tirto.id - Sejumlah kalangan menyatakan dan menggalang suara untuk menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), mulai dari pembuatan petisi yang dibuat Maimon Herawati hingga pernyataan di Instagram resmi BEM Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Pernyataan mereka dinilai menyebarkan informasi salah, argumen yang tidak nyambung, dan penyesatan informasi.
“Mereka menolak RUU PKS dengan alasan yang sangat tidak mendasar, disinformasi.Yang disasar adalah kekerasan seksual, tapi kemudian mereka menyesatkan ke arah yang mereka mau,” kata Naila Rizki Zakiyah, advokat publik dari LBH Masyarakat, kepada reporter Tirto, Kamis (31/1/2019).
Naila menjelaskan satu-persatu disinformasi yang disampaikan para penolak RUU PKS. Pertama, terkait tentang perzinahan, RUU PKS dinilai melanggengkan perzinahan sebagaimana yang terdapat dalam petisi penolakan tersebut.
“Pertama, terkait zina, kenapa zina tidak dibahas? Karena dia sudah diatur dalam KUHP Pasal 284 yang mengatur tentang larangan zina. Zina dalam KUHP itu adalah kejahatan perkawinan. Kenapa dia dipidana? Karena dia mengkhianati janji perkawinan ada korban di situ. Jadi zina sudah diatur,” jelas Naila.
Selanjutnya, RUU PKS dinilai melanggengkan homoseksual. Naila menegaskan RUU PKS, sebagaimana namanya, tentu fokus pada apa yang disebut dengan kekerasan seksual. Jadi, selama terdapat korban kekerasan, dalam hubungan apa pun, termasuk homoseksual, maka ia akan terlindungi di bawah payung tersebut. Namun mengapa ia tidak mengatur pelarangan hubungan sesama jenis?
“Ingat kerangka utama dalam hukumnya, judulnya sudah penghapusan kekerasan seksual, yang diatur di sini adalah kekerasan seksual. Secara konsep, jelas ini [kekerasan seksual] terjadi ketika ada pemaksaan, ketidaksetujuan, ada korban, ada kekerasan. Hubungan homoseksual, ya kalau ada kekerasan atau pemaksaan di dalamnya, ya termasuk,” jelas Naila.
RUU PKS juga dipandang mendukung pelegalan aborsi. Naila kembali menyatakan kelompok yang menolak justru salah dalam hal ini. Hukum terkait ketentuan aborsi telah diatur dalam Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992. Dalam UU tersebut, aborsi hanya dimungkinkan jika kehamilan terjadi akibat pemerkosaan, atau kehamilan yang mengancam nyawa sang ibu.
“Ketentuannya pun sangat ketat, termasuk ada batasan umur kandungan untuk melakukan aborsi,” kata Naila.
Namun, Naila mengatakan belum ada hukum yang mengatur secara khusus soal pemaksaan aborsi. Masih ada kekosongan hukum soal pemaksaan aborsi, dan ini terdapat dalam draf RUU PKS yang diusulkan.
“RUU PKS Ini berangkat dari pengalaman korban, kawan-kawan pendamping hukum, yang saat terjadi kekerasan seksual, mereka tidak bisa mendapatkan keadilan secara hukum, karena tidak ada hukum yang mengaturnya,” kata Naila.
Selama ini, kata Nila, korban hanya bisa menggunakan pasal yang mengatur tentang pencabulan dan pemerkosaan buat melaporkan kekerasan seksual, padahal aturan yang ada membuat korban sulit mendapat keadilan hukum.
Untuk itu, kata Naila, RUU PKS ini merinci kekerasan seksual antara lain pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, pemaksaan aborsi, pemaksaan pemasangan alat kontrasepsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, dan penyiksaan seksual.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Nur Hidayah Perwitasari