Menuju konten utama

Sampai Kapan Kita Menunggu DPR Mengesahkan RUU TPKS?

RUU TPKS lamban jadi undang-undang meski hanya satu partai yang konsisten menolak.

Sampai Kapan Kita Menunggu DPR Mengesahkan RUU TPKS?
Sejumlah aktivis organisasi perempuan membawa spanduk pada Kampanye Anti Kekerasan terhadap Perempuan di Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (10/12/2021). ANTARA FOTO/Basri Marzuki/rwa.

tirto.id - MS dilecehkan secara seksual di tempat kerjanya, sebuah lembaga negara bernama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), selama 10 tahun. Ia baru berani angkat suara tahun lalu dengan harapan mendapatkan keadilan. Namun, setelah melalui serangkaian proses pemeriksaan yang panjang, dari September 2021 hingga sekarang, kasusnya belum juga tuntas.

Penilaian Komnas HAM menyimpulkan “KPI gagal secara lembaga menciptakan lingkungan kerja yang sehat, aman dan, nyaman serta mengambil langkah-langkah yang mendukung pemulihan korban.”

Dengan mengambil contoh kasus KPI, Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin kembali mendesak DPR RI untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). RUU ini penting tidak hanya bagi MS, tapi juga korban-korban kekerasan seksual yang masih saja banyak setiap tahunnya.

“Bagaimana kita bisa melindungi seseorang yang mengalami kekerasan seksual di sebuah ruang yang sunyi dengan KUHP? Itu tidak mungkin,” kata Mariana.

Pada medio 2020, lembaga yang dipimpin oleh Puan Maharani tersebut mengeluarkan RUU TPKS (saat itu masih bernama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual/PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas. Peraturan tersebut baru kembali masuk pada Prolegnas Prioritas 2021. Pada Rapat Paripurna Desember 2021, RUU TPKS ternyata tidak masuk ke dalam agenda pengesahan padahal sebelumnya Ketua Tim Panitia Kerja RUU TPKS Willy Aditya sempat menargetkan RUU rampung sebelum peringatan Hari Ibu 22 Desember.

Puan, yang seorang perempuan, kelompok masyarakat paling rentan dilecehkan secara seksual, menjelaskan mengapa rancangan peraturan tersebut tak dibahas. “Ini soal waktu, timing,” katanya. Meski belum mengetok palu sidang, ia mengklaim “pimpinan dan DPR tentu saja mendukung dan segera akan mengesahkan ini melalui keputusan tingkat 2, yaitu melalui paripurna.”

Maka pupus sudah harapan masyarakat untuk menyambut tahun baru dengan aturan untuk melindungi korban-korban kekerasan seksual dan DPR semakin dikritik habis-habisan oleh masyarakat.

Proses Legislasi Tak Jelas

Jika sedemikian penting, lalu mengapa RUU TPKS tak kunjung disahkan?

Joko Riskiyono, tenaga ahli Baleg DPR, mengakui bahwa selama ini banyak aspirasi masyarakat yang belum terakomodasi secara layak. Kelompok yang lebih diakomodasi tak lain adalah elite. “Sulit ditolak bahwa perundang-undangan itu lebih menguntungkan pihak yang makmur, dan mereka yang lebih aktif melakukan kegiatan-kegiatan politik,” catatnya dalam Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Perundang-undangan Untuk Mewujudkan Kesejahteraan (2015).

Pernyataan tersebut tampak jelas dalam kasus RUU TPKS. Pada tahun 2020, ketika RUU TPKS yang namanya masih RUU PKS tak kunjung dibahas, DPR justru memilih untuk merampungkan UU Cipta Kerja. Oleh banyak kalangan, peraturan ini hanya menguntungkan pengusaha. Sementara RUU TPKS tampaknya tidak punya kaitan langsung dengan peningkatan ekonomi.

Pada tahun tersebut RUU PKS ditinggalkan karena “pembahasannya agak sulit,” padahal RUU Cipta Kerja juga serupa. Karena disusun dengan metode omnibus, RUU Cipta Kerja berdampak pada banyak UU dan regulasi lain.

Selain lebih berpengaruh pada ekonomi, pengesahan RUU Cipta Kerja adalah permintaan langsung dari pemerintah. Kendati ada penolakan dari Partai Demokrat, toh partai-partai di parlemen yang sebagian besar merupakan koalisi pendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin tak segan-segan untuk mengebutkan pembahasannya. RUU Cipta Kerja yang di kemudian hari dinyatakan inkonstitusional bersyarat tetap dilegalkan menjadi undang-undang.

Partai yang paling lantang menolak RUU PKS (juga RUU TPKS) adalah PKS. Menurut mereka, hubungan seksual konsensual--yang menjadi pembatas apakah suatu tindakan disebut pelecehan atau tidak--sama saja melegalkan zina. Hingga hari ini PKS menolak RUU TPKS menjadi RUU inisiatif DPR tanpa adanya pembahasan aturan zina dan LGBT terlebih dahulu.

Berkaca dari kasus RUU Cipta Kerja, suara dari PKS sebenarnya tidak cukup menghalangi aturan disahkan. PKS hanya punya sekitar 50 kursi atau setara dengan 8,70% suara di DPR. Bahkan tetap tidak cukup jika ditambah dengan Partai Golkar yang meminta RUU TPKS ditunda hingga masa sidang 2022. Jumlah suara mereka di parlemen hanya sekitar 23,48%.

Tapi faktanya keinginan PKS dan Partai Golkar terkabul. Setidaknya sampai awal tahun ini belum jelas kapan RUU TPKS akan disahkan.

Willy Aditya mengatakan bahwa penyebabnya adalah perdebatan di level pimpinan DPR (Puan Maharani, Lodewijk Freidrich Paulus, Rachmat Gobel, Muhaimin Iskandar, dan Sufmi Dasco Ahmad). “Di pimpinan belum ada kata sepakat, jadi kita tunggulah pimpinan nanti,” kata Willy. Dengan kata lain, berbeda dengan apa yang disampaikan Puan, bahwa pengesahan ditunda hanya karena keterbatasan waktu.

Apa pun alasan sebenarnya, ada pertimbangan politik yang cukup jelas. Ini terlihat dari berubahnya sikap Partai Golkar setelah muncul arahan dari Jokowi. Partai Golkar yang awalnya ingin menunda justru mendorong agar RUU TPKS bisa disahkan. Jika disahkan tanpa pembahasan tambahan, RUU TPKS yang katanya “sulit” tersebut ternyata hanya butuh waktu sekitar tiga bulan untuk diselesaikan.

Akankah Dituntaskan?

Naskah akademik dan pembahasan besar pertama RUU PKS dimulai pada 2016. Dua peristiwa yang bisa jadi pemicunya adalah kematian Yuyun dan Eno. Yuyun adalah bocah 14 tahun asal Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, yang meninggal dengan kondisi vagina dan anus robek karena diperkosa. Sedangkan Eno jadi korban pemerkosaan dan pembunuhan tiga pria di Kosambi.

Namun pemerintah justru menghapus lima dari sembilan jenis kekerasan seksual yang disusun oleh Komnas Perempuan. Lima poin itu adalah eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, dan perbudakan seksual. Alasannya, berbagai jenis kekerasan ini sudah diatur dalam peraturan yang lain.

Dalam draf terbaru, sembilan poin itu masih utuh.

Ditilik lebih jauh, wacana RUU PKS sudah ada sejak 1998 dan masuk ke DPR pada 2014. Namun pembahasan yang cukup serius memang terjadi pada 2016, dua tahun setelah Jokowi berkuasa.

Kini Jokowi berniat merampungkan apa yang sudah dia mulai. Dalam konferensi pers daring, Selasa (4/1/2022), dia mengatakan, “Saya berharap RUU TPKS dapat segera disahkan.” (pernyataan ini pula yang mengubah sikap Partai Golkar).

Pada 2019, peraturan ini menghadapi penolakan yang cukup kuat dari partai berbasis agama seperti PPP dan PKS. Sekarang, dengan mayoritas oposisi parlemen berada di belakang Jokowi, maka pengesahannya bisa lebih mudah. Sisanya tinggal PKS yang suaranya tidak begitu besar.

Sistem tanpa oposisi ala Jokowi memang melahirkan produk hukum yang tidak mengakomodasi aspirasi masyarakat seperti UU Cipta Kerja. Namun, jika RUU TPKS disahkan, setidaknya gaya pemerintahan tanpa oposisi ini mencegah dan membuat jera gerombolan predator seksual.

Baca juga artikel terkait RUU TPKS atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino