Menuju konten utama

Kampus Jadi Lahan Subur Kasus-Kasus Pelecehan Seksual

Pihak kampus harus mulai mengutamakan suara para korban ketimbang berbual-bual membela para pelaku pelecehan seksual.

Ilustrasi HL Indepth Pelecehan Seksual di Kampus. tirto.id/Lugas

tirto.id - Ketika Juli lalu Tirto menerbitkan serangkaian laporan tentang pelecehan seksual di kampus, responsnya beragam.

Di Twitter, tautan yang menyampirkan link tulisan kebanyakan dibalas dukungan positif. Sebagian mengamini tren dosen mesum yang jadi rahasia umum; sebagian menceritakan pengalamannya, kawannya, atau kasus serupa yang terjadi di kampusnya. Kebenaran kicauan-kicauan ini tentu saja belum terkonfirmasi sebab cerita-cerita demikian sering kali anonim: Jika bukan karena ingin melindungi identitas korban, testimoni itu ingin melindungi identitas kampus atau malah malas terkena masalah dengan kampus; karena kampus di Indonesia belum menganggap serius kasus-kasus ini.

Di Instagram, responsnya tak jauh berbeda. Ada banyak yang datang untuk bersimpati pada para korban dalam laporan tersebut. Ada pula yang turut menceritakan pengalamannya dan mendapatkan simpati; tapi tak sedikit yang justru menyalah-nyalahkan korban.

Ya resiko sendiri mau, 'kan bisa nolak,” tulis salah satu akun. Ada juga yang menulis, “Jangan salahkan sepihak ... coba dilihat dari sudut pandang mahasiswi yang gemar umbar paha dan berpakaian serba ketat.” Atau yang lebih penuh prasangka seperti: “Diganjenin 'ga mau, tapi di Bigo diumbar-umbar.

Sebagian lain bahkan terjebak pendapat seksis. Misalnya, “Saya rasa dosen wanita yg masih muda cakep sexy/semok dan original perlu ditiru tingkah laku seperti itu, saya siap sebagai mahasiswa kalau dilecehin.” Dan, “Cowok mulu yang disalahin.” Komentar-komentar demikian seolah-olah menolak fakta bahwa pria bisa juga jadi korban pelecehan.

Semua komentar ini bukti betapa banyak orang Indonesia mewajarkan pelecehan seksual sekaligus asing saat melihat korban pelecehan bicara ke publik dan melawan—menganggap pelecehan adalah hal alamiah yang harus diterima perempuan; sesuatu yang jelas sekali salah kaprah.

Komentar-komentar ini membuktikan sebagian masyarakat Indonesia masih terjebak dalam tabiat menormalisasi kekerasan seksual yang biasa disebut budaya perkosaan atau rape culture.

Budaya perkosaan pada dasarnya logika sesat yang selalu mengontrol perempuan agar tidak dilecehkan, alih-alih menyuruh laki-laki untuk mengendalikan nafsunya. Lontaran seperti “namanya juga laki-laki,” atau “wajar laki-laki begitu,” pada korban pelecehan adalah contohnya. Kalimat-kalimat ini punya pesan bahwa perkosaan yang dilakukan laki-laki memang diwajarkan.

Hal ini yang akhirnya membuat mayoritas korban memilih bungkam.

Sejak kami merilis laporan kasus-kasus ini pada 4 Juli lalu, mengumpulkan testimoni dari para korban di kampus-kampus terkenal di Depok, Medan, dan Yogyakarta, kami telah menerima 13 surel aduan dari pembaca. Angka ini di luar pesan langsung di Instagram dan Twitter saya, serta beberapa rekan dan teman yang memilih cerita langsung. Dari total 13 aduan tersebut, hanya ada satu orang yang berani berbagi cerita tanpa menyensor identitas diri dan kampus.

Mayoritas responden memang mau menyebut nama kampus, bahkan jurusan hingga nama dosen atau staf yang melecehkan mereka. Tapi, tak semuanya berniat mempublikasikan cerita mereka, hanya ingin berbagi dan bersuara; bahwa fenomena ini bukan isapan jempol belaka, benar-benar terjadi, dan memelihara banyak korban yang memilih bungkam.

Salah satunya Lala (bukan nama sebenarnya), yang kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung. Setelah menceritakan kejadian yang menimpanya, ia bilang, “Terima kasih sudah memberikan ruang buat aku dan teman-teman lainnya bercerita. Semoga semakin banyak korban-korban pelecehan yang berani bicara, dan semoga ada mekanisme sanksi yang tegas buat para pelaku pelecehan seksual di lingkungan kampus.”

Adit, masih dari Bandung, juga berbagi cerita tentang upaya pelecehan yang diterima istrinya di salah satu kampus Islam di Bandung. Ia juga berbagi cerita pelecehan di kampusnya, kampus yang sama dengan Lala. Namun, bukan cerita yang sama sebab Lala dan Adit bukan berasal dari fakultas yang sama.

Adit tidak menceritakan kisah-kisah itu kepada orang terdekat atau bahkan kampus karena merasa tak punya bukti-bukti kuat. “Kejadian ini bikin saya emosi, tentu saja. Saya belum pernah menceritakan kejadian ini ke banyak orang karena takut bermasalah dengan hukum karena tidak ada bukti. Hanya saja, akan jauh lebih melegakan apabila pihak kampus tahu kinerja dosennya yang berpotensi mencoreng nama kampus mereka,” katanya.

“Harapan saya tentu dengan kian banyak tulisan mengenai pelecehan seksual, banyak orang yang mau terbuka terkait pengalamannya, sehingga bisa memberangus predator-predator seks berkedok akademisi, agamawan, seniman, olahragawan, penulis, juga bahkan selebtwit atau selebtiktok.

Karena menurut saya, cuma lewat jurnalistik, suatu kasus yang dianggap tabu seperti pelecehan ini bisa mendapatkan perhatian besar. Karena kalau melapor ke polisi, paling banter cuma disalahkan dan di-haha-hihi,” tambah Adit.

Asal kampus yang mau berbagi kepada Tirto bermacam-macam, tak cuma Bandung. Mayoritas dari Jakarta, lainnya datang dari Medan, Yogyakarta, Jember, Cirebon, Bogor, Samarinda, dan Bali.

Jenis pelecehan juga bermacam-macam: dari pelecehan verbal, diraba-raba, eksploitasi seksual dengan iming-iming nilai, dan perkosaan. Sementara yang berkoresponden dengan kami terdiri dari korban sendiri, teman korban, pacar korban, suami korban, dan pers kampus. Sementara pelakunya dari mayoritas dosen, lalu staf kampus.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/11/06/02-kekerasan-seksual-di-lingkungan-pendidikan_2.jpg" width="860" alt="Infografik HL Indepth Pelecehan Seksual di Kampus" /

Bukan Cuma Butuh Didengarkan

Dari total 13 aduan lewat surel, hampir semuanya bercerita tentang pelecehan yang mereka hadapi di masa lampau. Namun, dua di antaranya bercerita tentang kasus yang mereka hadapi. Saya sempat berkorespondensi cukup lama dengan keduanya. Hingga salah satu di antaranya memutuskan enggan mengangkat cerita, karena merasa terancam jika sampai tersebar ke media.

Satunya lagi dari Bali, mahasiswi usia 20 tahun, yang berani menceritakan kasusnya dan melapor ke kantor polisi. Ia diajak berhubungan seks dengan seorang asisten dosen dan diancam disebarkan foto telanjangnya, yang direkam secara diam-diam oleh si dosen. Tetapi ia memutuskan bicara dan membawa kasusnya setelah mengalami stres cukup lama.

“Mayoritas korban memang akan susah untuk bicara,” kata Tyas, aktivis dari Perempuan Mahardika, organisasi nirlaba yang fokus pada perlindungan perempuan dari kekerasan seksual. “Mereka biasanya takut mendapat stigma dan dicap ini-itu jika menceritakan pelecehan yang diterimanya. Maka, ketika ada yang berusaha bercerita, sebaiknya kita mendengarkan."

Mahardika termasuk salah satu sumber yang merespons laporan Tirto. Sejak Maret 2015, kasus-kasus pelecehan seksual di kampus juga jadi sorotan utama mereka. Perempuan Mahardika menggagas Jaringan Muda Melawan Kekerasan Seksual, yang turut menginisiasi pelbagai sosialisasi tentang kekerasan seksual di kampus-kampus. Mereka memprakarsai secara mandiri pemasangan pelang area bebas kekerasan seksual di Universitas Mulawarman, Samarinda, dan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, untuk mendorong terciptanya kampus yang bebas dari kekerasan seksual.

“Jaringan kami bergerak dengan berbagai metode kampanye kreatif sesuai situasi di daerah masing-masing,” kata Tyas. “Seperti menyebarkan leaflet melawan kekerasan seksual, aksi teatrikal di kampus, pemutaran film, diskusi bedah kasus, dan sebagainya.”

Mereka membuka konseling bagi para penyintas sebagai wadah untuk bercerita, serta melakukan pertemuan cukup rutin sekali setiap bulan atau dwi-bulanan.

Dari pengalamannya, Tyas menilai mayoritas kampus di Indonesia memang masih belum memandang kekerasan seksual di lingkungannya sebagai poin penting. Banyak yang masih belum memihak korban bahkan ketika korban sudah berani menceritakan kasus yang dialaminya.

“Seringkali bentuk-bentuk kekerasan seksual terungkap melalui curhat dan obrolan ringan, belum ditanggapi serius dengan menyediakan layanan konseling dan komitmen untuk menciptakan situasi aman buat penyintas,” ungkap Tyas.

Lidwina Inge Nurtjahyo, pengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, salah seorang akademisi yang fokus pada isu ini, berkata bahwa kampus belum menjadikan isu kekerasan di lingkungan akademiknya sebagai prioritas universitas. Tak ada lembaga khusus yang dibikin universitas atau fakultas untuk setidaknya jadi wadah konseling atau penerimaan aduan, ujarnya.

“Di UI, cuma ada wadah konseling untuk semua kasus. Enggak ada yang spesifik tentang pelecehan atau kekerasan seksual. Setahu saya juga di universitas-universitas besar lain belum ada,” ujar Lidwina.

Hal sama didapati dalam temuan Rifka Annisa, organisasi nirlaba yang concern pada hak-hak perempuan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Yogyakarta. Belum ada kampus di Yogyakarta yang punya aturan soal pelecehan seksual, termasuk mengatur sanksi bagi pelaku. Kebanyakan kasus yang terungkap cuma diselesaikan lewat jalur "damai", tanpa sanksi yang konkret.

Perihal sanksi juga yang bikin banyak korban dan penyintas makin bungkam. Sebab, tak jarang, sanksi sosial lebih berat menekan kepala korban ketimbang pelaku.

========

Bagi Anda yang pernah dilecehkan secara seksual di kampus, atau pernah mendengar kasus yang sama di lingkungan kampus Anda, atau orang terdekat korban dan penyintas kejahatan seksual di kampus, dan berkenan berbagi cerita-cerita tersebut, sila kirim ke email penulis: adam@tirto.id atau kontak @auliadam

Baca juga artikel terkait PELECEHAN SEKSUAL DI KAMPUS atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam
-->