tirto.id - "Jika semua perempuan yang pernah mengalami pelecehan atau serangan seksual menulis ‘Me Too’ pada statusnya, kita bisa menyebarkan fakta tentang besarnya kasus tersebut,” demikian dikatakan oleh aktris Hollywood, Alyssa Milano, sesaat setelah selebritas lainnya menceritakan pengalaman pelecehan yang dilakukan Harvey Weinstein.
Baca juga:Kasus Pelecehan Harvey Weinstein, Sisi Gelap Dunia Hiburan
Dalam hitungan hari, orang-orang menanggapi pernyataan Milano dengan turut mengisahkan di media sosial pengalaman mereka saat dilecehkan. Aksi sederet aktris Hollywood memicu mereka untuk buka suara soal perlakuan seksis dan merendahkan yang sempat dialami.
Diwartakan The Guardian, hampir 68 ribu orang membalas pernyataan Milano di Twitter tersebut. Tagar #MeToo pun telah digunakan lebih dari satu juta kali di AS, Eropa, dan Asia. Facebook menyatakan bahwa dalam 24 jam setelah Milano membuat ajakan bagi para penyintas pelecehan seksual untuk bersuara, 4,7 juta orang di seluruh dunia terlibat dalam percakapan dengan tagar itu, dengan lebih dari 12 juta posts, komentar, dan reaksi.
Aktivis feminis dan salah satu penggagas Women’s Room, Caroline Criado-Perez, menyatakan bahwa kampanye #MeToo bukan hanya berpusat pada kelakuan Harvey Weinstein.
“Saya pikir penting untuk mengingat bahwa kampanye #MeToo bukan soal satu laki-laki jahat yang melakukan berbagai perbuatan buruk karena dia seorang monster. Dan untuk memperjelasnya, bukan hanya monster-monster yang melakukannya… Hal ini bisa terjadi di setiap negara setiap harinya kepada para perempuan, dan ini dilakukan oleh teman, kolega, ‘orang baik-baik’ yang peduli terhadap lingkungan, anak, bahkan melek feminisme,” jelas Criado-Perez.
Panggilan kepada orang-orang yang pernah dilecehkan untuk bersuara bukan cuma dilakukan Milano. Sekitar satu dekade silam, aktivis Tarana Burke menggagas Just Be Inc., LSM yang membantu penyintas pelecehan dan kekerasan seksual. The New York Timesmencatat, pada 1997, Burke sempat bertemu dengan seorang remaja putri 13 tahun yang mengalami kekerasan seksual. Cerita remaja itu menyentuh hati Burke dan menginspirasinya membuat gerakan Me Too.
Di Indonesia, kampanye #MeToo ditemukan dalam status-status Facebook sejumlah perempuan dan grup. Ada yang pernah mendapatkan kontak fisik tak diinginkan di tempat kerja, ada yang menyoroti cat-calling sebagai awal mula pelecehan seksual, ada pula yang menceritakan bahwa pelecehan terjadi tidak hanya kepada mereka yang cantik.
Eliza Vitri Handayani, misalnya, menceritakan pelecehan seksual yang dialaminya dalam status Facebook yang dibubuhi tagar #MeToo pada 20 Oktober lalu. Saat mengambil studi film di AS, Eliza sempat mendapat kekerasan seksual dari laki-laki yang mengaku terlibat dalam New York Film Festival.
Kali lain, saat bekerja di suatu penerbit, pipinya pernah disentuh oleh si bos laki-laki tanpa ia kehendaki. Ternyata, bukan Eliza saja yang sempat mengalami pelecehan semacam itu. Ketika ia pindah kantor, ia mendapat kabar bahwa mantan bosnya tersebut juga melakukan hal serupa ke perempuan lain yang pernah bekerja dengannya. Lelucon serta komentar merendahkan perempuan menjadi catatan tambahan perilaku seksis laki-laki yang tidak sekali dua kali ditemukannya di dunia penerbitan.
“Selama interview untuk riset, saya pernah diraba dan ditawari berhubungan seks, pertanyaan-pertanyaan saya dijawab dengan hal yang sama sekali tidak berhubungan, terkait dengan penampilan dan kehidupan seks saya,” demikian petikan pengakuan Eliza yang bekerja sebagai penulis.
Selain #MeToo, kampanye sejenis untuk melawan pelecehan dan kekerasan seksual pun diciptakan di Indonesia lewat tagar #MulaiBicara sejak 2016. Kampanye ini dimulai Lentera Sintas Indonesia dengan tujuan membuat perbincangan soal pelecehan seksual tidak lagi tabu.
Dalam petisi di Change.org, tagar #MulaiBicara dipakai untuk mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Lentera Sintas Indonesia mengajukan petisi kepada Komisi VIII DPR RI, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Presiden Joko Widodo, serta Ketua dan para Wakil Ketua DPR RI. Sejauh ini, telah terkumpul 89.440 orang yang menandatangani petisi buatan mereka.
Sekalipun banyak upaya telah dilakukan untuk menggalakkan kesadaran akan meluasnya pelecehan terhadap perempuan, perjalanan panjang untuk mewujudkan kondisi aman dan nyaman bagi mereka masih harus ditempuh. Masih banyak pihak yang tidak sensitif dalam memperlakukan perempuan dan menormalisasi gurauan mesum, cat-calling, kontak fisik, serta melontarkan ucapan-ucapan yang tidak diinginkan dan merendahkan perempuan.
Baca juga:Cara-Cara Perempuan Melawan Pelecehan di Jalan
Penyalahan korban bukanlah hal yang langka ditemukan dalam kasus-kasus pelecehan atau kekerasan terhadap perempuan. Mulai dari mengatakan si korban merupakan perempuan nakal, menggunakan pakaian provokatif, suka keluar malam-malam, menuduh korban hanya mencari perhatian atau berbohong, sampai menyudutkannya dengan ucapan, “Salah sendiri kamu tidak melawan atau langsung melapor”.
Kondisi menyalahkan korban ini ditekankan dalam tulisan aktivis, Yara al-Wazir, di situs al-Arabiya. Perempuan ini mengatakan, budaya Arab senantiasa mendorong orang untuk menutup mulut soal pelecehan seksual. Bahasa yang digunakan dalam banyak pemberitaan tentang pelecehan seksual lebih menekankan kepada perempuan sebagai korban. Menurut al-Wazir, dengan berfokus pada perempuan, perbincangan terus berkisar pada penyalahan korban.
Baca juga:Gunung Es Pelecehan Seksual di Arab Saudi
Bisa saja di negara-negara lain, terlebih di Barat, kampanye #MeToo lebih mudah disebarkan dan diikuti oleh para penyintas pelecehan. Namun, lain cerita dengan di negara konservatif macam Arab. Dari kacamata al-Wazir, perempuan-perempuan Arab tidak dengan mudah menceritakan pengalaman pelecehan mereka lantaran adanya sarkasme ketika menanggapi kekerasan berbasis gender di media sosial.
Ada pula faktor ketiadaan regulasi yang menjatuhkan sanksi bagi pelaku pelecehan seksual. Jangankan di Arab, di negara-negara lain dengan regulasi terkait pelecehan seksual pun belum tentu penegakkan hukumnya dipraktikkan dengan baik.
Berita tentang kampanye #MeToo memang menyita perhatian khalayak, bahkan mendorong sebagian dari mereka untuk beraksi. Namun yang menarik dari fenomena ini adalah ketika aksi-aksi tersebut dimulai dari para pesohor yang mulai bicara tentang pelecehan seksual.
Nyatanya, kesadaran akan isu ini sudah digalakkan dari waktu ke waktu oleh berbagai kelompok dan individu. Apakah mesti menunggu ada peristiwa besar dan viral dulu agar kesadaran akan pelecehan seksual muncul di permukaan dan mendatangkan aksi?
Para penyintas yang menyuarakan pengalamannya adalah satu langkah awal krusial dalam melawan perilaku seksis. Kendati demikian, ada hal lain yang juga mendorong keberhasilan kampanye seperti #MeToo dan #MulaiBicara: partisipasi aktif setiap orang, baik yang pernah mengalami atau tidak mengalami pelecehan seksual, untuk menghindari ujaran dan perlakuan merendahkan gender tertentu dalam keseharian.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani