tirto.id - Tidak ada satu lembaga pun yang memiliki data akurat tentang jumlah kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus-kampus di Indonesia. Informasi tentang kasus pelecehan seksual di perguruan tinggi menyebar secara sporadis, muncul saat kasus itu menjadi sorotan media, atau mencuat dari sejumlah testimoni lewat blog-blog pribadi, dengan kerahasiaan yang rapat.
Sebagaimana yang terlihat hanyalah puncak dari gunung es, tak semua korban kasus pelecehan atau kekerasan seksual di Indonesia berani melaporkan kejadian yang dialaminya. Dalam kasus di lingkungan perguruan tinggi, tak semua korban punya kuasa mengumpulkan tekad untuk melaporkan ke pihak kampus, ke polisi, ke lembaga mitra Komnas Perempuan, atau ke lembaga pendampingan korban kekerasan seksual.
Indonesia belum beranjak dari ketimpangan gender. Survei daring pada 2016 oleh Lentera Sintas Indonesia dan Magdalene.co serta difasilitasi oleh Change.org Indonesia menemukan 93 persen penyintas kekerasan seksual tidak pernah melaporkan kasusnya ke aparat penegak hukum.
Pada 2017, Badan Pusat Statistik merilis hasil survei nasional yang menyebut satu dari tiga perempuan pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual selama hidupnya. Sepanjang 2018, Komnas Perempuan mencatat ada 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan, meningkat dari tahun lalu sebesar 14 persen.
"Kekerasan terhadap perempuan semakin kompleks dan beragam, dengan intensitas yang meningkat, terjadi di lintas ruang, baik di ranah domestik, publik dan negara," demikian catatan tahunan Komnas Perempuan.
Sebuah studi dari ValueChampion, perusahaan riset bermarkas di Singapura, mendapati Indonesia adalah negara paling berbahaya kedua bagi perempuan di kawasan Asia Pasifik. Dari 14 negara, India, Indonesia, dan Filipina disebut paling tidak aman bagi perempuan. Studi yang dirilis pada Maret 2019 itu menjelaskan Indonesia termasuk negara yang buruk layanan kesehatannya, hukumnya lemah melindungi keselamatan perempuan, dan pada banyak aspek terjadi ketimpangan gender.
"Sikap patriarki yang mengakar kuat, baik karena pandangan kultural atau agama, menyebabkan perempuan [di Indonesia, India, Filipina] lebih cemas atas kehidupannya ketimbang perempuan di negara lain dalam daftar kami," tulis Anastassia Evlanova dari ValueChampion.
Korban pelecehan atau kekerasan seksual sungkan melapor ke penegak hukum karena sangat mungkin tak ingin menjadi korban ganda berikutnya—atau dalam bahasa lain disebut "victim blaming"; menyalahkan korban alih-alih pelaku. Kepolisian Indonesia masih memakai metode pemeriksaan yang tidak sensitif korban saat mengusut laporan kekerasan seksual.
Pada Okober 2017, Kapolri Tito Karnavian membuat pernyataan kontroversial bahwa penyidik polisi perlu menanyakan apakah “korban nyaman atau tidak” saat diperkosa.
Setelah menyulut reaksi keras dari aktivis perempuan, Karnavian mengklarifikasi bahwa istilah “nyaman” dan “tidak nyaman” adalah “bahasa operasional” yang dipakai penyidik polisi buat “memastikan akurasi dan bukti,” menepis klaim palsu, dan mencari tahu apakah tindakan itu berdasarkan persetujuan atau tidak.
Dalam laporan kami saat itu, yang memeriksa kinerja dan pandangan polisi atas kasus-kasus kekerasan seksual, kami mendapati metode penyidikan polisi lebih memprioritaskan apakah ada unsur persetujuan (consent) atau tidak dalam peristiwa kekerasan seksual.
Misalnya, dalam dokumen pemeriksaan, polisi mengajukan pertanyaan, "Apa yang saudari rasakan saat saudari disetubuhi oleh terlapor? Jelaskan!" Atau, pertanyaan lain seperti: "Apakah saudari menikmati berhubungan seks atau tidak?"
Hukum pidana di Indonesia masih terbatas mengakomodasi bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan. Aktivis mendesak pemerintah dan DPR segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (RUU PKS), yang mangkrak sejak diajukan pada 2016.
Sampai DPR periode ini berakhir tahun ini, agaknya nasib RUU PKS masih sama: mentok di Senayan, dijadikan subjek penolakan dan bahan disinformasi oleh kalangan konservatif, sementara tuntutan untuk segera disahkan terus menguat dari kelompok-kelompok perempuan, akademisi, dan kalangan agamawan progresif di pelbagai provinsi.
"Kekerasan seksual beragam polanya, dengan modus yang ekstrem, dan dampaknya pada korban, namun tidak berbanding dengan ketersediaan hukum yang ada," tulis Komnas Perempuan dalam catatan tahunan 2019.
Memakai RUU PKS sebagai Acuan Testimoni
Sejak kami merilis laporan perdana Kolaborasi #NamaBaikKampus, yang melibatkan Tirto, VICE Indonesia, dan The Jakarta Post, mengenai "kasus Agni" di Universitas Gadjah Mada pada 5 Februari 2019, kami berupaya mengumpulkan testimoni dari para penyintas kekerasan seksual di kampus.
Alasan kami, sebagaimana disinggung di muka, belum ada lembaga yang khusus mendokumentasikan dugaan pelecehan atau kekerasan seksual di kampus-kampus di Indonesia. Kami mengacu RUU PKS untuk mengakomodasi bentuk-bentuk kekerasan seksual dalam testimoni.
Bentuk-bentuk itu adalah pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Lewat formulir testimoni yang kami buka akses ke publik dan disebar ke masing-masing media sosial yang terlibat kolaborasi, sejak 13 Februari hingga 28 Maret 2019, kami mendapati ada 207 orang memberikan testimoni.
Dari 207 testimoni itu, tidak semuanya masuk ke dalam kategori kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus. Setelah membaca satu per satu testimoni, kami menemukan ada 174 kasus yang berhubungan dengan institusi perguruan tinggi.
Artinya, kasus-kasus kekerasan seksual itu terjadi di kampus atau dilakukan oleh sivitas akademika atau terjadi di luar kampus tapi dalam acara-acara resmi, seperti kuliah kerja nyata (KKN), magang, atau acara kemahasiswaan.
Para penyintas yang menulis untuk testimoni tersebar di 29 kota dan berasal dari 79 perguruan tinggi. Mayoritas atau sekitar 88 persen dari total penyintas berasal dari kampus-kampus di Pulau Jawa. Semarang dan Yogyakarta menjadi dua kota dengan jumlah penyintas paling banyak yang mengisi form testimoni kolaborasi.
Bukan hanya perempuan yang menjadi korban, tujuh penyintas yang membagikan cerita kepada kami adalah laki-laki.
Hampir seluruh korban yang memberikan testimoninya berstatus mahasiswa. Namun, tidak menutup kemungkinan dosen dan staf bisa menjadi korban. Ada satu dosen dan seorang staf universitas yang menjadi korban pelecehan seksual yang membagikan kisahnya kepada kami.
Kekerasan seksual yang mereka alami bukan hanya sekali. Setiap 1 dari 2 penyintas yang membagikan kisahnya kepada kami, mengalami kekerasan seksual berulang kali.
Siapa saja pelakunya?
Pelaku kekerasan dan pelecehan seksual di kampus beragam sekali. Mulai dari dosen, mahasiswa, staf, pastor, warga di lokasi KKN, hingga dokter di klinik kampus.
Seorang alumni di salah satu kampus di Yogyakarta mengatakan pernah dilecehkan salah satu dokter di klinik kampus pada Oktober 2012. Saat kejadian itu ia masih semester enam.
“Dokter di klinik kampus menyentuh puting saya saat melakukan pemeriksaan,” katanya. Ia tidak melapor ke kampus. Untuk menenangkan diri, ia bercerita ke lembaga konseling.
Kejadian serupa tidak hanya terjadi di Yogyakarta, tapi juga di Semarang. Seorang penyintas yang kini berstatus alumni pernah diminta untuk membuka celananya oleh dokter di klinik kampus.
Si dokter berkata perlu melihat vaginanya. Padahal ia hanya sakit demam yang tidak ada hubungannya dengan organ reproduksi.
“Dia memaksa dan tangannya hampir menyentuh celana saya. Kemudian saya melempar tangannya dan memberontak,” tulisnya.
Pelecehan yang dialami para penyintas tak cuma terjadi di lingkungan kampus. Beberapa kasus seringkali terjadi di luar, seperti rumah dosen, kos-kosan, tempat magang, klinik kampus, atau via pesan singkat.
Penyintas di Bandung mengalami pelecehan seksual ketika mengikuti kegiatan himpunan jurusannya di luar kampus.
Saat itu ia tidur di tenda khusus perempuan. Tanpa disadarinya, seorang senior masuk ke tendanya lalu tidur di sampingnya, dan melakukan pelecehan.
Seluruh 174 penyintas yang menulis testimoni mengalami bentuk-bentuk kekerasan seksual sebagaimana dalam rumusan Undang-Undang PKS, yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Bentuk kekerasan seksual yang paling sering dialami para penyintas adalah pelecehan seksual. Sebanyak 129 penyintas menyatakan mereka pernah dilecehkan; 30 penyintas mengalami intimidasi bernuansa seksual; dan 13 penyintas menjadi korban pemerkosaan.
Takut Melaporkan: 'Malu, Dianggap Melebih-Lebihkan'
Di antara para penyintas, sedikit sekali yang melaporkan kekerasan yang dialaminya kepada pihak kampus: Hanya 29 orang yang melapor, kurang dari 20 persen.
Separuh dari 174 penyintas lebih memilih bungkam. Jangankan ke pihak kampus, mereka juga enggan membicarakan kejadian yang dialaminya ke teman, keluarga, atau rekan terdekat atau pacar sekalipun.
Pengalaman buruk itu disimpan sendiri, tak ada yang tahu. Alasan utamanya karena malu, takut, tidak punya bukti, atau khawatir dianggap berlebihan.
“Malu, karena pada akhirnya saya tidak bisa menjaga diri saya untuk benar-benar berkata tidak. Saya pernah melakukan hubungan seks sebelumnya, tapi tidak dengan paksaan, apalagi dengan seseorang yang baru dikenal,” ungkap seorang penyintas di Tangerang Selatan. Ia hampir diperkosa oleh orang yang baru dikenalnya di salah satu himpunan di kampusnya.
Ada juga penyintas di Bandung yang enggan melapor karena menurutnya pelaku adalah dosen yang cerdas. “Beliau dosen yang pintar.” Menurut penyintas, si dosen sering melontarkan candaan bernuansa seksual.
Seorang penyintas di Purwokerto yang dilecehkan dosennya tidak melapor karena "sangat bingung harus melapor ke mana."
"Banyak di sekitar saya, mahasiswi yang dilecehkan namun mereka diam. Karena pasti birokrat akan memilih untuk berada di kubu dosen. Dan kebanyakan mahasiswi yang terkena pelecehan verbal maupun non-verbal pasti akan diancam dengan cara diskriminasi nilai,” tulisnya.
Seluruh 174 penyintas kekerasan seksual di kampus yang membagikan ceritanya kepada kolaborasi #NamaBaikKampus tentu tidak merepresentasikan populasi dan jumlah kejadian yang sebenarnya.
Kami meyakini, di kampus-kampus yang tidak terangkum dalam testimoni, masih banyak korban yang memilih bungkam dan menutup rapat-rapat kekerasan seksual yang pernah dialaminya. Dengan kata lain, lagi-lagi, ini adalah puncak dari gunung es.
Kemristekdikti Tidak Serius Menangani Kasus Kekerasan Seksual
Betapapun kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual di kampus sudah jadi "rahasia umum", tetapi kementerian riset, teknologi dan pendidikan tinggi belum menganggapnya sebagai problem serius yang butuh pola penanganan khusus.
Ismunandar, Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan dari Kementerian, berkata Indonesia menganut sistem perguruan tinggi yang bersifat otonom. Maka, dengan logika itu, permasalahan-permasalahan terkait kemahasiswaan dan kedisiplinan atau etika diserahkan ke otoritas kampus masing-masing. Ismunandar baru dilantik dua bulan saat kasus Agni di UGM meledak berkat pemberitaan Balairung, awal November 2018.
Ismunandar mengakui Kementerian Dikti belum memiliki regulasi khusus untuk menangani kasus pelecehan atau kekerasan seksual. Menurutnya, kasus demikian bisa diselesaikan di ranah perguruan tinggi saja.
“Dalam institusi pendidikan, kami harapkan perguruan tinggi menyelesaikannya. Tapi, kalau dalam hal tertentu dipandang kami perlu—harus (ikut terlibat), kami bisa saja,” kilah Ismunandar kepada VICE Indonesia untuk kolaborasi #NamaBaikKampus.
Apakah tidak memungkinkan untuk memberlakukan regulasi nasional agar kampus punya standar terbaik saat menangani kasus kekerasan seksual?
“Sampai saat ini belum ada," ujar Ismunandar. "Ya, sampai saat ini belum ada,” katanya menegaskan. Ia berkelitketika kolaborasi #NamaBaikKampus menanyakan pandangannya tentang cara UGM menyikapi kasus kekerasan seksual yang menimpa Agni.
Saat itu para pembuat kebijakan dari kampus sampai kementerian masih belum menganggap genting bahwa kampus adalah lahan subur kejahatan seksual. Saat itu kolaborasi #NamaBaikKampus masih mengumpulkan testimoni para penyintas dari pelbagai kampus.
Ketika kami telah menutup formulir testimoni, dan mendapati ada 174 penyintas yang membagikan kisah pelecehan seksual kepada kolaborasi, kami kembali menghubungi Ismunandar via pesan singkat pada Senin kemarin, 22 April 2019.
Kami menyampaikan jumlah laporan yang kami terima dan menyampaikan tujuan menghubunginya.
Kami bertanya, “Apa yang akan dilakukan Dikti melihat masifnya kasus kekerasan seksual di kampus-kampus di Indonesia?”
Ismunandar hanya membaca pesan tersebut, sama sekali tidak menjawabnya.
========
Artikel ini adalah bagian dari seri laporan mendalam #NamaBaikKampus, proyek kolaborasi antara Tirto.id, The Jakarta Post, dan VICE Indonesia terkait pelbagai dugaan kekerasan dan pelecehan seksual di perguruan tinggi di Indonesia. Tim Tirto yang bekerja untuk proyek ini adalah Dipna Videlia Putsanra di Yogayakarta, Aulia Adam, Fahri Salam, dan Wan Ulfa Nur Zuhra di Jakarta.
Gery Paulandhika, Louis Lugas, Nadya Zahwa Noor, Pandji Putranda, Rangga Putra, Riva Aulia Rais, Sabda Armandio, dan Sandya Windhu Febryas terlibat dalam ilustrasi laporan testimoni. Afwan Fathul Barry terlibat dalam video grafik. Meisya Citraswara terlibat dalam media sosial proyek ini.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Fahri Salam