Menuju konten utama

Arti Musyarakah, Contoh, dan Perbedaannya dengan Mudharabah

Apa yang dimaksud dengan musyarakah? Simak pengertian musyarakah, contoh, rukun dan syarat, serta perbedaannya dengan mudharabah.

Arti Musyarakah, Contoh, dan Perbedaannya dengan Mudharabah
Ilustrasi Asuransi Syariah. foto/IStockphoto

tirto.id - Secara umum, pengertian musyarakah adalah bentuk kerja sama modal dan pengelolaan usaha. Semua pihak yang terlibat dalam musyarakah menanggung keuntungan dan risiko secara bersama-sama. Musyarakah termasuk akad ekonomi yang diatur dalam Islam.

Arti musyarakah secara bahasa adalah persekutuan (percampuran) dua hal atau lebih sehingga keduanya menjadi satu dan sulit dibedakan. Maka itu, istilah yang berasal dari kata bahasa Arab "syirkah" ini dipakai untuk menyebutkan kerja sama kemitraan dalam usaha perekonomian.

Dari segi istilah di fikih Islam, ada beragam pengertian musyarakah. Menukil penjelasan dari Syafi’i Rahmat dalam buku Fiqih Muamalah (2001), Mazhab Syafii merumuskan arti musyarakah adalah tetapnya hak kepemilikan dua orang atau lebih sehingga tidak dapat dibedakan lagi hak pihak yang satu dengan yang lain.

Di sisi lain, di Mazhab Maliki, pengertian musyarakah adalah pemberian izin kepada dua mitra kerja untuk mengatur harta atau modal secara bersama-sama. Sementara itu, di Mazhab Hanafi, berlaku definisi musyarakah sebagai transaksi antara dua orang atau lebih yang bersekutu dalam modal dan keuntungan.

Berbeda dari dua definisi terdahulu yang menekankan pada hak atas harta (modal), versi definisi di Mazhab Hanafi menekankan pada transaksi sebagai hakikat dari musyarakah.

Jika ketiganya disimpulkan, seturut penjelasan Naf'an dalam Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah (2014), akad musyarakah adalah akad kerja sama para pemilik harta untuk menggabungkan modal demi melakukan usaha bersama dalam suatu kemitraan, dengan pembagian hasil keuntungan sesuai kesepakatan, sementara kerugian ditanggung secara proporsional sesuai kontribusi masing-masing pihak.

Contoh Musyarakah

Dalam Islam, akad musyarakah diperbolehkan. Hukum musyarakah ini berdasarkan dalil dari ayat Al-Quran, hadits, dan ijma' ulama. Dalam Al-Quran, contoh dalil yang mendasari bolehnya musyarakat adalah Surah Shaad ayat 24 dan Surah An-Nisa ayat 12.

Dewasa ini, musyarakah sudah menjadi praktik umum dalam penerapan ekonomi Islam (ekonomi syariah). Musyarakah telah menjadi skema investasi ataupun pinjaman yang berlaku di bank-bank syariah Indonesia maupun luar negeri.

Secara sederhana, dalam praktiknya, musyarakah berupa investasi beberapa pihak untuk menjalankan kegiatan usaha yang halal secara bersama (kemitraan). Apabila ada untung, hasil keuntungan usaha itu dibagikan sesuai porsi modal dari tiap pihak yang terlibat atau berdasarkan kesepakatan. Demikian pula kerugian juga dibagi bebannya sesuai porsi dari modal milik masing-masing pihak atau berdasar kesepakatan yang disetujui para pihak.

Itulah kenapa istilah lain untuk musyarakah ialah bagi hasil, meski ia sebenarnya berbeda dengan akad mudharabah, skema bagi hasil lainnya yang juga diatur dalam Islam.

Contoh musyarakat adalah sebagai berikut:

Fadli menjalankan usaha toko kelontong dengan modal senilai Rp100.000.000. Untuk memperbesar skala usaha toko itu, fadli menjalin kesepakatan kerja sama dengan Bank Syariah ABCD. Setelah itu, Bank Syariah ABCD memberikan modal tambahan senilai Rp100.000.000 kepada Fadli.

Porsi bagi hasil usaha toko itu adalah 75% untuk Fadli sebagai pengelola dan 25% untuk Bank Syariah ABCD. Pada bulan pertama, usaha toko itu memperoleh keuntungan bersih Rp10.000.000. Keuntungan itu kemudian dibagi, dengan Fadli mendapatkan Rp7,5 juta dan Bank Syariah ABCD memperoleh pembagian Rp2,5 juta. Pembagian keuntungan antara kedua pihak di bulan lain tetap memakai porsi yang sama dengan nilai sesuai keuntungan yang diperoleh.

Dalam konteks contoh tersebut, Bank Syariah ABCD merupakan lembaga yang mewakili pengelolaan harta milik para nasabah selaku pemilik harta. Di perbankan syariah, pola kemitraan seperti ini disebut pembiayaan musyarakah. Contoh serupa bisa berlaku untuk kerja sama antar-individu.

Syarat dan Rukun Musyarakah

Seturut hukum yang berlaku dalam Islam, suatu akad musyarakah dinyatakan sah serta halal apabila memenuhi sejumlah syarat dan rukun. Berikut penjelasan tentang apa saja syarat musyarakah dan rukunnya:

1. Syarat Musyarakah

Merujuk buku Hukum perjanjian Islam di Indonesia: Konsep, Regulasi, dan Implementasi karya Abdul Ghafar Anshori (2010), sejumlah syarat musyarakah dianggap sah adalah:

  • Akad dianggap sah jika diucapkan secara verbal/tertulis, kontrak dicatat dalam tulisan dan disaksikan.
  • Mitra kerja sama harus kompeten dalam memberikan atau menerima kekuasaan perwalian.
  • Modal berupa uang tunai, emas, atau perak yang nilainya sama, yang dapat terdiri dari aset perdagangan, atau hak yang tidak terlihat (misalnya lisensi, hak paten dan sebagainya).
  • Partisipasi para mitra dalam pekerjaan adalah sebuah hukum dasar dan tidak diperbolehkan bagi salah satu dari pihak-pihak tadi mencantumkan tidak ikut sertanya mitra lainnya.
  • Porsi melaksanakan pekerjaan tidak perlu harus sama, demikian pula dengan bagian keuntungan yang diterima.
  • Pembagian keuntungan ditentukan secara jelas porsi bagiannya untuk setiap pihak yang terlibat. Namun, Penentuan bagi hasil tidak bisa disebutkan dalam jumlah nominal yang pasti, karena musyarakah mencakup pembagian untung sekaligus risiko.

2. Rukun Musyarakah

Rukun musyarakah adalah sesuatu yang harus ada ketika musyarakah terjadi. Namun, ada perbedaan perincian rukun musyarakah di antara mazhab-mazhab fikih.

Rumusan paling sederhana ada di pandangan Mazhab Hanafi. Karena rukun musyarakah menurit Mazhab Hanafi hanya mencakup dua hal, yakni ijab (penawaran musyarakah) dan qabul (persetujuan atas penawaran). Dalam Mazhab Hanafi, berbagai hal selain ijab qabul yang diperlukan untuk adanya musyarakah dianggap sebagai syarah sah saja.

Sementara itu, dalam pendapat yang lebih umum disepakati, rukun musyarakah ada 4, yaitu:

  • Ijab-qabul (kesepakatan pihak-pihak yang terlibat dalam musyarakah)
  • Dua pihak atau lebih yang berakad (bersepakat) dan cakap mengelola harta
  • Objek aqad (modal dan usaha)
  • Nibah bagi hasil (kesepakatan penentuan porsi bagi hasil).

Jenis-Jenis Musyarakah

Musyarakah, sebagai bentuk kerja sama atau kemitraan dalam bisnis, memiliki berbagai jenis tergantung pada sifat transaksi dan karakteristiknya. Berikut adalah dua jenis utama musyarakah beserta ragam bentuknya:

1. Musyarakah Al Amlak (Syirkah Al Amlak)

Jenis yang pertama yaitu Syirkah Al Amlak atau biasa disebut musyarakah kepemilikan. Musyarakah Al Amlak (Syirkah Al Amlak) bukan lahir dari akad, melainkan dari keinginan bersama untuk memiliki harta. Syirkah Al Amlak terdiri atas dua macam, yakni:

  • Musyarakah Al Jabr: Terbentuk secara alami, seperti warisan. Kepemilikan bersama ini tidak direncanakan, tetapi tetap perlu dikelola dengan baik.
  • Musyarakah Ikhtiyariyah: Terbentuk atas kemauan bersama, seperti hibah atau pembelian. Jenis ini muncul sebagai hasil dari inisiatif pihak-pihak yang terlibat.

2. Musyarakah Al ‘Uqud (Syirkah Al Uqud)

Musyarakah Al ‘Uqud (Syirkah Al Uqud) merupakan perjanjian kerja sama dua pihak atau lebih untuk menggabungkan harta dan menjalankan usaha yang didasari akad (bisa juga disebut kesepakatan). Dengan begitu keuntungan dibagi bersama dan kerugian pun akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan awal. Berikut beberapa bentuk Musyarakah Al ‘Uqud:

  • Syirkah Al Inan: melibatkan dua pihak atau lebih yang menyumbangkan modal dalam jumlah berbeda-beda. Keuntungan dibagi proporsional sesuai kontribusi modal.
  • Syirkah Al A'mal/Syirkah Abdan: Kerja sama antara individu yang memiliki profesi yang sama untuk melaksanakan proyek pekerjaan. Keuntungan dibagi rata, tanpa memperhitungkan modal.
  • Syirkah Mufawwadah: Modal para pihak sama besar, dan keuntungan serta kerugian dibagi rata.
  • Syirkah Al-Wujuh: Kolaborasi antara pemilik dana dengan pihak yang memiliki kredibilitas atau keahlian tertentu. Keuntungan dan kerugian dinegosiasikan dan disepakati bersama.

Perbedaan Mudharabah dan Musyarakah

Musyarakah dan mudharabah merupakan dua akad yang sering digunakan dalam bisnis atau transaksi bank syariah. Keduanya pun sama-sama jadi bentuk penerapan bagi hasil dalam Islam. Namun, keduanya jelas berbeda.

Inti perbedaan mudharabah dan musyarakah terletak pada kontribusi para pihak dalam hal manajemen dan keuangan. Dalam mudharabah, modal hanya berasal dari satu pihak, sedangkan di musyarakah modal berasal dari dua pihak atau lebih.

Baik musyarakah maupun mudharabah dikategorikan sebagai akad kepercayaan (uqud al-amanah) dalam fiqih Islam. Hal ini menandakan bahwa kedua akad ini menuntut tingkat kejujuran yang tinggi dan menjunjung tinggi keadilan.

Contoh gambaran perbedaan mudharabah dan musyarakah seperti terlihat dalam praktik pebiayaan di bank-bank syariah adalah sebagai berikut:

1. Mudharabah

Bank syariah memberikan modal sebesar 100% kepada nasabah untuk menjalankan usahanya. Jadi, nasabah menjalankan usaha dengan modal 100 persen dari bank syariah. Hasil usaha dibagi antara bank syariah dan nasabah dengan nisbah bagi hasil sesuai kesepakatah saat akad.

2. Musyarakah

Bank syariah memberika penyertaan modal guna menjalankan usaha nasabah. Dalam hal ini, nasabah yang menjalankan usaha maupun bank syariah yang memberi pembiayaan di transaksi musyarakah sama-sama punya kontribusi modal. Bagi hasil atas usaha dibagi ke nasabah dan bank syariah sesuai porsi kontribusi modal atau kesepakatan bersama.

Baca juga artikel terkait EKONOMI SYARIAH atau tulisan lainnya dari Ruhma Syifwatul Jinan

tirto.id - Edusains
Kontributor: Ruhma Syifwatul Jinan
Penulis: Ruhma Syifwatul Jinan
Editor: Addi M Idhom