tirto.id - Lagu “Akad” milik Payung Teduh meledak di pasaran. Setelah lama tak mengeluarkan materi baru (terakhir album berjudul Live & Loud yang dirilis tahun kemarin, itupun berisi barang lawas), Payung Teduh membawa angin segar untuk penggemarnya. Sebuah balada yang membuai pendengarnya seolah di atas pelaminan.
Tak percaya? Simak saja lirik yang berbunyi seperti: Bila nanti saatnya telah tiba/Kuingin kau menjadi istriku/Berjalan bersamamu dalam terik dan hujan/Berlarian ke sana-ke mari dan tertawa. Masih belum luluh? Perhatikan baris berikutnya: Namun bila saat berpisah telah tiba/Izinkanku menjaga dirimu/Berdua menikmati pelukan di ujung waktu/Sudilah kau temani diriku.
Bagi mereka yang memiliki pasangan, lagu “Akad” dapat dijadikan bahan gombal agar kekasih makin dimabuk asmara. Bagi pengantin, lagu ini pas buat resepsi. Singkatnya, “Akad” sedang menggeliat dan kita hanya mampu memandang gejolaknya.
Setidaknya ada dua indikator yang membuktikan tingginya popularitas “Akad.” Pertama, video musik “Akad” yang dirilis Payung teduh melalui akun Youtube telah ditonton 17 juta pasang mata hingga penghujung September ini. Jumlah fantastis untuk ukuran band yang lahir dari kancah independen. Yang kedua, keberadaan “Akad” turut mendorong banyak orang untuk membawakan ulang dengan versi masing-masing. Berdasarkan pengamatan di YouTube, terdapat 11 cover lagu “Akad” dengan jumlah viewer yang tak main-main: jutaan.
Dari sekian versi cover yang tersedia di YouTube, posisi puncak dengan jumlah viewer terbanyak ditempati oleh Hanin Dhiya. Cover “Akad” yang dinyanyikan Hanin ditonton sekitar 26 juta pasang mata. Jumlah itu bahkan melebih versi aslinya sendiri yang dimainkan Payung Teduh. Hanin merupakan penyanyi muda asal Bogor jebolan ajang pencarian bakat Rising Star Indonesia yang ditayangkan stasiun televisi RCTI pada 2014.
Menanggapi meledaknya “Akad,” perwakilan media relation Payung Teduh, Yurskie angkat bicara. Menurutnya, saat mengeluarkan lagu “Akad,” Payung Teduh tidak berharap lebih. Mereka tak membayangkan bakal terkenal seperti sekarang.
“Pada dasarnya Payung Teduh hanya ingin bikin lagu yang enak didengar umum. Kami tak punya ekspektasi apa-apa dan cukup enggak nyangka aja bisa sampai meledak seperti ini,” ungkap Yurskie saat dihubungi Tirto.
Dengan euforia “Akad” yang dinyanyikan banyak orang, muncul pertanyaan: apakah perlu izin ke Payung Teduh untuk menyanyikan Akad? Apakah lagu “Akad” dengan puluhan juta penonton yang dinyanyikan Hanin sudah memperoleh restu dari Payung Teduh?
“Belum ada satupun komunikasi atau izin untuk segala keperluan cover lagu “Akad” ke Payung Teduh,” aku Yurskie saat dihubungi Tirto.
Selaku pemilik asli lagu, Payung Teduh sebetulnya mengharap ada komunikasi dari mereka yang menyanyikan ulang “Akad” dalam bentuk izin lisan atau tertulis. Bagi Payung Teduh, izin menyanyikan ulang lagu mereka merupakan hal penting. Yurskie mencontohkan bagaimana Echa Soemantri dan Jubing Kristanto mengutarakan izin terlebih dahulu ketika akan membawakan lagu Payung Teduh.
“Posisinya di sini kan sama-sama musisi. Ya seharusnya paham apa yang harus dilakukan ketika ingin membawakan lagu orang lain. Aku pikir pihak Hanin yang cover-nya sudah disaksikan jutaan orang juga paham dan mengerti tentang kondisi seperti itu (izin kepada musisi pemilik lagu),” jelasnya.
Di satu sisi, Payung Teduh juga menerapkan perlakuan sama tatkala mereka hendak membawakan lagu musisi lain walaupun untuk acara berskala kecil seperti di kafe, misalnya. Yurskie menjelaskan, pernah suatu waktu Payung Teduh meminta izin kepada keluarga almarhum Chrisye terkait lagu yang ingin mereka mainkan dalam sebuah pementasan.
Tak bisa dipungkiri masalah semacam ini merupakan efek dari tumbuhnya bisnis musik digital. Budaya cover lagu, unggah ke YouTube lantas memperoleh ketenaran yang bahkan melebihi capaian musisi pembuat lagu. Payung Teduh yang merasa sebagai pemain "baru" dalam pusaran itu merasa harus lebih banyak belajar memahami kondisi di dalamnya.
Sementara dari pihak Hanin, sebagai penyanyi cover “Akad” yang videonya ditonton paling banyak mengaku sudah meminta salah satu anggota manajemen untuk mengutarakan izin kepada Payung Teduh berkaitan dengan penggunaan ulang lagu “Akad.”
Baca juga: Dua Musisi AS Gugat Ed Sheeran Atas Pelanggaran Hak Cipta
“Kami beberapa waktu lalu sudah meminta salah satu anggota (manajemen) kami yang mungkin kenal sama manajer Payung Teduh untuk mengizinkan penggunaan lagu “Akad.” Kami sudah minta untuk bilang. Tapi kurang tahu gimana jadinya,” kata Yusan selaku manajer Hanin kepada Tirto.
Saat ditanya apakah terdapat kontrak atau perjanjian resmi antara Hanin dan Payung Teduh berkenaan dengan penggunaan ulang lagu “Akad” mengingat Hanin sudah masuk dalam penerbit musik (label), Yusan mengaku kurang tahu.
“Aku kurang paham soal kontrak atau perjanjian. Itu urusan manajemen label. Tapi setahuku enggak ada. Cuma, kami sudah meminta salah satu crew kami yang mungkin kenal dengan manajer Payung Teduh untuk bilang,” terang Yusan.
Ketika disinggung mengenai kemungkinan proses hukum, Yusan menjelaskan akan terdapat banyak orang yang terseret melihat fakta bahwa lagu “Akad” dan budaya cover lagu sudah jamak terjadi di masa kini. Yusan justru menganggap, persoalan izin ini hanya difokuskan pada Hanin yang mendulang banyak viewer.
Sehubungan dengan itu, pihak Payung Teduh menegaskan tak akan menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan masalah penggunaan lagu tersebut.
“Enggak sampai langkah hukum seperti itu. Lebih enak sebenarnya jika diobrolin langsung secara santai, di warung kopi, sambal ketawa-tawa. Yang jelas ini jadi pelajaran penting bagi Payung Teduh,” ungkapnya.
Baca juga: "Akad" Payung Teduh dan Daftar Lagu Pesta Pernikahan
Potensi Hukum dari Cover Lagu
Membicarakan budaya cover lagu tak bisa dilepaskan dari hak cipta yang melekat di setiap musisi. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 menempatkan hak cipta sebagai “hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Hakikatnya, hak cipta merupakan hak menyalin suatu ciptaan yang berlaku pada berbagai karya seni atau cipta.”
Melalui hak cipta, muncullah hak moral dan hak ekonomi. Hak moral diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UUHC 2014 yang meliputi hak untuk tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan nama kreator pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum, menggunakan nama samarannya, sampai mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi, pemotongan, modifikasi, dan hal-hal lain yang bersifat merugikan kehormatan atau reputasi sang kreator.
Sedangkan hak ekonomi yang termaktub dalam Pasal 8 UUHC meliputi penerbitan, penggandaan dalam segala bentuk, adaptasi, aransemen, transformasi, pendistribusian, hingga penyiaran atas ciptaannya.
Lalu dari sini muncul pertanyaan: bagaimana posisi hukum untuk mereka yang menyayikan ulang lagu milik musisi lain? Dalam Undang-Undang Hak Cipta sebetulnya sudah ada jawaban atas pertanyaan ini. Bagi setiap orang yang hendak menyanyikan ulang (cover) lagu musisi lain kiranya tidak cukup hanya mencantumkan nama penyanyi asli pada karya cover.
Langkah berikutnya yang bisa ditempuh agar tak melanggar hak cipta musisi lain ialah memperoleh izin atau lisensi dari musisi bersangkutan. Lisensi adalah poin penting bagi pihak yang ingin menyanyikan ulang lagu dari musisi lain untuk kepentingan komersial. Dalam UUHC 2014 disebutkan bahwa lisensi adalah “izin tertulis yang diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait kepada pihak lain untuk melaksanakan hak ekonomi atas ciptaannya atau produk hak terkait dengan syarat tertentu.”
Baca juga: Hak Cipta Juga Bisa Jadi Jaminan Kredit
Setelah hak lisensi diberikan, maka penerima lisensi berkewajiban memberi royalti yang telah disepakati dalam perjanjian. Untuk besaran royalti yang diberikan, dilakukan sesuai perjanjian kedua belah pihak.
Di Indonesia sendiri, selain royalti atas hak lisensi juga terdapat royalti atas pemberian performing rights. Royalti tersebutmuncul akibat menyanyikan lagu secara langsung ke publik (live). Pada umumnya, pemberian royalti performing rights dilaksanakan oleh institusi bernama LMK (Lembaga Manajemen Kolektif).
LMK yang terdapat di Indonesia adalah WAMI (Wahana Musik Indonesia) dan YKCI (Yayasan Karya Cipta Indonesia). Kedua lembaga tersebut dikenal aktif dalam menghimpun dan mendistribusikan royalti dari hasil pemanfaatan performing rights untuk diteruskan kepada komposer atau pencipta lagu dan penerbit musik.
Tindakan menyanyikan kembali lagu tanpa persetujuan atau lisensi dari musisi bersangkutan akan dikenai sanksi pidana. Menurut Pasal 113 ayat (3) UUHC 2014, penggunaan kembali lagu untuk kepentingan komersial tanpa seizin pemilik lagu dikenai hukuman pidana penjara paling lama empat tahun dan atau denda maksimal satu miliar.
Kebijakan mengenai cover lagu dan hak cipta juga berkembang di dunia internasional. David Bainbridge dalam Intellectual Property (2002) berpendapat, untuk dapat menyanyikan lagu orang lain yang kelak akan digunakan untuk kepentingan komersial (diunggah ke YouTube misalnya) setidaknya harus mengantongi beberapa lisensi dari pemilik hak cipta.
Lisensi tersebut antara lain lisensi atas hak mekanis (mechanical rights) yang menitikberatkan pada hak untuk menggandakan, mereproduksi (termasuk mengaransemen ulang), dan merekam sebuah komposisi musik. Kemudian ada lisensi atas hak mengumumkan (performing rights) yang berfokus pada hak untuk menyiarkan sebuah lagu termasuk di dalamnya juga menyanyikan dan memainkan secara langsung melalui radio dan televisi, internet, serta layanan musik terprogram lainnya. Selain itu, ada juga lisensi atas hak untuk mendapatkan royalti apabila lagu dipakai untuk berbagai bentuk ciptaan lain seperti film, iklan, dan video (synchronization rights).
Di Amerika Serikat, kasus cover lagu berskala besar pernah terjadi antara National Music Publishers Association (NMPA) dan Fullscreen di Pengadilan Negara Bagian New York. Pokok permasalahannya ialah 16 penerbit musik di bawah National Music Publishers Association menuduh Fullscreen secara ilegal mengambil keuntungan dari video cover lagu yang diunggah tanpa lisensi dan pemberian royalti kepada pencipta maupun penerbit musik dalam kontennya.
Baca juga: Mengapa Nostalgia Musik Masa Muda Berlanjut Sampai Tua?
Fullscreen merupakan perusahaan media yang menawarkan teknologi inovatif dan layanan premium bagi para kreator konten untuk berkembang di YouTube. Fullscreen telah mempunyai jaringan global yang menghasilkan 3 miliar penayangan video per bulan dan diikuti oleh 300 juta pelanggan. Perusahaan ini didirikan pada 2011 oleh George Strampolos. NMPA sendiri adalah asosiasi yang merepresentasikan penerbit musik di Amerika dan tempat pengaduan bagi para penulis lagu. NMPA memegang mandat melindungi kepentingan penerbit musik dan pencipta lagu terkait hak cipta.
Dalam kasus NMPA melawan Fullscreen, akhirnya pengadilan memutuskan agar Fullscreen menghapus video cover yang tidak memiliki izin atau lisensi dari penerbit musik dan pemilik lagu.
Budaya cover lagu jamak terjadi di era serba digital ini. Dengan bantuan internet, semua berkesempatan menjadi bintang dalam waktu singkat. Namun, alangkah baiknya apabila pemilik motivasi tersebut juga sadar hukum agar tak terjerat sanksi.
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf