Menuju konten utama

Tariq Ramadan dan Kekerasan Seksual di Dunia Akademik

Dunia akademik yang memuat hierarki pengetahuan dan birokratis rentan dengan kekerasan seksual.

Tariq Ramadan dan Kekerasan Seksual di Dunia Akademik
Tariq Ramadan. REUTERS/Mike Segar

tirto.id - Tariq Ramadan, profesor Kajian Islam Kontemporer dari Oxford University, baru-baru ini diterpa pemberitaan buruk: sejumlah perempuan menuduhnya melakukan kekerasan seksual.

Henda Ayari, aktivis feminis Perancis, merupakan salah satu yang membeberkan kekerasan seksual yang dilakukan Ramadan melalui wawancara dengan BFMTV.

Dilansir BBC, Ayari sempat menerbitkan buku yang di dalamnya mencantumkan pengalaman diperkosa. Namun saat itu, ia tidak menyebut nama si pelaku dalam bukunya. Seiring besarnya gaung kampanye #MeToo yang dipicu perilaku pelecehan seksual yang dilakukan Harvey Weinstein, ia pun memberanikan diri buka suara.

Baca juga "Saya Pun Mengalami Pelecehan Seksual" #MeToo

Pada 2012, Ayari hendak mewawancarai Tariq tentang Islam dan saat itu ia mengaku sangat mengagumi sosok akademisi yang juga cucu Hasan al-Banna, pendiri Muslim Brotherhoo (Ikhwanul Muslimin) tersebut. Ayari mendatangi hotel tempat tinggal Tariq, dan di sanalah sang profesor menciumi dan mencekiknya.

“Dia benar-benar menyerangku seolah aku adalah hewan liar,” ungkap Ayari.

Menyusul pengakuan aktivis ini, perempuan-perempuan lain pun menceritakan pengalaman serupa. Pada 2009, Tariq pernah dilaporkan memperkosa seorang perempuan di kamar hotel di Lyon, Perancis.

Jauh sebelumnya, Tariq juga sempat dituduh melecehkan empat perempuan di Jenewa, Swiss, kota yang menjadi tempat kelahiran dan awal kariernya sebagai akademisi. The Tribune de Geneve memberitakan, insiden ini terjadi antara dekade 80-90an. Kata-kata manis kerap dilontarkan Tariq saat melecehkan perempuan-perempuan ini.

“Saya merasa dekat denganmu. Kamu dewasa dan spesial buat saya. Saya dikelilingi banyak orang tetapi saya merasa kesepian,” demikian petikan rayuan yang diceritakan oleh penyintas lain bernama Sandra.

Ia masih berusia 15 saat sang profesor menggodanya. Beberapa kali, Sandra dan Tariq menghabiskan saat-saat intim berdua di luar sekolah. Tentu saja laki-laki itu mengatakan bahwa kedekatan mereka mesti dirahasiakan.

Hal serupa dialami Lea saat berumur 14 meski tidak sampai berhubungan intim. Penyintas ini mengatakan bahwa Tariq menyalahgunakan kepercayaan siswa kepadanya untuk mencari kepuasan seksual. Tariq memang sempat menjadi guru di sebuah sekolah menengah di Swiss.

Lain lagi kisah pengalaman Agathe ketika berusia 18. Ia mengatakan: “Saya terpesona oleh karismanya. Suatu kali Tariq mengajak saya minum kopi di luar sekolah, lalu saya berhubungan seks dengannya. Saat itu dia sudah menikah dan punya anak… Kami bersepakat untuk melakukan itu, tetapi perlakuannya sangat kasar. Saya mendapat memar di sekujur tubuh.”

Baca juga Darurat Kejahatan Seksual di Kampus

Tidak hanya kekerasan fisik saja yang sempat diterima Agathe dari Tariq. Ia pun pernah diintimidasi sang profesor agar tidak menceritakan pertemuan-pertemuan mereka. Kejadian-kejadian ini membuat para penyintas muak dan malu sehingga mereka memilih bungkam cukup lama.

Menghadapi berondongan pengakuan ini, Tariq menyangkal dengan mengatakan tuduhan-tuduhan itu bertentangan dengan hal-hal ideal yang ia yakini. Sejumlah pihak pendukung Tariq pun menganggap pengakuan-pengakuan ini hanyalah upaya menjatuhkan nama baik Tariq sebagai akademisi Islam.

Seks dalam Relasi Kuasa Dosen-Mahasiswa

Kisah kekerasan seksual yang dilakukan pengajar terhadap murid atau mahasiswa bukan fenomena anyar dan langka. Kendati demikian, banyak penyintas yang memilih diam lantaran dirundung berbagai kekhawatiran. Entah takut tidak dipercaya, dianggap hanya mau mencemarkan nama baik sang guru atau dosen, disebut cari perhatian, atau cemas bila melapor maka kehidupan akademisnya akan terpengaruh.

Dari sekian banyak kasus kekerasan seksual di kampus, kira-kira hanya 1 dari 10 laporan yang berhasil mendapat perhatian dan pelaku dikenakan sanksi. Kisaran angka itu dinyatakan Ikhaputri Widiantini, pengajar di Departemen Filsafat FIB UI. Perempuan yang akrab disapa Upi ini menambahkan, data dari Lentera Sintas menunjukkan, 93% kasus kekerasan seksual tidak dilaporkan ke tingkat hukum dan hanya 1% yang berhasil dituntaskan lewat proses pengadilan.

Dalam Konferensi Pengetahuan dari Perempuan III yang digelar oleh Komnas Perempuan dan Program Studi Kajian Gender Sekolah Kajian Stratejik dan Global dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 24-26 Oktober 2017 lalu, Upi mempresentasikan makalah yang mengambil topik kekerasan seksual dalam institusi pendidikan. Sederet pengakuan penyintas yang berstatus mahasiswi dicantumkan perempuan yang menggagas Komunitas Ungu—komunitas yang berfokus pada isu-isu feminisme—dalam presentasinya itu.

SS, misalnya, pernah diminta seorang dosen untuk mengumpulkan tugas teman-teman sekelas ke ruangannya. Saat itu, kondisi di sekitarnya sedang sepi. Saat ingin meninggalkan ruangan, SS tiba-tiba ditarik oleh si dosen dan dikecup keningnya. Dua kali hal ini terjadi, tetapi SS enggan melapor karena takut.

Berbeda lagi cerita PK. Penyintas ini sempat menjadi asisten dosen YH yang kemudian melecehkannya. Suatu kali, PK memberikan ucapan selamat ulang tahun kepada YH di ruangan yang hanya berisi dirinya dan si dosen. Tanpa persetujuan PK, si dosen memeluk dan menciumi PK. Kontan, PK ketakutan dan buru-buru pamit pulang.

Setelah kejadian ini, PK enggan menemui YH sendirian, tetapi si dosen bersikeras untuk bertemu dengannya berdua saja di ruangan yang sama. Bukan hanya itu, YH bahkan meminta PK untuk duduk di pangkuannya. Kendati telah menolak, YH tetap tidak memedulikan pernyataan PK.

Sebelum Upi mengungkapkan temuan-temuannya, kejadian kekerasan seksual yang melibatkan relasi kuasa juga sempat ditemukan di lingkungan serupa. Pada 2013, Sitok Srengenge dituduh memperkosa RW sampai hamil. Sitok yang sempat ditetapkan sebagai tersangka bukan pengajar di UI, namun perkenalan dengan RW bermula dari kegiatan kampus yang mengundang tersangka sebagai juri.

Kasus ini berlarut-larut lantaran kepolisian menyatakan kurangnya bukti. Setahun kemudian, Antara memberitakan kasus Sitok sempat akan dihentikan atau di-SP3 (surat perintah penghentian penyidikan). "Mengapa korban melaporkan setelah hamil dan kejadian pemerkosaannya bisa berulang kali," kata Heru Pranoto, kala itu menjabat Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.

Pada perkembangannya, rencana SP3 ini tidak dijalankan. April 2014, kasus Sitok diwartakan tetap berlanjut, dengan tuduhan pasal berlapis sekalipun ia tidak ditahan. Hingga kini kasus tersebut masih berjalan di tempat.

Infografik Memperkosa Karena Berkuasa

Tindakan kekerasan seksual sebagaimana dituduhkan kepada Tariq Ramadan maupun dosen-dosen lainnya dalam makalah Upi tidak berfokus pada urusan pemenuhan hasrat seks belaka. Ketika hal itu terjadi di institusi yang menerapkan sistem hierarki, perkara dominasi dan kuasalah yang menjadi titik perhatian.

“Sebenarnya kondisi ini terjadi di banyak sektor. Tidak hanya di dalam institusi pendidikan. Kebetulan saya fokusnya pada pendokumentasian kasus di sekitar kampus. Itu pun lingkupnya masih kecil: fakultas dan departemen. Tapi kalau berdiskusi dengan beberapa kawan di fakultas lain, mereka pun mengalami situasi yang sama. Di tempat lain, sesuai hasil diskusi dengan kawan-kawan dari institusi lain, ternyata [kejadiannya] sama. Poinnya sama, ternyata [penyintas] lebih sering bungkam karena 'digosipkan' saja,” jabar Upi dalam keterangan tertulis kepada Tirto.

Di dunia profesional, kekerasan seksual bisa dilakukan atasan kepada bawahan. US EEOC melaporkan, seorang supervisor di Acepex Management Corp memperkosa seorang karyawan perempuan dan pihak perusahaan tidak mengambil tindakan apa-apa. Selain melakukan kontak fisik dan pelecehan seksual verbal yang berujung pada perkosaan tahun 2003, pelaku juga mengancam akan menyakiti korban dan keluarganya bila kasus tersebut dilaporkan.

Beralih ke dunia hiburan, penyanyi Kesha sempat menggegerkan publik karena mengaku diperkosa sang produser, Dr. Luke. Selain memanipulasi karier Kesha, Dr. Luke juga dikabarkan memaksa sang penyanyi mengkonsumsi narkotika dan menyetubuhinya saat ia tidak sadarkan diri.

Serangan kepada Penyintas dan Pendukungnya

Berkaca dari kasus-kasus yang telah dipaparkan, amat berat bagi penyintas untuk memberi kesaksian. Banyak faktor yang menjadi penyebab, salah satunya adalah masyarakat masih terbiasa malah menyalahkan penyintas.

“Lucu, aib malah [ditimpakan] kepada penyintas, bukan pelaku. Reaksi acuh tak acuh ini yang harusnya jadi perhatian segala lapisan supaya tidak beban tidak dijatuhkan ke penyintas dan pendamping laporan saja,” imbuh Upi.

Sebagai pendamping penyintas, Upi pun pernah mendapat intimidasi tidak langsung dari pelaku. Ia sempat diancam akan dilaporkan ke petinggi kampus atas tuduhan pencemaran nama baik pelaku. Selain itu, beberapa kali ia malah disebut-sebut mempunyai masalah psikis lantaran gencar mengadvokasi penyintas.

“Kok pendamping lebih histeris?” begitu ucapan sinis yang diterima Upi.

Dalam perkosaan yang terjadi di bawah payung relasi kuasa, Upi menilai unsur intimidasi dan manipulasi bisa sama-sama dimanfaatkan sebagai senjata melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan.

“Ada yang pakai intimidasi posisi kuasa. Misalnya, dosen ke mahasiswi yang memintanya menjadi ketua kelas, lantas mengumpulkan tugas di atas pukul 5 sore. Pada beberapa kasus lain, ada unsur rayuan,” kata Upi.

Terkait rayuan ini, kesepakatan dari penyintas bisa diperoleh pelaku karena berbagai jurus dan rayuan. Kendati demikian, bukan berarti pelaku bisa membenarkan perilakunya dan beralasan penyintas mau-mau saja melakukan apa yang diinginkan pelaku.

“Suara hati penyintas memangnya pelaku yang tahu? Tidak bisa kita pakai sudut pandang pelaku. Ada variabel di luar penyintas yang bisa mengintimidasi dia, salah satunya bisa karena stereotip,” tambah Upi.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nuran Wibisono