tirto.id - Beberapa hari yang lalu, tepatnya 10 September 2016, Yoko Ono mengumumkan sebuah pernyataan yang mengajak seluruh perempuan di dunia untuk berpartisipasi dalam proyek seninya yang bertajuk “Arising". Yoko meminta para perempuan mengirimkan bukti kejahatan dan kekerasan yang pernah mereka alami.
Pesan itu berbunyi:
"Kepada perempuan dari semua usia, dari semua negara: Anda diundang untuk mengirim surat wasiat penderitaan yang Anda alami sebagai seorang perempuan.
Tulis wasiat itu dalam bahasa Anda sendiri, dengan kata-kata Anda sendiri, dan seterbuka yang Anda inginkan. Cantumkan nama depan Anda, namun tidak perlu memberikan nama lengkap Anda.
Kirim juga foto mata Anda. Surat wasiat penderitaan dan foto mata Anda akan dipamerkan dalam karya instalasi saya, 7 Oktober 2016-5 Februari, di Reykjavik ART MUSEUM.
Saya sangat mengharapkan partisipasi Anda."
Dalam karya itu, janda mendiang John Lennon ini akan mengkompilasikan kesaksian tertulis beserta foto mata setiap wanita, lalu menjadikannya sepotong gambar. Melalui gambar dan kata-kata, Yoko ingin mengajak sesama perempuan agar saling mendengar dan melihat penderitaan yang mereka alami.
Seniman asal Jepang ini memang terkenal sering memasukkan unsur-unsur feminisme dalam karyanya. Ia bahkan pernah secara serius mengkritik tindak kekerasan ini melalui karya pertunjukkannya yang berjudul “Cut Piece”. Dalam pertunjukkan itu, Yoko Ono berperan sebagai objek korban kekerasan, ia meminta penonton datang satu per satu ke atas panggung, lalu meminta mereka memotong pakaiannya hingga habis.
Yoko yang saat itu menggunakan dress berwarna hitam tampak pasrah ketika para penonton memotong pakaiannya satu per satu, kejadian itu seperti menggambarkan penderitaan seorang perempuan akibat tindak kekerasan seksual.
Karya fenomenal ini pertama kali ditampilkan di Yamaichi Concert Hall, Kyoto, Jepang pada 20 Juli 1964. Karya itu kembali ditampikan pada September 2003 di Teater Le Ranelagh, Paris, sebagai bentuk kampanye perdamaian dan demonstrasi terhadap iklim politik di Amerika. Dia meminta penonton untuk memotong pakaiannya lalu mengirimkan potongan-potongan itu kepada orang yang dicintai sebagai tanda rekonsiliasi.
Yoko Ono bukan satu-satunya seniman yang pernah memprotes tindak kekerasan terhadap perempuan. Seniman asal Guatemala, Spanyol, Regina José Galindo bahkan pernah membuat sebuah karya dengan cara mengukir kata “Perra” (jalang atau pelacur dalam bahasa Spanyol) dengan pisau dipahanya. Hal itu dilakukannya guna memprotes kekerasan dan pembunuhan terhadap perempuan di Guatemala.
Dalam karya itu, Regina ingin mengajak seluruh perempuan di dunia untuk sama-sama merasakan penderitaan serta melawan tindak kekerasan yang dialami kaumnya.
"... Kita harus benar-benar memahami bahwa segala sesuatu di dunia ini dirantai, dan kesalahan manusia adalah merasa berbeda satu sama lain, kita semua sama. Apa yang terjadi pada seorang wanita di Jerman terjadi pada saya. Kami adalah satu individu, satu tubuh. " katanya dikutip dari inspirewetrust.com.
Selain Regina, Seniman tato asal Brazil, Flavia Carvalho juga ikut ambil bagian dalam menyembuhkan trauma para korban. Selama beberapa tahun ia telah membuat program tato gratis bagi korban kekerasan dalam rumah tangga guna menutupi bekas luka dan tanda-tanda kekerasan fisik. Proyek itu dinamakan "A Pele da Flor".
Dalam sebuah pernyataan, ia mengaku, hal itu bermula saat merajah seorang klien yang ingin menutupi bekas luka besar di perut akibat tikaman pisau oleh seorang laki-laki.
"Ketika saya bekerja dengan klien yang ingin menutupi bekas luka besar di perut. Dia mengatakan kepada saya bahwa dia berada di sebuah klub malam, dan ketika berbalik seorang pria menikam perutnya dengan pisau. Ketika dia melihat tato itu selesai, ia sangat terharu, dan ini sangat menyentuh saya,” ungkap Flavia.
Karya seni seolah menjadi media yang tepat untuk memprotes kekerasan terhadap perempuan. Hal inilah yang mengilhami beberapa seniman Cina menggelar pameran di Jinge Art Gallery. Namun sayang, pameran yang akan berlangsung tepat pada peringatan Hari Internasional Bagi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan ini batal diselenggarakan karena mendapat larangan dari pemerintah.
"Alasan pameran kami dibatalkan adalah tekanan dari otoritas yang lebih tinggi," kata Cui Guangxia, artis yang berbasis di Beijing kepada The Guardian November 2015 lalu.
Pameran itu rencananya akan menampilkan karya dari 64 seniman Cina, 32 perempuan dan 32 laki-laki. Dalam sebuah foto, salah satu karya instalasi yang akan ditampilkan adalah sebuah bra yang dijahit dengan puluhan uang kertas Cina kusut bergambar wajah Mao Zedong. Sementara potret lain menunjukkan seorang wanita memegang spanduk yang memprotes pelecehan seksual terhadap anak-anak.
Kekerasan Seksual Mencengkram Para Perempuan
Kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah yang belum juga ada penyelesaiannya. Menurut data yang dilempar WHO, hampir 35 persen perempuan di seluruh dunia telah mengalami kekerasan fisik maupun kekerasan seksual, baik dari pasangannya maupun orang lain. Secara global, sebanyak 38 persen wanita telah tewas akibat pembunuhan yang dilakukan pasangannya.
Sementara menurut Un Women, sekitar 70 persen perempuan di seluruh dunia mengalami kekerasan fisik dan seksual dari pasangan hidup mereka. Selain itu, 43 persen perempuan di negara anggota Uni Eropa juga mengalami beberapa bentuk kekerasan psikologis oleh pasangan hidup mereka.
Pada 2012, sebuah penelitian yang dilakukan di New Delhi menemukan bahwa 92 persen perempuan dilaporkan telah mengalami beberapa bentuk kekerasan seksual di ruang publik. Selain itu, sekitar 120 juta anak perempuan di seluruh dunia telah mengalami hubungan seksual secara paksa.
Sementara di Indonesia, menurut data Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan yang dikeluarkan pada 8 Maret 2016 lalu, jumlah kekerasan terhadap istri di tahun 2015 mencapai 6.725 kasus, kekerasan dalam pacaran mencapai 2.734 kasus dan kekerasan terhadap anak perempuan mencapai 930 kasus. Sementara kasus perkosaan mencapai 2.399 kasus, pencabulan 601 kasus, dan pelecehan seksual 166 kasus.
Namun, dari sekian banyak kasus pelecehan seksual itu, yang masih melekat diingatan adalah kasus pemerkosaan dan pembunuhan yang menimpa YY. Seorang siswi SMP di Kecamatan Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu itu diperkosa dengan cara yang biadab. YY dicabuli secara bergantian oleh 14 orang ABG. Setelah puas melakukan tindakan keji itu, para pelaku mengikat dan membuang tubuh korban ke jurang sedalam 5 meter dan menutupinya dengan dedaunan dalam kondisi telanjang. Hasil visum menyebutkan, YY sudah meninggal saat pemerkosaan berlangsung.
Kejadian ini mendapat respons dari pemerintah, Pada tanggal 25 Mei 2016 lalu, Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2016 - perubahan kedua atas nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak atau yang sering disebut sebagai Perppu Kebiri.
Dalam Perppu tersebut, pemerintah menerapkan sejumlah sanksi berat kepada pelaku kejahatan seksual, yakni hukuman mati, sanksi penjara seumur hidup, pengumuman identitas pelaku, kurungan penjara minimal 10 tahun dan hukuman kebiri.
Melihat begitu marakknya kasus kekerasan yang menimpa perempuan, ajakan Yoko Ono untuk terlibat dalam karya seninya pun terasa sangat bermanfaat, terutama untuk mengingatkan kembali ke masyarakat bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan ini benar-benar rentan terjadi.
"Kepada perempuan dari semua usia, dari semua negara: Anda diundang untuk mengirim surat wasiat penderitaan yang Anda alami sebagai seorang perempuan. Saya sangat mengharapkan partisipasi Anda."
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti