tirto.id - "Dangdut ya dangdut. Koplo ya koplo. Jangan menyebut dangdut koplo,” kata Rhoma Irama si Raja Dangdut pada 2003, ketika publik Indonesia dihebohkan goyangan ngebor Inul Daratista dan musik koplonya.
Di atas takhtanya, sang raja berang menyaksikan tumbuhnya gagrak dangdut baru dari Jawa Timur. Sebuah gagrak baru yang lahir dari kompleks prostitusi, dengan tempo kendang yang jauh lebih cepat, dan memakai nama obat terlarang yang Rhoma kutuk dalam lagu “Mirasantika”.
Belasan tahun sejak peristiwa itu, dangdut koplo tetap hidup dan bahkan semakin berjaya. Kemurkaan sang raja tak membuat langkah para pegiat dangdut koplo berhenti. Mereka terus manggung dari kota ke kota hingga melahirkan diva sekelas Via Vallen dan Nella Kharisma.
Kini dangdut koplo sudah diterima banyak kalangan di Indonesia. Meneruskan tradisi orkes melayu yang menyerap banyak pengaruh kebudayaan lain, dari irama India, cengkok Arab, instrumentalia Eropa, hingga musik rok yang dibawa Rhoma, dangdut koplo juga mengambil banyak elemen dari kebudayaan pop mutakhir.
Sebagaimana produk kebudayaan yang hidup dari bawah lainnya, musik koplo terus tumbuh bersama rakyat dan ia adalah puncak evolusi dangdut saat ini.
FOTO: ARIMACS WILANDER
TEKS: ARLIAN BUANA CRISSANDI