanda pengesahan diketuk Ketua DPR RI Puan Maharani, anak Megawati, cucu Sukarno.
Minim Oposisi
“Lima tahun ke depan, mohon maaf, saya sudah enggak ada beban. Saya sudah enggak bisa nyalon lagi. Jadi, apa pun yang terbaik untuk negara, akan saya lakukan,” kata Jokowi dalam kampanye jelang hari pencoblosan Pilpres 2019.
Pernyataan tersebut patut disambut dengan pertanyaan: apakah yang terbaik baik negara tetap diputuskan dengan mempertimbangkan suara rakyat layaknya sistem demokrasi yang baik?
Faktanya pemerintah dan DPR periode 2019-2024 sudah dikritik habis-habisan oleh masyarakat ketika mengesahkan peraturan yang mereka anggap baik, UU Cipta Kerja, pada 2020. Bukan hanya buru-buru, peraturan itu juga seakan dibahas tertutup tanpa mempertimbangkan masukan dan tentunya kritik.
Ketika disahkan oleh DPR, draf yang tersebar ke publik masih beragam versi. Ada yang 812, 905, bahkan 1.035 halaman. Di dalamnya juga terdapat banyak salah pengetikan dan aturan yang seharusnya sudah dikeluarkan dari rancangan.
Di kemudian hari, Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa UU Cipta Kerja “inkonstitusional bersyarat” dan dianggap tidak cukup menampung aspirasi publik. Tapi aturan itu telanjur berlaku dan bertahan hingga sekarang.
Hal serupa terjadi pada UU IKN, yaitu sama-sama memiliki segudang masalah.
Apa pun aturan yang diniatkan oleh DPR dan pemerintah untuk disahkan secara kebut-kebutan memang sejak awal keinginan dari kelompok tertentu–dalam hal ini barisan Jokowi dan koalisinya. Dua regulasi yang lekas terbit ini kebanyakan adalah aturan yang lebih banyak menguntungkan kelompok elite politik dan ekonomi.
Di sisi lain, peraturan yang didesak lekas disahkan oleh masyarakat sampai saat ini belum jelas ujungnya, yaitu RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Cepatnya regulasi tersebut disahkan hanya dapat terjadi karena pemerintahan saat ini minim oposisi. Menurut peneliti di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati, hal itu tak terlepas dari apa yang dilakukan Jokowi.
Dalam artikel Fenomena Kemunduran Demokrasi Indonesia 2021 (2021, PDF), Wasis menulis tentang hubungan kelompok nasionalis-pluralis dengan konservatif yang kian buruk di periode kedua Jokowi. Meski Jokowi banyak memberikan akomodasi politik, tapi Wasis memandang dia tidak memberi porsi banyak bagi kelompok islamis.
Bagi Wasis, Jokowi menerapkan prinsip Jawa, bahwa matahari tidak boleh kembar. “Artinya, Presiden Jokowi entah itu akan merangkul atau bahkan mengeliminasi lawan politiknya. Praktik terakhir ini yang tentunya berlawanan terhadap demokrasi yang perlu adanya oposisi sebagai penyeimbang.”
Selain oposisi resmi, oposisi jalanan pun diredam dengan alasan penanganan pandemi, terutama penegakkan protokol kesehatan. “Kita bisa melihat cara pemerintah merespons pandemi itu justru malah berbuah semakin rakusnya elite politik.” Ini menjadi alasan lain mengapa kualitas demokrasi Indonesia menurun, simpul Wasis.
Apa yang dikatakan Wasis terlihat sejak Jokowi merangkul Partai Gerindra ke dalam koalisi pendukung pemerintah dan menjadikan dua kader partai itu sebagai menteri. Namun, Efriza dalam penelitian berjudul Koalisi dan Pengelolaan Koalisi, Pada Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (2018, PDF) menyebut sebenarnya gaya transaksional dan akomodasi Jokowi telah terlihat sejak periode pertama.
Menurutnya ini bukan hanya pada masa Jokowi, era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun demikian. Apa yang dilakukan Jokowi adalah memperluas lagi cengkeramannya. Tidak hanya di DPR, tapi dia juga memberikan jabatan bagi pendukungnya sebagai duta besar dan pejabat BUMN.
Efriza menulis: “Hal ini bisa terjadi disebabkan oleh: pertama, gaya memerintah presiden yang cenderung akomodatif dan transaksional; dan kedua, lemahnya institusional partai dan cenderung pragmatis. Lemahnya institusional partai dan perilaku cenderung pragmatis dapat kita anggap juga menyebabkan terjadinya penerapan strategi politik berupa nomadisme partai.”
Pandangan serupa dikemukakan Antonius Jeremias Beso dan Restu Rahmawati dalam Hubungan Eksekutif dan Legislatif pada Era Presiden Joko Widodo Periode 2014-2019 (2021). Bagi mereka, hubungan eksekutif dan legislatif di masa itu adalah hasil politik transaksional belaka. Dampaknya, transaksi itu “tidak akan membangun pola demokrasi yang sehat.” Bentuk pemerintahan seperti itu akan menghasilkan “kekuatan yang tahan kritik, yang arah berjalannya sudah diatur partai politik.”
“Dengan demikian, tergantung bagaimana tawar-menawar antara eksekutif dan partai politik, agar presiden mendapatkan dukungan penuh di parlemen,” catat mereka.
Citra tetap Baik
Dalam situasi seperti ini, tak heran survei dari Indikator Politik 2021 menyebut DPR dan partai menempati urutan terbawah lembaga paling dipercaya publik–alias paling tidak dipercaya.
Namun ketidakpercayaan pada partai berbanding terbalik dengan tingkat kepercayaan kepada Jokowi. Seakan-akan Jokowi adalah bagian terpisah dari partai dalam pengambilan keputusan yang buruk. Hasil survei Indikator Politik yang rilis 2022 mencatat bahwa tingkat kepercayaan dan kepuasan masyarakat pada Jokowi mencapai 71 persen.
Dengan begini, selain mampu merampungkan rencana-rencananya bersama legislatif, Jokowi berhasil menjaga citra baik dan dukungan masyarakat.
Memang waktu Jokowi sebentar lagi selesai. Dia hanya akan bertahan dua tahun lagi. Namun setelahnya tetap mengkhawatirkan karena keberhasilan “politik transaksional” tentu bisa menjadi contoh bagi pemimpin berikutnya, sama seperti ketika Jokowi belajar “win win solution” di parlemen dari SBY.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino