tirto.id - Degup jantung Merpati, bukan nama sebenarnya, lebih cepat kala Rachmad, mantan pacar semasa SMA yang putus lima tahun lalu, menghubungi via aplikasi pesan. Bayang-bayang ancaman revenge porn memenuhi kepalanya.
Rachmad adalah pacar pertama Merpati. Selama pacaran, Rachmad kerap memintanya foto telanjang. “Kalau enggak mau dia ngambek, terus enggak balas chat. Kalau sudah dikasih satu minta lagi.” Rachmad juga kerap meminta perempuan lain mengirim foto serupa. Jika sudah diberi dia akan membaginya ke Merpati dengan embel-embel, “dia aja mau kirim begini, masak kamu yang pacarku enggak mau?”
Rachmad pun sering memaksa Merpati melakukan panggilan video tidak senonoh dan mengambil tangkapan layar dari sana.
Suatu hari seorang kawan mengaku pernah melihat foto Merpati berciuman dengan Rachmad. Foto itu ia dapat dari kawan SMA lain, dan rupanya bersumber dari Rachmad sendiri. Selain pamer foto, ia juga rupanya kerap menceritakan hal-hal yang pernah dilakukan selama berpacaran dengan Merpati. Ini semua membuat reputasi Merpati rusak. “Jadi kelihatan kalau geng tongkrongan cowok-cowok itu memandang aku gimana,” katanya.
Kendati sudah bertahun-tahun putus, tapi Rachmad masih sering mendekati Merpati. Rachmad kerap menghubungi dan memintanya kembali berfoto telanjang atau panggilan video. “Kalau aku enggak mau dia ancam kirim nudes-ku. Kalau aku enggak takut, dia ancam akan sebar lagi.”
Tak banyak yang Merpati bisa lakukan. Pernah suatu kali ia mengancam melaporkan Rachmat atas pelanggaran UU ITE, tapi justru ditantang balik. “Ya sudah laporin aja, enggak takut. Dampaknya lebih banyak ke kamunya.” Merpati hanya bisa menelan ludah. Ia bisa membayangkan stigma dari keluarga, teman, dan kampus.
Harapan agar tak ada lagi perempuan bernasib sepertinya sempat muncul kala DPR RI menggodok Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Ada sembilan tindak kekerasan seksual yang akan dipidana, yang sebagiannya tidak diatur dalam KUHP atau peraturan lain. Komnas Perempuan juga akan memasukkan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) ke dalam naskah akademik dan draf.
Merujuk Catatan Tahunan Komnas Perempuan, sepanjang tahun lalu mereka mendapat 1277 aduan kekerasan, 944 berada di relasi personal, 291 di ranah komunitas/masyarakat, dan 42 oleh negara. Untuk relasi personal, paling banyak terjadi kekerasan terhadap istri (462 kasus) dan pacaran (193 kasus).
KBGO menjadi salah satu yang paling disoroti Komnas Perempuan karena trennya meningkat drastis dari tahun ke tahun. Pada 2017, Komnas mendapati 16 aduan, naik jadi 97 aduan pada 2018, dan melonjak hampir 300 persen jadi 281 kasus pada 2019. Paling banyak adalah ancaman penyebaran foto dan video porno korban.
Selain mengatur pemidanaan, RUU PKS juga mengatur soal rehabilitasi terhadap korban yang mencakup aspek psikologis, medis, serta ekonomi. Selain itu, RUU PKS juga mengatur soal hukum acara dalam pemidanaan, salah satunya keterangan korban bisa dijadikan alat bukti sebagaimana di Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (RUU PKDRT).
RUU PKS juga membahas soal pencegahan. Jika telah disahkan, materi penghapusan kekerasan seksual akan dimasukkan sebagai bahan ajar dari pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi. RUU PKS juga mengamanatkan peningkatan pengetahuan dan keterampilan tenaga pendidik terkait penghapusan kekerasan seksual.
Sejak pertama kali masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016, rancangan beleid yang ditunggu-tunggu para penyintas kekerasan seksual ini tak kunjung disahkan. Hingga akhir masa jabatan DPR 2014-2019, Komisi VIII DPR yang bertugas membahas ini hanya menyepakati tiga bab, yakni pencegahan, perlindungan, dan rehabilitasi. Mereka belum satu suara soal pasal-pasal tentang tindak pidana kekerasan seksual yang juga diatur dalam rancangan KUHP, yaitu pemerkosaan dan pemaksaan. Pada saat yang sama RKUHP juga mengalami penundaan.
Kendati telah menunjukkan kemajuan, pada paripurna terakhir DPR 2014-2019, RUU PKS tidak masuk ke dalam RUU carry over. Artinya, pembahasannya harus diulang lagi dari awal oleh DPR periode selanjutnya.
Masa depan peraturan ini makin suram ketika Wakil Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang mengirim surat kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR agar RUU PKS dikeluarkan dari daftar Prolegnas Prioritas 2020 sehingga pembahasannya tahun ini akan disetop. “Kami menarik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena pembahasannya agak sulit,” kata Marwan.
Ketika dihubungi reporter Tirto, Rabu (1/7/2020), Marwan mengatakan ini berawal ketika Baleg DPR meminta masing-masing komisi memasukkan RUU yang dianggap prioritas ke prolegnas. Baleg meminta itu karena masa pembahasan RUU untuk 2020 akan segera berakhir pada Oktober nanti. “Tidak mungkin itu dikerjakan semua,” katanya, lalu menegaskan bulan depan DPR kembali memasuki masa reses.
Komisi VIII mengusulkan RUU PKS dimasukkan ke Prolegnas Prioritas tahun depan.
Wakil Ketua Baleg DPR RI Fraksi Partai Nasdem Willy Aditya mengatakan sudah menerima surat dari Komisi VIII tersebut. Ia mengatakan semuanya belum final. "Keputusannya nanti di raker tripartit, hari Kamis," katanya.
Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah protes dengan keputusan ini. Ia menilai pembahasan RUU itu seharusnya mudah, terlebih jika ada kesepahaman mengenai urgensi masalah kekerasan seksual. Menunda pembahasan hanya menunjukkan bahwa para wakil rakyat tak paham bahwa ini adalah masalah genting.
“Mereka tidak harus menunggu istri, anak perempuan, saudara perempuan jadi korban dulu untuk menyadari bahwa permasalahan kekerasan seksual itu nyata dan harus segera ditangani,” kata Alimatul kepada reporter Tirto, Rabu (1/7/2020).
Ia mengatakan Komnas akan segera berkoordinasi dengan Komisi VIII untuk meminta klarifikasi.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino