tirto.id - Di sudut sebuah kantor perusahaan media di Jakarta Selatan, empat orang pemuda asik mengerubungi sebuah layar laptop. Satu orang bertindak sebagai operator, sedangkan tiga lainnya secara bergantian memesan video mana yang ingin disaksikan. Tidak lama kemudian, si operator memutar sebuah lagu yang dinyanyikan perempuan asal Sidoarjo, Jawa Timur, Via Vallen.
"Sayang, opo kowe krungu...."
Belum habis lagu tersebut diputar, seorang lainnya menimpali, "'Jaran Goyang', dong, Nella Kharisma." Si operator dengan cekatan segara mengetik "Jaran Goyang" pada mesin pencarian di Youtube.
Baik Via Vallen maupun Nella Kharisma memang pedangdut koplo yang sedang menjadi primadona. Lagu keduanya ringan. Liriknya pun lugas. Dengan apik, bahasa Indonesia dan bahasa Jawa khas Jawa Timur dibaurkan dalam lirik. Terutama Via, ia sangat rajin meng-koplo-kan lagu-lagu tenar seperti "Despacito", "Akad" (Payung Teduh), atau "Asal Kau Bahagia" (Armada), hingga "Sunset di Tanah Anarki" (Superman is Dead) di pentas panggung bersama Orkes Melayu (OM) Sera.
Baca juga: Laris Manis Cover Lagu "Akad", Bagaimana Hukumnya?
Sejak pertama kali diunggah delapan bulan lalu hingga Selasa (24/10) sore, video klip Via Vallen berjudul "Sayang" telah ditonton sebanyak 72 juta kali. Sementara "Jaran Goyang"-nya Nella Kharisma ditonton sebanyak 61 juta kali setelah diunggah lima bulan lalu.
Jumlah penonton tersebut melejit jauh di atas jumlah penonton video klip di Youtube milik penyanyi perempuan yang segenerasi, misalnya Raisa atau Isyana Sarasvati, yang bahkan sudah diunggah jauh lebih lama. Video klip Raisa yang paling banyak ditonton di Youtube berjudul "Kali Kedua". Video itu diunggah akun @raisa6690 dan ditonton sebanyak 24 juta kali. Sedangkan "Tetap Dalam Jiwa" yang diunggah oleh @isyanaVevo menjadi video klip Isyana Sarasvati yang paling banyak ditonton di Youtube. Video itu ditonton sebanyak 68 juta kali.
Kehebohan lagu "Akad"-nya Payung Teduh, termasuk kemunculan kontroversi mengenai video klip yang menampilkan versi cover, tak membuat lagu itu dapat melampaui jumlah penonton duo Via Vallen dan Nella Kharisma. Klip "Akad" yang diunggah empat bulan lalu baru ditonton 35 juta kali. Sedangkan versi klip yang menampilkan cover yang dibawakan "Hanin Dhiya" ditonton sebanyak 41 juta kali.
Soeharto Lengser, Dangdut Etnik Moncer
Perkembangan dangdut koplo tidak bisa dilepaskan dari perkembangan musik dangdut di Indonesia. Berakar dari orkes Melayu yang nuansa musiknya sangat dipengaruhi musik (film) India dan musik populer Timur Tengah, dengan irama gendang dan suling yang menjadi ciri khas, dangdut mulai berkembang pada 1950-an dan 1960-an. Sejumlah musisi seperti Ellya Khadam, Munif Bahasuan, dan A. Rafiq dikenal sebagai musisi periode tersebut.
Dalam perjalanannya, beragam sentuhan genre musik lain turut mewarnai dangdut. Pada awal 1970-an, "Raja Dangdut" Rhoma Irama memasukkan unsur suara dan gaya pertunjukan ala rock Amerika Serikat (AS) dan Inggris ke dalam musik dangdut. Sementara itu, A. Rafiq selalu bergaya bak bintang rock n roll AS Elvis Presley dalam pertunjukannya.
Baca juga: Elvis Presley yang Mengguncang Panggung Dangdut Indonesia
Selain unsur-unsur yang berasal dari luar negeri, dangdut juga berbaur dengan elemen musik lokal. Andrew Weintraub, dalam Dangdut Stories, menyebutkan bahwa setelah kejatuhan Soeharto, dangdut etnik menyebar dan merasuki kancah musik lokal di banyak bagian di Indonesia.
“Dangdut, awalnya diasosiasikan dengan Melayu dan India pada 1970-an, kemudian ditandai ulang sebagai musik nasional pada 1980-an dan 1990-an, telah berkembang menjadi sesuatu yang ‘etnik’ dan ‘kedaerahan’ pada 2000-an,” sebut Weintraub.
Di Sumatera Barat berkembang saluang dangdut Minang, sedangkan di Jawa Barat berkembang jaipong-dut Sunda dan tarling Cirebonan. Sementara itu, di Jawa Timur berkembang dangdut koplo. Kancah koplo inilah yang melahirkan Via Vallen dan Nella Kharisma.
“Memang dari awal Via jalannya dari dangdut koplo, sih. Via berangkatnya memang dari musik dangdut koplo. Masak, iya, ibaratnya udah sampai di tempat, Via mau banting setir pindah dari musik koplo ke musik yang lain. Itu kayaknya jahat banget, ya. Jadi Via tetap konsisten di jalur musik (koplo),” ujar Via Vallen dalam suatu wawancara kepada CNN Indonesia TV.
Lantas apa yang membuat dangdut koplo berbeda dengan format dangdut lainnya? Tak lain adalah pola tabuhan gendangnya. Berdasarkan pola yang dipetakan Weintraub, irama gendang dangdut koplo mengandung tabuhan "dang" dua kali lebih banyak daripada "dut". Ia juga memiliki tempo lebih cepat dari irama gendang dangdut biasanya.
Irama ini yang kemudian menjadi asal-usul kata "koplo". Kata tersebut digunakan karena irama dangdut koplo seolah merangsang pendengarnya untuk nge-fly, sensasi yang dirasakan setelah menenggak pil koplo – jenis obat-obatan yang menyebabkan halusinasi dan dijual murah di Indonesia. Penamaan koplo, dengan merujuk harga pil koplo yang relatif murah sehingga mudah diakses, juga menjadi perumpamaan bahwa dangdut koplo adalah musik rakyat, lahir dari akar rumput.
Lantas, siapa pencipta irama gendang dangdut koplo?
Jawabannya masih problematis. Dalam “The Sound and Spectacle of Dangdut Koplo”, Weintraub menyebut bahwa irama tersebut berkembang di Jawa Timur, tetapi asal-usulnya sulit ditentukan. Waryo dari grup OM Armega dan Slamet Rudi Hartono dari grup Palapa sering disebut sebagai pemain gendang yang memopulerkan irama gendang koplo.
Namun, musisi Abdul Malik B.Z. mengklaim pernah memasukkan irama gendang serupa koplo ke dalam komposisi musiknya pada 1970-an. Pemain gendang di Jawa Barat pun berteori bahwa irama gendang koplo merupakan turunan dari motif gendang mincid jaipongan Sunda.
Baca juga: Ngaji Sorogan dan Joget Dangdut
Selain irama gendangnya, dangdut koplo juga tidak lengkap tanpa senggakan (sorakan) usil yang menyelip di tengah lagu. Dalam sebuah lagu dangdut koplo, para penyanyi atau pemain alat musik jamak menyambar dengan kata-kata seperti “dum plak ting ting joss”, “hok ya”, atau “asolole”. Bahkan beberapa kata terkesan lebih vulgar: “buka sitik joss”, “Icik-icik Ehem-ehem”, “Geli Dikit nyoh”, “ea e ea e ea e”, hingga “ayoo mass”.
Michael Haryo Bagus Raditya, dalam “Esensi Senggakan Pada Dangdut Koplo Sebagai Identitas Musikal”, mengatakan kata-kata yang muncul dalam senggakan bermakna lebih transparan dan lebih alami, sebagai bentuk ekspresi kebebasan. Menurutnya, senggakan juga wujud dari pertunjukan yang partisipatoris.
“Penonton dan pemain seakan tidak ada jarak, tidak ada beda, dan saling berinteraksi dalam merespons aktivitas yang ada. Aktivitas seperti halnya penyanyi menanyakan judul lagu yang diinginkan, mengajak bernyanyi, menggoda para penonton yang bergoyang,” sebut Michael, “Sedangkan pada lingkup pemusik, pemusik juga melihat dari joget dari penonton, ketika joget sudah berlangsung, maka tempo dan joget akan diklimakskan dengan iringan musik yang lebih cepat dan semangat.”
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Zen RS