tirto.id - Hari itu, 4 Juni 2018, Via Vallen mungkin melewati harinya seperti biasa. Sehari sebelumnya, ia baru saja tampil di tablig akbar yang diadakan di Lapangan Albatros di kampung halamannya, Sidoarjo.
Di akun Instagram yang punya 6,8 juta pengikut, Via sempat mengunggah foto kompetisi cover lagu “Jerit Atiku”, katanya untuk memperingati video lagu itu yang sudah ditonton 5 juta kali di YouTube. Namun, tengah malam, ia kesal dan memutuskan membagi kekesalan itu lewat InstaStories.
Di gambar yang diunggahnya, tampak cuplikan direct message dari seseorang pemain sepak bola: I want u sign for me in my bedroom, wearing sexy clothes.
Via menambahkan komentarnya terhadap pesan itu. “Nggak kenal dan nggak pernah ketemu, tiba2 nge DM dan ngirim text gambar kayak gini. As a singer, I was being humiliated by a famous football player in my country RIGHT NOW. I’AM NOT A KIND THAT GIRL, DUDE!!!”
Tak lama, Via mengunggah foto kedua. Kali ini cuplikan percakapannya dengan si pelaku, yang tampak tak terima dengan unggahan pertama Via. “U crazy,” kata si pelaku, “why screenshot. U angry?”
Via menambahkan pesan di foto percakapan itu, “Dont be affraid bro, I will not telling people who u are. U ask me Am I angry? What do you think after I have block your account.”
Unggahan Via ini mengundang banyak respons. Para penggemarnya yang berjuluk Vyanisty marah dan mulai menduga siapa si pelaku ini. Tudingan ini mengarah ke Marko Simic, pemain Krosia yang sekarang merumput di Persija.
Via kemudian mengunggah foto dirinya sedang cemberut pada 5 Juni 2018, dengan caption: “Don’t judge me! You know my name, but not my story.” Hingga pukul 17.00 WIB, foto itu sudah punya 20.822 komentar. Sebagian mendukung usaha Via melawan pelecehan, sebagian malah mencela Via—banyak yang mencela adalah sesama perempuan.
“Kenapa harus dipublish sih sama Via Vallen? Biar apa coba? Kalau mau marah, ya langsung marah aja di DM sama si babangnya, atau langsung block. Kenapa harus dipublish? Biar semua orang tahu kalau dia bukan cewek murahan? Well ya, kalau kita memang cewek baik-baik, tanpa harus begitu juga semua orang pasti bisa nilai sendiri kok.”
“Uhhhhh, gpp seh. Kan pemain bolanya juga ganteng cyiiiin.”
“Mungkin cara mas bule kurang sopan, tapi ini ranah pribadi mbok ya lebih menjaga, jangan diumbar di sosmed. Jangankan mbak Via yang artis, aku aja yang biasa kadang dapat DM yang kurang sopan, tapi cuekin aja.”
“Aku sih gak setuju sama sikap Via Vallen yang ngepublish. Kalau yang ngeDM itu orang biasa, apa dia masih akan publish? My point is, dia gak permalukan Via di depan umum kok, kenapa Via harus permalukan orang itu? Kalau emang gak suka, ya bilang langsung ke orangnya. Gak usah publish. Biar apa? Biar dunia tahu kalau Via digodain pemain bola ganteng?”
“Perempuan, terbuka, bernyanyi, berlenggak-lenggok, kemudian digoda. Jadi? Silakan simpulkan dengan nalar dan hati sehat.”
Respons mencela Via adalah bukti betapa banyak orang Indonesia mewajarkan pelecehan seksual, sekaligus asing saat melihat korban pelecehan berbicara ke publik dan melawan.
Selain itu, beberapa komentar mewajarkan pelecehan ini karena profesi Via sebagai biduanita dangdut. Hal ini menunjukkan betapa kuat citra penyanyi dangdut sebagai penyanyi yang, mengutip salah satu komentar, “terbuka, berlenggak-lenggok.” Akar pola pikir ini tentu tidak datang dengan instan.
Koplo dan Wajah Baru Dangdut
Andrew Weintraub dalam Dangdut Stories (2010) mengatakan bahwa ada beberapa citra berbeda terkait perempuan di jagat dangdut. Satu representasi dominan adalah, “biduanita yang menggoda/penari yang bisa diajak berhubungan seks (sexually available)”. Dangdut juga menjadi musik yang menemani, “jual beli seks dalam koridor prostitusi.”
Dangdut koplo, sebagai gagrak turunan dari dangdut, secara natural memang lahir di lokalisasi Jarak, Surabaya. Istilah koplo merujuk pada pemakaian pil koplo yang membuat pemakainya bersemangat. Di Jarak, pada pertengahan 1990-an, musik koplo lahir untuk menemani para pria yang mencari hiburan.
Koplo perlahan populer berkat mode penyebaran yang unik, yakni melalui rekaman video hajatan yang kemudian diperbanyak dalam format VCD. Persebarannya masif, dari Jawa Timur hingga ke Jakarta. Dari sana, muncul ikon baru, biduanita asal Pasuruan, Inul Daratista.
“Di VCD dan internet, biduanita berjoget dengan cara seksual yang provokatif. Dangdut memang forum untuk merayakan joget erotis perempuan, sekaligus kekuatan perempuan, yang sudah lama jadi bagian penting dalam sejarah Indonesia, setidaknya di Jawa dan Sumatera,” tulis Weintraub.
Kehadiran koplo dari pinggiran Jawa Timur ini bisa mengguncang kerajaan dangdut yang selama ini dipegang oleh sang raja Rhoma Irama. Saat Inul Daratista muncul pada awal 2000-an dengan goyang ngebor yang ikonik itu, Rhoma langsung menunjukkan ketidaksukaannya.
Weintraub menyebut bahwa Inul dianggap sebagai pendatang gelap di "kalangan komunitas dangdut yang tertutup dan picik di Jakarta, tidak seperti sosok kalem, santun, dan glamor yang ditampilkan oleh biduan-biduan era 1990-an (misalnya Cici Paramida, Ikke Nurjanah, Itje Tresnawati). Inul menampilkan citra perempuan kuat, tegas, dan seksual."
Kemunculan Inul diikuti oleh biduanita lain yang mengandalkan goyangan. Dewi Perssik punya goyang gergaji. Anissa Bahar mengandalkan goyang patah. Uut Permatasari menjual goyang ngecor. Zaskia Shinta mendapat nama belakang Gotik karena goyang itik. Hingga yang terbaru, Duo Serigala dengan goyang dribel.
Media massa juga berperan dalam membentuk citra dangdut sebagai gagrak musik yang dekat dengan seksualitas dan skandal. Tabloid dan acara gosip di televisi, tulis Weintraub, mengisahkan skandal seks para biduanita dangdut, lebih banyak ketimbang genre lain.
Setelah masa kejayaan Inul dan kompatriotnya lewat, dangdut koplo mulai berubah wajah—walau ini masih mengundang perdebatan apakah perubahan ini terjadi di permukaan saja, atau hingga akar rumput. Satu yang pasti, kehadiran Via Vallen dan Nella Kharisma mengubah wajah dangdut koplo menjadi sesuatu yang tak lagi sensual, seksual, maupun erotis.
“Kalau memandang Via Vallen, dia memang sangat berbeda. Karena sebagai spesies biduanita dangdut, dia berbeda. Tak berasal dari spesies penyanyi yang mengandalkan goyangan seperti Inul atau Dewi Perssik,” kata Irfan Drajat, seorang peneliti dangdut kepada Tirto.
Para penyanyi dangdut dengan joget khas itu memang menawarkan sensualitas, erotisme. Mereka, kata Irfan, datang dengan satu paket lengkap: nyanyian dan goyangan. Sedangkan Via tidak demikian. Kemunculan Via tidak diikuti oleh goyangan seronok atau pakaian seksi. Via, ujar Irfan, adalah tipikal penyanyi hibrida.
“Hibrida maksudnya antara pop dan dangdut. Secara wajah, ia cocok sebagai penyanyi pop. Namun secara cengkok, dangdutnya kurang. Jadi di tengah-tengah. Dia bisa bermain di dua genre,” ujar penulis Irama Orang-Orang Kalah: Analisis Wacana Politik Dangdut Koplo Menggoyang Kemapanan ini.
Perubahan wajah ini juga terjadi melalui medium protes yang dipakai. Pada zaman dulu, penyanyi dangdut akan mengadakan konferensi pers jika ingin mengutarakan sesuatu. Mulai kasus perselingkuhan, video seks, hingga rekonsiliasi seperti yang pernah dilakukan oleh Rhoma Irama dan Inul Daratista. Namun Via, yang mewakili demografi anak muda, melakukan protes dan perlawanan terhadap pelecehan melalui Instagram. Dampak yang ditimbulkan malah lebih viral.
Irfan juga mengingatkan bahwa Via sebenarnya bukan pedangdut pertama yang berani berbicara soal pelecehan. Dalam ingatan Irfan, Dewi Perssik adalah salah satu pedangdut pertama yang bicara terbuka soal pelecehan. Salah satu yang paling diingat publik adalah ceritanya saat dilecehkan seorang pengusaha yang jadi politikus.
Komentar menyudutkan yang diterima oleh Via sebenarnya adalah buah dari pertarungan citra yang bisa ditarik ke perseteruan Rhoma dan Inul. Rhoma dengan nilai-nilai moral yang diusung, kala itu mewakili gagrak dangdut klasik, dengan biduanita yang memakai busana sopan. Sedangkan Inul mewakili citra perempuan di dangdut koplo yang lebih berani—baik dandanan, goyangan, sikap terhadap seksualitas, maupun sikap bertindak.
Dengan citra dangdut koplo yang dibentuk seperti itu, tak heran kalau banyak orang menganggap semua biduanita dangdut koplo punya sikap yang sama. Karena itu lahir aneka komentar menyudutkan yang mewajarkan jika seorang penyanyi dangdut dilecehkan.
Tak banyak biduanita dangdut yang berani melawan pelecehan. Untuk isu ini, Via harus melawan banyak pihak. Mulai dari stigma penyanyi dangdut, cibiran netizen moralis, hingga orang-orang yang kurang paham tentang pelecehan. Karenanya, sikap Via yang berani membawa isu ini ke ruang publik layak dihargai dan didukung.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti