tirto.id - Lara mengenakan jaket bertudung abu-abu meski panas Kuta bikin badan lengket seketika, Senin siang, medio Oktober 2018. Ia mengendarai sepeda motor dari Denpasar, dan jalanan lumayan macet, jadi kami telat 20 menit dari janji temu. Ia beberapa kali minta maaf karena telat, tak menunjukkan rasa canggung meski ini pertemuan pertama kami.
Kami telah menjalin korespondensi sejak awal Agustus 2018. Di antara belasan surel aduan yang saya terima sejak kami merilis seri laporan mendalam Tirto tentang pelecehan seksual di kampus pada awal Juli 2018, Lara termasuk dalam kasus yang kami sebut “unik”. Ia mau terbuka tentang kasus yang ia alami di kampus. Ia berani melawan relasi kuasa dosen mesum yang menerornya.
Sebelum mengontak saya lewat surel, lalu berlanjut saling berbagi nomor telepon, Lara sudah melaporkan sang dosen ke kantor polisi. Keluarga, teman-teman, dan pihak kampus sudah tahu tentang kasus yang menimpanya tapi tak banyak yang mendukung dan menguatkannya, ujar Lara.
Cerita Lara adalah bagian dari seri laporan-bertumbuh mengenai kekerasan dan pelecehan seksual di kampus. Kami tahu kasus-kasus ini sudah jadi rahasia umum, tetapi karena beban trauma dan masalah-masalah pelik lain, sedikit sekali korban yang mau terbuka mengisahkan pengalaman terpahit mereka; dan sangat sedikit lagi kasus-kasus pelecehan ini ditangani secara mumpuni oleh kampus.
Kampus-kampus dari Sumatera hingga Bali, dari Jawa hingga Kalimantan, sama sekali belum menjadikan kasus pelecehan seksual yang dilakukan dosen maupun mahasiswa di lingkungannya sebagai isu prioritas. Dari Juli lalu sejak seri laporan perdana hingga seri laporan kedua ini kami terbitkan, kami masih menilai kampus-kampus di Indonesia gagal mereformasi diri menciptakan lingkungan akademik yang sehat, yang memanusiakan korban.
Kampus lamban, bila tak ingin disebut nihil langkah, membangun mekanisme layanan pengaduan bagi korban atau penyintas berbasis perlindungan, kesetaraan, dan kerahasiaan.
Kasus yang dialami Lara tanpa kecuali. Ia melakukan nyaris sendirian membawa kasusnya ke polisi, menghadapi komentar-komentar tipikal yang seksis, dipaksa untuk bungkam, disudutkan, dan ia membawa beban ketakutan setengah mati. Rasa percaya dirinya menciut, rasa putus asanya membesar.
Kami menghargai keberaniannya. Kami menghormati langkah-langkahnya, sekecil apa pun, di tengah budaya perkosaan yang masih langgeng di Indonesia. Kami menghargai Lara menuturkan kisahnya. Kami menghargai Lara sebagai Lara Croft—nama samaran yang kami pakai untuk kisah ini demi menghindari serangan balasan terhadapnya.
Usaha Melepaskan Jerat Dosen Berakhir Ancaman
Semula Lara, 20 tahun, mahasiswi IT, tak punya prasangka apa pun terhadap si dosen, seorang pria 26 tahun berinisial Ipes. Di mata para mahasiswa, si dosen terkenal supel dan punya cara mengajar yang asyik. Banyak mahasiswa senang bergaul dengannya, termasuk Lara. Ia pernah iseng mengajak beberapa teman sekelas dan si dosen untuk nonton di bioskop. Dari situ Lara dan Ipes menjadi teman.
Satu waktu Ipes mengajak Lara ke rumahnya, di daerah Gianyar, buat main Xbox. “Katanya ngajak temen-temennya yang waktu itu pernah nonton bareng. Aku pikir, kan, kalau main Just Dance bareng-bareng gitu okay aja. Dan itu di rumahnya dia. Dan ada emaknya, kan. Ya biasa aja sebenarnya,” cerita Lara, yang memang gemar gim dan punya hobi cosplay.
Buatnya, gim bukan cuma untuk laki-laki, “Aku punya banyak teman-teman cowok borju, yang punya banyak game di kamarnya. Dan biasa main bareng. Selama ini enggak pernah kejadian kenapa-kenapa,” katanya. “Buatku, lu sama gue main game, pegang konsol masing-masing, udah, beres. Aku selama ini ke rumah temen cowok, main game, jarang banget kontak fisik, lho.”
Namun, yang terjadi di kamar Ipes berbeda.
Teman-teman kampusnya yang kata Ipes akan datang belum ada yang tampak batang hidungnya saat Ipes pamit mandi. “Aku, kan, belum pernah nyentuh Xbox, aku anaknya Nintendo, ya udah aku kutak-katik duluan, kan,” cerita Lara, bersemangat.
Selesai Ipes mandi, teman-teman kampusnya masih belum datang. Ipes mendekatinya yang tengah main gim, duduk menempel. “Okay, this is weird, but still tolerable,” batin Lara. Ipes mulai menjurus mengobrol hal-hal “aneh,” ujarnya. “Ya, jorok, sih. Dan dia mulai mau meluk gitu.”
Waktu itu Lara diam saja. Tapi di kepalanya banyak hal berkelebat. Pertama, ini rumahnya dia. Kedua, dia dosen gue. Ia juga datang dengan dibonceng Ipes. Kalau aku gimana-gimana, nanti aku enggak bisa pulang.
Tapi, akhirnya, ia berusaha mengalihkan perhatian. “Aku tuh kayak ... kita cuma dosen dan mahasiswa, cuma mau main Xbox, doang. Terus, temen-temenmu mana? Tapi dia udah terus berusaha ngegodain ke situ,” cerita Lara.
Ia terus menolak hingga berhasil pulang. “Dengan selamat. Dianterin akhirnya. Tapi, teman-teman emang enggak jadi datang.”
Apa yang disebut "pertemanan" antara dosen dan mahasiswi ini sempat rikuh untuk beberapa saat. Tapi, si dosen meyakinkan Lara bahwa ia suka dan tak apa-apa jika perasaannya tak berbalas. “Aku bisa kok profesional ke kamu,” ujar Lara, mengulang ucapan Ipes saat itu. Hubungan itu membaik. “Aku pikir, well,semua orang bisa tobat gitu, kan. Everyone deserves second chance,kan.”
Lara kembali menerima ajakan Ipes main Xbox karena “aku ketagihan main Xbox,” katanya. Saat itu ia sudah punya pacar dan Ipes tahu. Hubungan pacarannya sudah berjalan 3,5 tahun. “Aku ingatin, jangan yang aneh-aneh lu, ya,” ujar Lara kepada si dosen.
Tapi, hari itu, tanpa banyak cakap, Ipes langsung menyerangnya. Akhirnya, mereka melakukan hubungan badan.
“Awalnya, aku mikir, ya sudah apa sih cuma dua-tiga kali doang, kan. Ya apa sih cuma ngorbanin dua-tiga kali gitu doang, daripada hidup lu enggak aman, kan? Ya, enggak apa-apa.”
Hubungan itu sempat terjadi dua-tiga kali. Dan berlangsung di rumah Ipes. Lara sempat bingung atas hubungan mereka tapi tahu kejadian itu bukan sesuatu yang ia inginkan.
Maka, “akhirnya aku beneran nolak. Kayak cuma dua-tiga kali mau diajak gituan. Setelah itu aku selalu cari alasan supaya enggak perlu ketemu dan enggak kayak gitu lagi.”
Masih banyak orang yang menganggap perkosaan dalam pacaran adalah bualan belaka. Alasannya, aktivitas seksual mereka dianggap “suka sama suka”. Ini ditambah belum ada aturan hukum yang mengakomodasi kasus kekerasan dalam pacaran. Apalagi seperti yang dialami Lara. Ia mengaku tak pernah punya komitmen serius dengan Ipes sebab ia sudah punya pacar saat itu.
“Enggak pernah ada komitmen. Cuman, aku sempat ingat, dia tanya tentang pacarku, 'Apa aku masih pacaran atau enggak?' Aku jawab, Iya. Terus dia bilang, 'Enggak apa-apa kok Kakak jadi pacar keduamu aja.' Mungkin sejak itu ... dia mikir sendiri.”
Usaha Lara menjauhi Ipes cuma berhasil beberapa bulan. Ipes memang tak lagi mengajak Lara ke rumahnya. Tapi, Ipes pernah terus-terusan meneleponnya, lama-lama sebagai teror, yang diabaikannya.
Sampai suatu malam, ada panggilan video ke ponsel Lara. Lara mengira, Ipes dalam keadaan darurat sehingga ngotot ingin bicara. Setelah diangkat, ternyata Ipes sedang telanjang.
Saat itu Lara berada di kamar, dan ia berkata kepada Ipes bahwa ada adiknya, demi mengusir tindakan pelecehan seksual tersebut.
"Ada apa?" tanya Lara.
Ipes menjawab: Kamu masih pacaran sama pacar kamu yang itu?
Masih. Kenapa?
Kayaknya aku masih sayang deh sama kamu.
Lara segera mematikan telepon. "Di situ deh kayanya dia marah,” ujarnya.
Pada awal Juni, Ipes mengirim pesan ke nomor Line Lara. Mengirim foto telanjang Lara, yang diambil Ipes secara diam-diam. Ipes mengajaknya bertemu.
Percakapan terakhir mereka di kanal Line terjadi pada awal Mei. Lara kaget setengah mati. Tapi ia masih berusaha tenang menanggapi percakapan Ipes. Ia ingin tahu apa tujuan si dosen.
Si dosen secara terus terang ingin mengajaknya tidur dan mengancam akan menyebarkan foto itu kepada orang terdekat Lara. Ia juga memiliki video Lara tanpa busana.
“Aku pura-pura bego aja. Ngarahin pembicaraan ke anjing baru. Terus dia ngirim video ternyata. Dia diam-diam ngerekam. Dia punya dua HP.”
Singkat cerita, Lara akhirnya bertemu dengan Ipes di Denpasar. Ia mengingat di galeri foto salah satu ponsel Ipes memang pernah melihat ada fotonya dan minta dihapus. Pada pertemuan itu, Lara berkata, "Ini apa? Kok ada foto gue? Udah dihapus kok elu masih punya, sih?"
"Kan saya dosen IT, dengan gampang saya bisa nge-retrieved," ujar Lara, meniru ucapan Ipes yang bisa memulihkan kembali foto atau file di ponsel yang sudah dihapus.
Pada pertemuan itu Ipes pegang-pegang tangan dan pipi Lara, juga kembali mengajak seks dan minta nikah.
“Aku sempat mikir, 'Apa aku baiknya datang aja, ya? Kayak dulu lagi lah. Kayak memperpanjang hidupku yang sempat tenang itu',” ujar Lara. Tapi, pikiran macam ini ditolak sendiri oleh Lara.
Ipes masih bersikeras mengajak Lara untuk jalan. Saat ditanya ke mana, si dosen menjawab: hotel. Lara menolak.
Ipes juga memaksa Lara untuk pergi dengan satu motor, tapi Lara mengancam lebih baik ia tak jadi pergi. Mereka sempat makan sebelum akhirnya Lara berhasil kabur.
Sesampai di rumah, Ipes kembali mengontak nomor Line Lara, berisi ancaman akan menyebarkan foto pribadi ke orang-orang terdekat Lara; bahwa keputusan bukan di tangan Lara; bahwa Lara harus tunduk pada kemauan Ipes.
Lara berontak, menjawab: Kamu harusnya lebih baik dari ini...
Dalam dokumen yang kami peroleh dari kasus ini, Ipes berkata kepada Lara bahwa ia mengklaim telah menyimpan foto dan video Lara di server tertentu yang hanya bisa diakses olehnya. Sehingga, kata Ipes, dalam satu klik gampang tersebar.
Lara berkata sampai kapan ancaman itu berlaku? Ipes akan menjawabnya jika Lara mau diajak ketemu.
Lara juga bertanya, bagaimana ia tahu Ipes tak akan menyebarkan video dan foto itu setelah ia menuruti permintaannya? Ipes menjawab, kembali dengan nada ancaman serupa: Keputusan bukan di tangan Lara, tapi di tangannya.
“Aku sempat mikir, 'Apa aku baiknya datang aja, ya? Kayak dulu lagi lah. Tapi aku mikir, harga diriku itu tempatnya bukan di kemaluan. Harga diriku itu ... rela enggak aku terus-terusan diinjak-injak sama orang ini',” ujar Lara.
Lara menolak keinginan Ipes. Ia mengadu kepada ayahnya. Empat hari kemudian, mereka melaporkan ancaman Ipes ke kantor polisi.
Tekanan sebagai Korban dan Perempuan
“Aku bolak-balik kantor polisi. Cari CCTV, aku bongkar chat, scroll yang lama-lama, cari foto-foto. Gila itu ribet banget pokoknya,” kenang Lara.
Semua dilakukannya sembari berusaha tetap “tenang dan waras dan harus tidak kelihatan lemah di depan si dosen." Lara harus bersikap demikian karena dosen itu masih mengajar dan setiap mereka bertemu di kampus, "mukanya seperti orang yang tidak berdosa.”
Kondisi itu bikin Lara depresi. Tapi ia tetap harus mengumpulkan bukti agar terhindar dari intimidasi si dosen.
Dua minggu pertama selera makan Lara hilang. Ia sempat bolos, emoh keluar kamar karena stres dan paranoia. Ia menggigit kukunya dalam-dalam. Ia membuat pacar kuku—henna—di pergelangan tangan agar mencegah diri dari pikiran buruk mengakhiri hidup.
Dua minggu berikutnya, Lara makan banyak-banyak, “bisa tiga piring sekali makan,” ujarnya.
Tekanan juga datang dari keluarga. “Familiku tipikal Chinese yang konservatif,” katanya. “Pertama, udah syukur aku enggak ikutin dia (dosen) lagi. Kedua, aku syukur masih ada di dunia ini."
"Seenggaknya aku pengin mereka bilang ke aku, 'Kami bangga sama kamu karena kamu udah berani ngomong.' Tapi enggak. Yang aku dengar malah, 'Papa kecewa sama kamu'.”
Di situ Lara mengerti satu hal: mengapa kebanyakan perempuan yang mengalami kekerasan maupun pelecehan seksual lebih memilih ujung yang lain: "Antara diam atau mayatnya sudah di laut."
Saya terdiam. Lara juga diam. Cukup lama. Matanya menerawang.
“Gimana orang mau jujur kalau kejujuran enggak dihargai? Gimana orang mau berani bicara kalau enggak dihargai? Orang depresi terus bunuh diri. Entar dibilang, 'Kok enggak cerita-cerita?' Pas cerita, 'Elu kok baperan banget, sih?' Semua serba salah."
Pada akhir Juli 2018, Lara menerima kabar mendebarkan dari polisi. Saat itu ia sedang di satu acara cosplay di Nusa Dua ketika polisi berkata sudah menangkap Ipes. Padahal Lara sempat pasrah: Ia berpikir kasus yang ia alami adalah "kasus kecil" bagi polisi dan, karena itu, ia berpikir tidak bakal digubris.
Malam itu, Lara diminta untuk datang ke kantor kepolisian resor di Denpasar karena terlapor ingin bertemu. Tapi, Lara tak datang karena ia tengah dalam satu acara.
Sepanjang malam, ia terus ditelepon oleh Ipes tapi ia tak mengangkatnya. Ayahnya menyarankan tidak usah datang.
Malam itu hatinya berkecamuk sampai susah tidur. Ia tak tahu bagaimana kelanjutan kasusnya: Akankah berakhir baik bagi sang korban atau sebaliknya?
Ia cukup paham bahwa kasus serupa macam ini sering terjadi dan jarang berakhir baik bagi pihak korban, pikir Lara.
Pelaku Mengajak 'Cara Damai'
Dalam dokumen yang kami peroleh dari kasus ini, Ipes pernah mengirim pesan kepada Lara, secara panjang-lebar, yang intinya meminta Lara menyelesaikan kasus ini "secara kekeluargaan" terlebih dulu.
Si dosen menyebut "cara damai" adalah penyelesaian yang "baik", kasus ini murni kesalahannya "yang tidak bisa mengontrol emosi". Sebaiknya kasus ini tanpa perlu dibawa ke pidana, ujar si dosen. Cara hukum akan makan "biaya yang besar" dan merugikan banyak pihak: keluarga, kampus, teman-teman, dan sebagainya dan seterusnya.
Lara dongkol membacanya, “Bahasanya memang lembut tapi aku tahu banyak ancaman di situ."
Satu hari, dua orang yang mengaku paman Ipes datang ke rumahnya. Bertemu ayahnya dan bicara untuk minta laporan ke polisi itu dicabut. Lara menolak keluar kamar. Saat ia keluar ketika dua tamu itu hendak pulang, Lara berkata apakah kedua orang ini berniat minta maaf atau sekadar minta cabut laporan?
Lara mengenang saat itu ia "takut sekali." Merasa tak berdaya. Sendirian.
“Kakak tahulah mayoritas kasus seperti ini ending-nya akan bagaimana? Saya tidak mau itu,” ujar Lara kepada saya.
Ia takut si dosen bakal menutup kasus ini. “Akhirnya saya harus dan terpaksa mem-posting masalah ini di media sosial supaya masyarakat lebih dulu aware tentang masalah ini. Tidak mungkin bagi mereka untuk menutup kasus seenak jidat,” katanya.
Lara paham risikonya. Ia menilai kebanyakan orang akan membela si dosen dan bakal merundung korban. Namun, setidaknya, ia telah membeberkan apa yang ia rasakan. Sehingga orang-orang kelak melihat cerita dari perspektifnya.
Semua draf bukti yang ia kumpulkan dibagikan dalam akun media sosialnya pada akhir Juli lalu. Ia juga secara berani menyiarkan langsung video kedatangan dua tamu itu ke akun media sosialnya pada hari yang sama, sore hari.
Setelah itu, Lara diajak pergi sepupunya. Keluarga khawatir Lara stres karena tekanan.
Tapi, gelombang tekanan mengalir dari keputusannya membagikan kasusnya ke media sosial. Ayahnya ditelepon oleh dua tamu itu, diancam akan dituntut balik jika Lara tak menghapus postingan tersebut. Pihak kampus juga mendatangi rumahnya dengan tujuan yang sama.
Ketut, seorang dosen pembimbing akademiknya, mengklaim pihak kampus telah mendatangi Ipes di tahanan untuk meneken surat pengunduran diri. Pihak kampus seketika merilis klarifikasi bahwa status Ipes hanyalah asisten dosen. Hal ini dibenarkan I Gusti Lanang ketika saya konfirmasi.
Pihak kampus mengklaim turut memikirkan posisi Lara sebagai korban. “Kampus cukup serius menyikapi ini," kata Ketut. Kampus menyarankan Lara agar menghapus postingan di akun media sosialnya agar "tidak lebih banyak dibaca" khalayak.
Semula Lara menolak. Ia cemas bila ia mengikuti saran itu malah akan membuat pelaku menganggapnya ketakutan, atau lebih parah lagi, ia dianggap cuma cari sensasi oleh teman-teman kampus yang sudah membaca postingan, yang bahkan turut berkomentar menyudutkannya.
Setelah kedatangan pihak kampus, dengan hati berat, Lara akhirnya menuruti saran tersebut. Alasan Lara, “Aku enggak mau menghapus barang bukti."
Saat saya menghubungi pihak kampus, I Gusti Lanang berkata kampus memang ingin postingan Lara dihapus karena "membawa-bawa nama institusi."
“Menurut kami sebenarnya ini kasus internal mereka. Kalau yang saya dapat [keterangan] dari Pak *** (nama panggilan Ipes), mereka sebenarnya pacaran. Jadi kasihan. Saya simpati aja sama teman,” kata Lanang lewat telepon kepada saya.
Kata-kata serupa pernah diucapkan Lanang kepada Lara dan ayahnya saat pihak kampus mendatangi rumah.
Saat itu Lara menyela, “Saya boleh komen? ... Bapak enggak kasihan ke saya?”
Lara geram. Korban ditempatkan setara dengan pelaku, menyayangkan langkah Lara melapor ke polisi tanpa memberitahu pihak kampus.
“Kalau dulu gue lapor ke kampus,” kata Lara menjelaskan logikanya kepada saya, “Gue belum ada bukti. Terus kalau elu bilang, dosen enggak akan dibela?"
Lara merasa ia minim dukungan, "Kenapa aku yang jadi orang jahatnya? Karena aku ngelaporin ke polisi?"
Tujuh puluh persen komentar pada postingan di akun media sosialnya juga berisi cibiran negatif. Ada yang bilang, ia bikin nama kampus jelek. Ada yang bilang, kenapa ia tidak menyelesaikan perkara itu di kampus saja.
“Kalau di kampus, gue yang dikeluarin. Si dosen yang dilindungi. Anak-anak kampus juga komen ada yang bilang: lonte, bikin drama, pansos (panjat sosial). Ada juga sih beberapa yang dukung.”
Saya sedih mendengarnya.
Bukan Terjerat Pasal Pelecehan
Beberapa hari sebelum kami bertemu, Lara didatangi polisi. Ia diminta menandatangani beberapa dokumen dan ditanya tentang kebenaran foto dan video yang akhirnya ditemukan polisi.
Polisi baru saja menyita satu lagi ponsel milik Ipes dan menemukan video dan foto yang dipakai untuk mengancam Lara.
“Dari awal, aku sebenarnya udah bilang, 'dia punya dua HP, tapi aku enggak tahu yang mana yang dia pakai untuk merekam,'” ujar Lara.
Sebelum video itu ditemukan, polisi pernah berkata berkas kasusnya ditolak jaksa karena dianggap belum cukup. Barang-barang Ipes, seperti ponsel dan laptop, sudah disita tapi konten itu tidak ditemukan.
Ketika polisi berkata sudah menemukan video dan foto, Lara belum tenang. “Aku bingung dua hal. Aku enggak tahu file-nya dapat di mana, apakah karena di-retrieve polisi atau memang belum dia [Ipes] hapus? Kalau dia belum hapus, dia ngelanggar perjanjian. Mungkin saja dia masih ada niat mau sebar."
Saya sempat tiga kali mengontak Ipes lewat nomor ponsel yang dipakainya untuk mengirim SMS ke Lara. Namun, usaha konfirmasi saya terhubung pada layanan voicemail. Saya juga sempat mengontak Ipes lewat akun Facebook yang belum direspons. Namun, Ipes sempat menulis status berikut pada 29 Juli:
Mohon jangan dulu berspekulasi berdasarkan informasi yang hanya sepotong-sepotong dan belum tentu kebenarannya. Biarkan prosesnya berjalan sesuai prosedur yang berlaku. Dan saya secara pribadi mohon maaf kepada pihak maupun lembaga yang dirugikan atas permasalahan pribadi saya ini, yang seyogyanya harusnya tidak dilibatkan. Baik oleh saya sendiri maupun tindakan dari pihak lainnya. Terima kasih.
Saat saya konfirmasi ke Bripka I Putu Eka Wartawan, penyidik kasus ini, ia enggan berkomentar panjang. Ia hanya menjelaskan status tahanan Ipes sudah ditangguhkan.
Sejauh ini, si dosen hanya kena pasal UU ITE terkait konten pornografi yang dipakainya untuk mengancam Lara.
Keluarga Lara dan keluarga Ipes memang pernah bikin perjanjian. Poin-poin utamanya: Ipes berjanji tidak menyebarkan konten pribadi Lara; tidak berusaha mengontak Lara dengan cara apa pun; berjanji tidak menuntut balik dalam upaya apa pun.
“Inexchange, aku enggak nuntut tambahan dia lagi, biarin ini semua diserahin ke polisi. Sudah masuk jaksa, baru bikin surat perdamaian,” ujar Lara.
“Ending kasusku ini juga aku enggak tahu bakal gimana. Tapi, aku sebenarnya pengin banget pengalamanku diketahui biar jadi pelajaran buat yang lain.
"Aku udah teriak-teriak gini tapi enggak ada yang dengar. Malah banyak yang hujat-hujat. Pasti banyak perempuan lain yang juga mengalami hal sama tapi enggak berani ngomong.
"Kalau enggak aku mulai untuk berani bicara, aku bisa harapin siapa lagi?"
=========
UPDATE:
Sejak awal Januari 2019, Tirto, The Jakarta Post, dan VICE Indonesia melakukan kolaborasi liputan mendalam #NamaBaikKampus demi menyelidiki pelbagai dugaan kekerasan dan pelecehan seksual di perguruan tinggi di Indonesia.
Kolaborasi telah merilis beberapa seri laporan termasuk "Kasus Agni" di UGM dan kasus pelecehan seksual terhadap mahasisiwi FIB di Universitas Diponegoro. Seri laporan berikutnya, yang tengah dipersiapkan Kolaborasi, bisa Anda cek di laman ini.
Laporan soal Lara di Bali juga diteruskan oleh tim redaksi VICE Indonesia dan, dalam liputan terbaru itu, Lara terbuka menyebut namanya, menolak hak anonimitas yang ditawarkan oleh tim VICE Indonesia. Meliana, nama asli Lara (nama samaran yang disematkan oleh Tirto), memilih jalan tak mudah tersebut karena baginya, jika bukti kasusnya sudah jelas, ia enggan kasusnya "ditutup-tutupi" lagi. Anda bisa baca alasannya: Jalan Panjang Meliana Membuka Diri demi Penyintas Kekerasan Seksual di Kampus Lainnya
Anda juga bisa simak videonya:
=========
Artikel ini menceritakan perjuangan Lara Croft—bukan nama sebenarnya—melawan relasi kuasa asisten dosen yang ingin menyebarkan foto dan video telanjangnya, yang direkam dan disimpan tanpa sepengetahuan Lara.
Aulia Adam, reporter tim Indepth Tirto, menemui Lara pada medio Oktober 2018 setelah dua bulan mereka berkorespondensi. Lara mengontak Adam pertama kali lewat surel pada 4 Agustus, sebulan selepas kami merilis laporan pelecehan seksual di kampus, “Dosen Mesum Jadi Rahasia Umum”.
Lara mengontak Adam dari kotak informasi yang kami sisipkan dalam laporan demi mendapatkan kisah-kisah pelecehan seksual yang lain yang terjadi di dunia kampus.
Saat kontak pertama, berkas kasus Lara sudah di tangan kepolisian tapi belum sampai di kejaksaan. Selama proses korespondensi ini, kasus Lara terus berjalan. Lara sempat beberapa kali mengurungkan niat membagikan kisah ini untuk ditulis karena berkata ia "di bawah tekanan." Adam mempelajari kasus ini dengan membaca dokumen-dokumen yang kini disimpan oleh redaksi Tirto. Adam juga mengonfirmasi ke pihak kampus dan penyidik kasus Lara.
Laporan ini telah dievaluasi oleh tim legal Tirto demi menghindari celah hukum maupun serangan balasan baik terhadap kredibilitas laporan ini maupun kepada Lara. Hukum pidana di Indonesia, bagaimanpun sangat ramah pada gugatan balik lewat pasal-pasal karet pencemaran nama baik maupun UU ITE.
Bagi Anda yang pernah dilecehkan secara seksual di kampus atau pernah mendengar kasus yang sama di lingkungan kampus Anda, atau orang terdekat korban dan penyintas kejahatan seksual di kampus, dan Anda berkenan berbagi cerita-cerita tersebut, sila kirim ke email penulis: adam@tirto.id atau kontak @auliadam.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam