tirto.id - “Mbak, sedang di kampus, enggak?” Ikhaputri Widiantini, dosen filsafat di Universitas Indonesia, mengisahkan ulang satu cerita dari mantan mahasiswinya. Siang itu ia tiba-tiba ditelepon.
“Ini di kampus. Eh, kamu apa kabar?” Upi, panggilan sehari-harinya, kebetulan sudah lama tak mendengar kabar si mahasiswi itu, yang memang sudah lulus.
“Boleh jemput aku di depan, enggak?”
Upi heran saat ditanya begitu, tapi tak terkejut.
Bekas mahasiswinya itu lanjut bertanya tentang beberapa nama. “Ada orang ini, enggak? Ada orang ini, enggak?”
Upi enggan menyebut nama-nama tersebut, “Terus aku bilang, enggak ada, enggak ada. Tapi dia tetap enggak berani turun dari taksi. Sampai aku samperin."
Mahasiswi yang identitasnya dirahasiakan Upi itu adalah korban pelecehan seksual oleh dosen pembimbing skripsi pada 2008. Meski sudah lama terjadi, trauma itu masih menghantuinya. Efek trauma ini yang akhirnya menjadi alasan penting untuk merahasiakan identitas sang mahasiswi.
Upi termasuk salah satu dosen UI yang punya perhatian pada masalah pelecehan seksual di kampus. Selain mengajar, ia menggagas Komunitas Ungu di kampus yang berfokus pada isu-isu feminisme, salah satu mata kuliah yang diampunya. Ia dekat dengan para mahasiswa dan tak jarang menerima sejumlah aduan kasus pelecehan seksual.
Pelakunya beragam: dosen, asisten dosen, sesama mahasiswa, hingga orang luar kampus seperti pacar.
Kebanyakan mahasiswa memang cuma ingin bercerita. Sedikit sekali yang berani menyebut nama atau bahkan berniat melaporkan pelaku. Kebanyakan dari korban takut dianggap "lebay", meski sebenarnya rikuh dan trauma.
“Ada juga yang bilang, 'Kalau sampai dilaporkan, kasihan mahasiswa yang ambil skripsi jadi enggak ada pembimbingnya.' Karena sebagian prodi memang punya dosen terbatas. Mindset mereka masih di sana: 'Kasihan dosennya, kasihan mahasiswa lain.' Bahkan kebanyakan berpandangan berlebihan aja kalau sampai melapor,” ujar Upi.
Cerita Upi serumpun dengan temuan kami. Para korban pelecehan seksual di kampus yang kami wawancarai punya alasan serupa. Sebagian besar tak pernah melaporkan pengalamannya karena melindungi identitas diri dari stigma.
Yasmin—bukan nama sebenarnya—yang berkuliah di salah satu kampus di Medan, menuturkan bahwa ia mendapatkan perlakuan mesum oleh dosen pembimbingnya. Tapi ia merahasiakan ceritanya karena enggan dianggap "lebay."
Menurutnya, orang-orang belum tentu percaya dengan ceritanya, dan justru bisa jadi menyerang balik dirinya. “Nanti saya pula yang disebut gatal (ganjen). Orang-orang Indonesia memang masih suka menyalahkan perempuan kalau dalam kasus-kasus gitu,” kata Yasmin.
Sikap Kampus Lamban
Sebagaimana terjadi di lingkungan lain seperti transportasi publik, taman, sekolah, tempat kerja, rumah—lingkungan kampus tak lepas dari tempat kejadian pelecehan seksual.
Hierarki dan sistem birokrat dalam dunia akademik menciptakan "relasi kuasa" yang bisa dimanipulasi sehingga rentan dipakai untuk hal-hal negatif, termasuk kesempatan melecehkan dan melakukan kekerasan seksual.
Hal itu diutarakan Lidwina Inge Nurtjahyo, pengajar di Fakultas Hukum UI, yang berfokus pada kasus-kasus pelecehan seksual di kampus.
Menurutnya, mengapa kasus-kasus ini belum bisa diatasi dengan hasil memuaskan karena isu pelecehan seksual di kampus "belum jadi prioritas universitas, dan belum dianggap serius." Tak ada lembaga khusus yang dibikin universitas atau fakultas untuk setidaknya jadi wadah konseling atau penerimaan aduan, ujarnya.
“Di UI, cuma ada wadah konseling untuk semua kasus. Enggak ada yang spesifik tentang pelecehan atau kekerasan seksual. Setahu saya juga di universitas-universitas besar lain belum ada,” kata Lidwina.
Hal sama didapati dalam temuan Rifka Annisa, organisasi nirlaba yang konsen pada hak-hak perempuan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Yogyakarta. Belum ada kampus di Yogyakarta yang punya aturan soal pelecehan seksual, termasuk mengatur sanksi bagi pelaku. Kebanyakan kasus-kasus yang terungkap cuma diselesaikan lewat jalur damai, tanpa sanksi yang jelas.
Berdasarkan pengalaman Ikhaputri Widiantini, dari sekian banyak kasus kekerasan seksual di kampus, kira-kira hanya 1 dari 10 laporan yang berhasil mendapatkan perhatian, dan pelaku dikenakan sanksi.
Ia mencontohkan salah satu kejadian di UI pada 2016. Sebut saja Lila, seorang mahasiswi yang dirahasiakan namanya, mendatangi dosen pembimbing sendiri. Ternyata dosen itu memang punya reputasi mesum.
Lila sama sekali tak menyangka bakal menghadapi hal buruk. “Seharusnya enggak ada masalah. Tapi terjadi tindak pelecehan lagi. Anak ini langsung lapor ke kaprodi,” ujar Upi, panggilan akrab Ikhaputri.
Dosen itu akhirnya dihukum skorsing karena kasus tersebut jadi perhatian himpunan mahasiswa satu prodi. Mereka kompak bikin petisi menolak diajar dosen tersebut.
“Karena ada kekuatan mahasiswa, dekanat jadi turun tangan. Akhirnya dihukumlah. Tapi hukumnya cuma skorsing. Cuma enggak boleh ngajar di departemen, tapi boleh di jurusan lain. Dia tuh sekarang jadi ngajar di mata kuliah umum. Sekarang se-universitas ada,” cerita Upi.
Padahal dampak terhadap si mahasiswi tak main-main. “Skripsinya sampai sekarang belum selesai. Berantakan, sampai ganti judul.”
Pendekatan 'Kekeluargaan'
Ketiadaan peraturan standar tentang pencegahan dan penanganan kasus kejahatan seksual di kampus sering berakhir lewat jalur “kekeluargaan”.
Pendekatan "damai" macam ini lebih banyak merugikan korban dan membebaskan pelaku. Tak banyak kasus yang akhirnya terkuak, atau bahkan jadi tuntutan mahasiswa seperti kasus Lila. Meski sering terdengar di kampus, faktanya kita jarang mendengar kasus-kasus ini disantap media.
Cuma ada dua kasus paling besar yang sempat jadi berita nasional: kasus Sitok Srengenge pada 2013 dan kasus EH pada 2016.
Srengenge dituduh memperkosa RW, seorang mahasiswi, sampai hamil. Sempat ditetapkan sebagai tersangka, perkenalan Srengenge dengan RW bermula dari kegiatan kampus yang mengundangnya sebagai juri. Kasus ini berlarut-larut lantaran kepolisian menyatakan "kekurangan bukti." Pada April 2014, kasus ini diwartakan tetap berlanjut, dengan tuduhan pasal berlapis sekalipun pelaku tidak ditahan. Namun, kasus ini masih berjalan di tempat.
EH, pengajar di Universitas Gadjah Mada, diberitakan oleh The Jakarta Post pada Juni 2016 sebagai pelaku kejahatan seksual terhadap mahasiswi bernama Maria. Dalam sesi konsultasi pada malam hari, Maria dikejutkan EH yang menggerayangi payudaranya dan menempelkan penis ke tubuhnya.
Korban EH bukan cuma Maria. Dalam surat pembaca ke The Jakarta Post, Margaretta Sagala, mantan mahasiswi EH, juga menceritakan pengalaman buruk.
“Ironisnya, EH adalah orang yang mengajari saya teori-teori feminis. EH tahu bahwa kebanyakan korban pelecehan seksual tidak akan melapor,” tulis Margaretta.
Ironisnya, menurut sejumlah mahasiswa yang kami tanyakan di lingkungan UGM, EH masih bekerja dan hadir di kampus. Menurut Dekan Fisipol UGM Erwan Agus Purwanto, EH cuma diberi sanksi pemberhentian mengajar sementara dan tak diizinkan membimbing skripsi.
'Lebih Mementingkan Nama Baik Kampus'
Lidwina Inge Nurtjahyo berpandangan bahwa status PNS dosen memang sering kali jadi alasan kampus memberi sanksi melempem. Padahal penting bagi korban agar dijauhkan dari pelaku selama masa pemulihan diri. Sikap kampus yang lamban mengatasi kasus-kasus pelecehan seksual menjadi cermin kampus masih lebih mementingkan nama baik institusi ketimbang nasib mahasiswanya, terang Lidwina.
Seorang PNS memang cuma bisa dipecat secara tidak hormat jika yang bersangkutan telah sah terbukti melakukan pelanggaran pidana oleh pengadilan. Sementara hukum Indonesia sering tumpul dalam kasus perkosaan. Apalagi untuk kasus-kasus pelecehan seksual yang pembuktiannya rumit.
Erwan Agus Purwanto berkata "tidak bisa" melakukan pemecatan kepada dosen yang melakukan kekerasan seksual sebab kewenangan itu ada pada pemerintah, dalam hal ini Kementerian Ristekdikti dan Badan Kepegawaian Negara.
“Bisa saja rekomendasi sampai ke sana tapi ada tahapannya, dari penonaktifan sampai konseling ke lembaga, yang bisa konseling untuk memperbaiki sikap,” ujar Erwan.
Menurut Sofia dari Rifka Annisa, tanggung jawab universitas adalah melindungi para mahasiswanya. Birokrat kampus seharusnya paham posisi sebagai penjamin keamanan civitas akademika. Namun, kampus lebih mementingkan citra baik, sehingga mengungkapkan secara terbuka kasus-kasus pelecehan seksual ini dianggap "aib."
Lidwina mengatakan institusi kampus belum homogon untuk "zero tolerance" mengatasi endemi pelecehan seksual. “Kampus juga seperti dunia luar. Isinya tidak homogen. Terutama tentang isu ini,” katanya. Menurutnya, masih banyak orang yang sulit paham bahwa pelecehan ini berdampak parah sebab menyerang psikologi korban.
Rifka Annisa menyarankan semua kampus punya pusat krisis, semacam tempat pengaduan bagi mahasiswa korban pelecehan seksual, baik oleh dosen maupun sesama mahasiswa.
Ikhaputri Widiantini mengusulkan kampus setidaknya harus menyelipkan klausul khusus pelecehan seksual sebagai sebuah kebijakan, yang faktanya tak dimiliki kebanyakan kampus.
UI dan UGM, misalnya, menangani aduan-aduan pelecehan seksual hanya lewat Dewan Etik, yang akhirnya tak bisa memberi sanksi tegas terhadap para pelaku.
“Baiknya bukan cuma klausul. Tapi juga ada pelatihan. Dosen, kan, sering ada pelatihan penulisan. Kenapa enggak ada pelatihan etika, misalnya tentang pelecehan seksual?” ujar Ikhaputri.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam