Menuju konten utama

Festival Musik: Neraka Kekerasan Seksual bagi Perempuan

Festival musik semestinya jadi tempat bersenang-senang dan mengekspresikan diri. Dengan catatan: cuma untuk laki-laki.

Festival Musik: Neraka Kekerasan Seksual bagi Perempuan
Penonton Perempuan di Festival Musik. tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - Jurnalis Vera Papisova baru pertama kali menghadiri festival musik tahunan Coachella di California, Amerika Serikat. Berkat undangan sebuah aplikasi kesehatan seksual, ia dapat menikmati festival musik terbesar di negeri Paman Sam tersebut.

Menurut Teen Vogue, Papisova merasakan pengalaman yang sebelumnya tak terbayangkan: tidur siang di lapangan rumput, bebas mengekspresikan diri saat menari, dan bertemu orang yang sama sekali asing. Ia memuji penampilan musisi serta band yang dinilainya luar biasa, tidak terkecuali si ratu musik Beyoncé.

Kedatangan Papisova ke festival musik Coachella bukan semata-mata untuk bersenang-senang. Selama tiga hari, ia menghabiskan waktu mewawancarai penikmat festival tentang pengalaman pelecehan dan penyerangan seksual untuk Teen Vogue.

Sebanyak 54 perempuan yang diwawancarai Papisova mengaku mengalami pelecehan atau penyerangan seksual selama berada di festival musik Coachella tahun ini. Mereka diraba di bagian pantat dan punggung oleh laki-laki tidak dikenal. Ada pula orang yang mendekatkan wajahnya seraya mengajak berciuman. Salah satu penikmat festival malah diangkat di atas bahu sebab ia berbadan kecil.

Seperti yang dilansir Teen Vogue, peristiwa di atas tidak hanya menimpa narasumber Papisova tapi juga dirinya. Ia menceritakan seseorang memegang pantatnya dengan kedua tangan ketika Papisova berusaha mengambil gambar musisi David Byrne. Di lain kesempatan, seorang laki-laki menguntitnya lalu mengusap pinggang dan pantat setelah berbisik “Kamu seorang dewi”.

Saat Papisova antre membeli makanan kecil lagi-lagi seorang laki-laki mencolek dan menjamah bagian perutnya yang terbuka. Papisova mengatakan bahwa total ia diraba sebanyak 22 kali selama bertugas di lapangan.

Tak hanya sentuhan fisik, Papisova juga menerima ucapan kasar kala menolak ajakan laki-laki tak dikenal. Suatu saat, Papisova sedang mengantre kamar mandi dan seorang pria menghampiri sembari memuji jaket yang ia kenakan. Laki-laki itu kemudian mengatakan bahwa dirinya ingin masuk ke kamar mandi bersama Papisova.

Papisova jengkel dan menyuruh pria tersebut menjaga omongannya. Bukannya meminta maaf, laki-laki itu membalas ucapan Papisova dengan berkata, "Wow, sikap itu berlebihan untuk model tak ternama." Tak hanya itu, Papisova pun sempat dicerca “pelacur kejam” ketika ia menolak berciuman dengan seorang laki-laki asing.

Kasus kekerasan seksual tidak hanya terjadi di festival musik di Amerika. Metro melaporkan seorang perempuan berumur 15 tahun mengaku diperkosa orang asing saat festival musik Bestival berlangsung tahun 2011. Ia mengatakan bahwa peristiwa tersebut terjadi di dekat panggung utama festival musik, tepatnya ketika penyanyi pop Swedia Robyn sedang tampil.

Bestival merupakan festival musik yang diadakan di Lulworth Estate, Inggris. Menurut Metro, festival musik ini berkembang dan populer sejak diselenggarakan pertama kali tahun 2004.

Festival musik Bråvalla pun tak luput dari kejadian kekerasan seksual. Guardian memberitakan bahwa pada 2017, sebanyak 4 laporan pemerkosaan dan 23 penyerangan seksual diterima polisi di tenggara distrik Östergötland, tempat festival musik Bråvalla diselenggarakan. Karena kejadian ini, panitia membatalkan penyelenggaraan festival musik Bråvalla tahun 2018.

Pada 2016, media lokal memberitakan bahwa terdapat lima perempuan yang diduga diperkosa saat festival musik tahunan itu berlangsung. Hal ini berdampak pada penjualan tiket. FKP Scorpio, pemilik festival terbesar di Swedia tersebut, mengatakan tikel festival hanya terjual sebanyak 45.000 lembar tahun 2017. Pada tahun 2016, jumlahnya lebih besar, yakni 52.000 lembar.

“Festival ini tidak lagi soal musik dan hampir sepenuhnya jadi soal kejahatan dan kekerasan,” kata Folkert Koopmans selaku pemimpin FKP Scorpio kepada Guardian.

Kasus pelecehan seksual di festival musik sebagaimana diberitakan media massa serupa juga ditunjukkan melalui hasil survei daring OurMusicMyBody. Berdasarkan laporan Chicago Tribune, OurMusicMyBody merupakan kampanye yang digalang organisasi Between Friends dan Rape Victim Advocates. Tujuannya adalah mempromosikan “pengalaman musik yang menyenangkan dan konsensual untuk semua” lewat kebijakan dan pedoman anti-pelecehan di lokasi dan festival musik di Chicago.

Chicago Tribune melaporkan bahwa survei daring tersebut dilakukan antara 27 November hingga 11 Desember 2017. Sebanyak 500 orang menjawab pertanyaan seputar pelecehan yang wujudnya dapat berupa kekerasan verbal hingga penyerangan fisik. Responden lalu dibagi berdasarkan jenis kelamin, yakni 379 perempuan, 84 laki-laki, dan 57 jenis kelamin non-biner.

Hasilnya, hampir seluruh responden wanita (92%) mengaku dilecehkan di tempat acara musik diadakan. Perlakuan yang diterima seputar pelecehan verbal, rabaan, bahasa tubuh seksual, penguntitan, diteriaki, dan difoto serta direkam tanpa izin.

Sementara itu, 31% penggemar laki-laki mengalami pelecehan fisik dan nonfisik. Sebanyak 60% penikmat musik transgender selanjutnya melaporkan adanya kekerasan fisik akibat homofobia dan transfobia.

Lewat pertanyaan survei, OurMusicMyBody meminta responden mencentang berbagai pilihan yang menggambarkan pengalaman pelecehan mereka. Dari 1.286 contoh tindakan pelecehan yang diperoleh OurMusicMyBody, sebanyak 47% mendapat komentar tidak dikehendaki tentang tubuhnya, 41% pernah diraba, dan 45% dirayu secara agresif.

Responden juga ditanya tindakan keamanan seperti apa yang diinginkan untuk mencegah pelecehan seksual di festival musik. Dari 505 tanggapan, 99% responden menyatakan merasa lebih aman jika personel keamanan ditambah. Sebanyak 84% penikmat musik ingin jika staf dan petugas keamanan menerima latihan pencegahan kekerasan dan intervensi krisis.

Selain itu, 75% responden menghendaki festival dan tempat penyelenggaraan acara musik memperbanyak rambu yang menjelaskan kebijakan anti-pelecehan. Sebanyak 62% penikmat musik berharap ada ruang aman (safe space) bagi mereka yang dilecehkan sekaligus menjadi tempat di mana mereka tetap bisa menikmati festival musik.

Responden juga menginginkan agar festival dan tempat penyelenggaraan acara musik tidak menampilkan artis atau kelompok musik yang memiliki sejarah kekerasan terhadap orang lain (80%). Di samping itu, mereka lebih suka jika festival dan tempat penyelenggaraan acara musik bekerjasama dengan organisasi yang fokus pada pencegahan pelecehan dan kekerasan (67%).

Izabella Phoenix Steyger dari Cardiff Metropolitan University pun melakukan penelitian dengan tema serupa. Ia meriset 124 perempuan tentang opini dan pengalaman pelecehan serta penyerangan seksual di acara musik. Dari penelitian itu didapatkan data bahwa pelecehan dan penyerangan seksual yang menimpa perempuan lebih banyak terjadi di festival musik dibandingkan konser atau gigs. Sebanyak 32% perempuan pernah diraba pada bagian tidak sepantasnya ketika datang ke festival musik dibandingkan saat di konser atau gigs (24%).

Bersama-sama Mencegah Kekerasan Seksual

Hannah Camilleri masih ingat pengalaman tak mengenakkan di konser band Peace yang diselenggarakan tahun 2015 silam. Ia bercerita bahwa seorang laki-laki yang berdiri di belakang Camilleri menaruh tangannya di bagian pinggang dan paha.

“Aku bertubuh kecil jadi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Laki-laki itu tetap berusaha menaruh tangannya di pahaku ... setiap aku berusaha menepis tangannya, ia justru membuatku berada di situasi di mana aku tidak bisa bergerak,” katanya kepada BBC.

Kepada Vice, Camilleri bercerita bahwa ia tidak langsung menceritakan kisah tersebut pada temannya. Ia baru angkat bicara ketika seorang teman memberitahu jika dirinya berniat menonton konser band asal Inggris itu.

Menurut Guardian, sejumlah respon didapatkan setelah teman Camilleri menulis pengalamannya di media sosial. Dari sanalah muncul kelompok kampanye Girls Against yang dibentuk lima perempuan remaja, termasuk Camilleri.

Tujuan mereka adalah menyediakan ruang aman untuk berbicara dan membantu memulihkan kondisi korban pelecehan. Tidak hanya itu, mereka juga mempunyai agenda besar, yakni mengakhiri pelecehan seksual di acara musik.

Guardian menyebutkan Girls Against turut terlibat dalam Safer Spaces Campaign, kampanye yang dilakukan oleh Association for Independent Festivals (AIF). Salah satu aktivitas mereka adalah mendesak 24 jam “pembekuan” situs dan akun media sosial festival musik dengan maksud meningkatkan kesadaran akan penyerangan seksual.

Mereka juga menerapkan piagam keselamatan yang ditandatangani oleh beberapa festival musik di Inggris antara lain Bestival, Secret Garden Party, Boomtown Fair, dan End of the Road. Prinsip yang tertuang dalam piagam tersebut adalah “Toleransi Nol untuk Penyerangan Seksual, Menyingkir Kecuali Disetujui, dan Jangan Cuma Jadi Pengamat”.

Menurut Girls Against, tindakan pelecehan seperti meraba tubuh terus terjadi sebab kurangnya kesadaran. “Banyak orang berpikir kalau meraba adalah tindakan yang pasti dan selalu terjadi saat pertunjukan musik, apapun yang terjadi,” kata Girls Against kepada Vice.

Oleh karena itu, Girls Against berpendapat bahwa mereka harus mampu menunjukkan betapa tindakan tersebut kerap terjadi untuk membuktikan bahwa pelecehan adalah persoalan serius yang perlu direspons.

Infografik Kekerasan seksual di festival musik

Acara Musik di Indonesia pun Tak Bebas Pelecehan Seksual

“Sebagai penonton pada saat melihat konser kan berusaha untuk maju karena ingin berdiri di paling depan. Begitu di paling depan kayak ada yang memeluk dari belakang. Terus napasnya terasa di tengkuk,” aku Kartika Jahja saat ditanya soal pengalaman pribadi terkait pelecehan seksual. Kala itu, ia sedang menonton konser band punk rock asal Amerika Serikat, Misfits.

Kepada Tirto, vokalis Tika and The Dissidents itu bercerita bahwa ia juga mengalami pelecehan seksual ketika tampil di atas panggung. “Pernah lagi manggung tiba-tiba ada penonton yang masturbasi. Pernah juga saya lagi manggung terus berlutut [untuk] menyorong mike ke penonton itu pahanya dipegang beberapa orang,” katanya.

Tidak hanya Kartika, Yacko pun mengalami hal yang sama saat manggung di sebuah acara musik. “Aku kan memang suka crowd surfing dan stage diving. Ada di satu tempat yang penontonnya ramai banget, ada yang meremas dengan sengaja bagian dada,” ujar rapper perempuan tersebut ketika dihubungi Tirto.

Ia naik pitam lalu menghentikan pertunjukan saat itu juga. “Siapa nih yang kurang ajar. Kalau berani ke sini, minta maaf lo,” tanya Yacko pada penonton. Tapi, usahanya sia-sia sebab tidak satu pun audiens yang mengaku.

Berbeda dengan kisah dua penyanyi di atas, Pramilla Deva belum pernah mengalami kekerasan sewaktu datang ke acara musik. “Tapi upaya menuju ke situ sudah ada, misalnya ada saja yang berniat mau megang-megang. Bahkan biasanya terjadi modus-modus kayak menaruh satu drug dalam minuman terus ditawarkan ke perempuan. Kalau itu aku sudah pernah mengalami,” aku pegiat kelompok Kolektif Betina itu kepada Tirto.

Kartika menilai festival musik di Indonesia cenderung bernuansa maskulin sehingga membuat perempuan merasa tidak nyaman. “Industri musik Indonesia bergantung pada rokok dan rokok ditargetkan sebagian besar untuk laki-laki, sehingga feel-nya festival-festival musik sangat maskulin. Dari situ mungkin belum ada pelecehan, tapi segmentasi [produk] itu membuat perempuan merasa festival musik tak memberi tempat untuk mereka,” katanya.

Festival musik berskala besar yang diselenggarakan pun rata-rata beraliran rock atau metal yang dianggap bukan ranah perempuan. Hal ini membuat perempuan yang “nekat” pergi ke festival musik sering mengalami kekerasan seksual. “Dan saat seseorang mengalami [kekerasan] itu, tiba-tiba muncul pembenaran: kenapa kok perempuan ada di acara-acara seperti ini,” ujar Tika. Sementara itu, ia mengatakan bahwa penyelenggara festival musik belum mengambil sikap yang tegas ketika kekerasan seksual terjadi.

Pramilla menilai sosok musisi punya peran penting untuk mengampanyekan isu kekerasan seksual di pagelaran musik. “Musisi atau penampil itu punya tanggung jawab sosial kalau dia adalah sosok yang dicontoh, diikuti. Jadi dia harusnya memberikan edukasi. Itu langkah sederhana tapi sangat berpengaruh,” ujar Milla.

Ia mencontohkan drummer Jerinx dari Superman Is Dead yang menolak reklamasi Teluk Benoa di Bali. Tindakan Jerinx diikuti oleh penggemar band asal pulau dewata itu.

Di sisi lain, Yacko berpendapat penyelenggara festival musik bisa merilis pedoman untuk mencegah kekerasan seksual. Isinya seruan agar selalu menjaga keamanan, menjaga satu sama lain, dan memperlakukan orang lain dengan baik. “Terus juga mungkin di­-boost up­ di social media, jadi kerjasama dengan gerakan yang concern dengan hal itu,” terangnya.

Kartika menilai penyelenggara dan pihak berwajib lambat laun akan menyadari kasus-kasus pelecehan seksual di acara musik seiring gencarnya kampanye anti-kekerasan seksual. “Mereka itu 'kan melihat saja sebenarnya ‘Oh, ini buruk buat publisitas’ atau ‘Ini enggak ada yang peduli’. Kalau buruk buat publisitas mereka bertindak,” katanya.

Ia pun menekankan kampanye tersebut tidak bisa dilakukan hanya oleh perempuan. Laki-laki pun harus punya sikap menolak kekerasan seksual di acara musik.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Nindias Nur Khalika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Nindias Nur Khalika
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Windu Jusuf