Menuju konten utama

Guru Cabul & Ejekan Seksis Langgengkan Pelecehan Seksual di Sekolah

Anak-anak sekolah membawa trauma sendiri: tumbuh dengan masa lalu diejek seksis, bahkan jadi korban pelecehan seksual guru cabul.

Guru Cabul & Ejekan Seksis Langgengkan Pelecehan Seksual di Sekolah
Ilustrasi HL Indepth Pelecehan Seksual di Kampus. tirto.id/Lugas

tirto.id - “Dulu saya masih belum mengerti dan takut untuk lapor yang kayak gini-gini sama orangtua,” kata Rena, bukan nama sebenarnya. Mahasiswi semester empat di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta ini bercerita tentang pengalaman pelecehan yang pernah dialaminya sewaktu SMP. Saat itu Rena masih berumur 13 tahun dan ia sama sekali tak tahu atas apa yang dilakukan guru biologi di sekolahnya termasuk sebagai pelecehan seksual.

“Bapak itu memang terkenal mesum. Suka ngomong jorok gitu. Jadi waktu ada anak-anak cewek yang digodain di depan kelas, yang lain nganggepnya bercanda, malah pada ikut ketawa,” kenangnya.

Ia juga salah satu yang ikut tertawa ketika sang guru melemparkan lelucon mesum terhadap siswi lain. Sampai akhirnya Rena jadi salah satu korban bercandaan. “Waktu itu ukuran payudara saya dikata-katain terlalu kecil sama dia. Padahal saya sedang presentasi di depan kelas,” ceritanya.

Tak berhenti di sana, sang guru yang berdiri di depan kelas mendatanginya, dan meraba-raba pundaknya untuk mencari tali kutang, sambil berkata, “Kalau umur segini masih wajar kecil, pakai (kutang) memang masih yang ukuran segini.”

Rena mengingat seisi kelas tertawa kencang. Ia malu sekali, berusaha ikut tersenyum. Semula ia ingin menganggap kata-kata si guru sebagai lelucon belaka. Namun, sejak saat itu, Rena sering jadi subjek perundungan oleh teman-teman sekelas yang mengolok-olok ukuran payudaranya. Ia membawa beban olok-olok itu sampai tamat SMP, sampai teman-temannya mulai melupakan "ejekan seksis" saat mereka lulus.

Tapi, peristiwa itu berdampak panjang: ejekan itu melukainya dan luka ini dibawanya hingga kini.

Ia punya perasaan minder pada ukuran payudaranya, yang memengaruhi kepercayaan dirinya. Ia selalu punya perasaan waswas dan malu berlebihan jika tampil di depan umum, “apalagi kalau di lingkungan baru atau yang aku masih belum kenal,” ungkap Rena.

Rena mengingat kisah ini ketika selesai membaca laporan kami, “Dosen Mesum Jadi Rahasia Umum”, terbit 4 Juli lalu. Ia salah satu orang yang mengontak saya untuk berbagi cerita lewat pesan langsung di Instagram. Awalnya, ia bertanya mengapa Tirto hanya mengangkat kasus pelecehan seksual di kampus? Menurutnya, sekolah menyimpan rahasia yang sama. Setidaknya ia adalah saksi sekaligus korban.

Pertanyaan serupa tak sekali-dua ditanyakan pada akun Instagram dan Twitter Tirto. Beberapa orang bahkan menceritakan langsung pengalamannya dilecehkan sewaktu di sekolah.

Kasus-kasus pelecehan seksual di kampus menarik diangkat karena jarang sekali direkam media arus utama. Informasinya sporadis, muncul saat kasus itu menjadi sorotan media, atau mencuat dari sejumlah testimoni lewat blog-blog pribadi, dengan kerahasiaan yang rapat. Padahal, ia bukan barang langka. Seperti temuan kami, dosen mesum ternyata jadi rahasia umum di banyak kampus. Temuan lain, nyaris tak ada kampus yang serius menangani permasalahan ini, termasuk kampus-kampus besar macam Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada. Belum ada aturan konkret yang mengatur sanksi kepada pelaku dan parahnya kampus-kampus juga buta cara menangani korban.

Menurut Widowati Tyas Utami dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat DIY, sebagai bagian dari sivitas akademika, mahasiswa merupakan populasi paling rentan dari pelbagai bentuk eksploitasi struktural di kampus.

Pemerintah memiliki undang-undang perlindungan anak yang terbatas untuk “seseorang yang belum berusia 18 tahun” dan undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bagi pasangan suami-istri heteroseksual. Namun, tidak ada peraturan yang melindungi mahasiswa—rata-rata berusia 19-27 tahun—dari kekerasan fisik maupun psikologis di kampus.

Itu sebabnya penting menyediakan ruang bagi para mahasiswa dan sivitas akademika untuk mendiskusikan problema tersebut.

Infografik HL Indepth Pelecehan Seksual di Kampus

Belum Jadi Fokus Guru dan Sekolah

Betapapun begitu, redaksi Tirto tak menampik kasus pelecehan seksual yang masuk dalam ranah kekerasan seksual tak cuma di kampus, melainkan juga di sekolah. Dari riset media, setidaknya ada 12 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terekam sepanjang 2018. Ia tersebar di pelbagai tempat: Rokan Hulu (Riau), Jombang (Jawa Timur), Surabaya, Banjar (perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah), Subang (Jawa Barat), Semarang, Cilacap (Jawa Tengah), Mandailing Natal (Sumatera Utara), Cikarang, Depok, dan Bogor.

Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat setidaknya ada 59 kasus anak sebagai korban kekerasan seksual (pemerkosaan, pencabulan, sodomi/pedofilia, dan sebagainya) yang diterima berdasarkan rekaman terakhir mereka, yang dirangkum per Januari hingga Mei 2018.

Angkanya bisa lebih mengejutkan bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2017, kasus yang diadukan mencapai 188. Sepanjang 2011 hingga 2018, jumlah kasus terbanyak terjadi pada 2014, yang pengaduannya mencapai 656 kasus.

Dan, jumlah kasus kekerasan atau pelecehan seksual terhadap anak yang diadukan sangat mungkin melebihi jumlah korban sesungguhnya.

Kasus teranyar dari Depok, misalnya. Seorang guru Bahasa Inggris di SD Negeri 10 Tugu mengaku telah mencabuli 13 siswa sepanjang 2015 hingga 2018. Kasus ini terkuak ketika salah satu orangtua berani melaporkan pelecehan yang dialami anaknya ke kantor polisi.

“Enggak semua korban mau melaporkan,” kata Jasra Putra, komisioner KPAI Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak. “Bisa jadi karena anaknya tidak melaporkan pada orangtua, atau orangtuanya takut malu.”

Itu sebabnya, pemerintah menyediakan lebih banyak perkakas regulasi melindungi hak anak. Dibandingkan mahasiswa yang memang dianggap sudah berada di umur yang memiliki konsen, menurut Jasra, regulasi untuk melindungi anak dari kejahatan seksual memang lebih banyak dan lengkap. Ia mencontohkan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015.

“Di sana detail dijelaskan pencegahan agar tindakan kekerasan tidak terjadi, bagaimana menanggulanginya, sanksi, dan bagaimana kewajiban satuan pendidikan, misalnya dinas (pendidikan), sekolah, guru, dan kepala sekolah menangani kasus ini,” jelas Jasra.

Dalam Permendikbud itu, yang di maksud tindak kekerasan adalah perilaku yang dilakukan secara fisik, psikis, seksual, dalam jaringan (daring) atau melalui buku ajar yang mencerminkan tindakan agresif dan penyerangan di lingkungan satuan pendidikan. Tindakan ini mengakibatkan ketakutan, trauma, kerusakan barang, luka/cedera, cacat, dan atau kematian.

Salah satu poin kewajiban satuan pendidikan bahkan harus segera melaporkan tindak kekerasan yang dialami anak kepada orangtua dan atau wali. Sekolah diwajibkan membentuk tim pencegahan tindak kekerasan, termasuk “mencari tahu informasi awal apabila telah ada dugaan atau gejala akan terjadi tindak kekerasan”.

Namun, dari temuan KPAI, tak jarang sekolah yang menutup-nutupi kasus-kasus kekerasan. “Sering terjadi sekolah melindungi dan melokasi kasus-kasus seperti ini,” ungkap Jasra.

Mengapa?

“Kebanyakan karena ingin melindungi nama sekolahnya. Takut dapat citra buruk. Mind set-nya masih berpikir untuk menyelesaikan kekeluargaan, dan bahkan ada yang melindungi pelaku karena teman,” jawab Jasra. “Ini bisa jadi preseden buruk dunia pendidikan.”

Ia mencontohkan kasus yang terjadi di SDN 10 Tugu, Depok. Jasra berkata kasus ini terkuak karena orangtua geram pada sekolah karena guru yang menjadi pelaku masih mengajar, sebelum kasus ini sampai ke polisi. “(Kekerasan seksual) ini jelas kasus pidana. Anak dititipkan ke sekolah oleh orangtua karena ada kepercayaan di sana. Ini malah jadi bikin khawatir,” katanya.

Melawan kekerasan seksual di sekolah memang masih minim jadi fokus sekolah-sekolah. Menurut Jasra, kebanyakan guru masih lebih peduli pada masalah kesejahteraan profesi dan kompetensi ketimbang isu perlindungan murid dari tindak kekerasan, terutama kekerasan seksual.

Saat Jumat ketiga Oktober kemarin Jasra bertandang ke Solo, ia berhadapan dengan 40 guru terpilih yang dianggap punya visi maju terhadap dunia pendidikan. Namun, dalam Workshop Perlindungan Guru yang diadakan Direktorat Dikdas Kemendikbud, Jasra masih melihat kekerasan seksual belum jadi fokus utama para guru.

Padahal Permen PPPA Nomor 8 Tahun 2014 telah mengamanatkan agar sekolah membangun sistem berbasis hak anak melalui program Sekolah Ramah Anak. Namun, “dari sekitar 250 ribuan sekolah di Indonesia, baru 10 ribu yang mendeklarasikan diri dan akan menjalankan,” kata Jasra. Permen ini salah satu atribut regulasi yang berupaya melindungi anak dari kasus-kasus kekerasan, termasuk pelecehan seksual.

Sayangnya, program Sekolah Ramah Anak, pada praktiknya, belum pula dilaksanakan dengan baik. SDN 10 Tugu Depok adalah buktinya: berpredikat sekolah ramah anak tapi memelihara guru cabul.

Menurut Jasra, memang perlu ada sosialisasi lebih besar dan bergaung tentang kampanye anti-kekerasan pada anak. Sehingga para guru dan sekolah lebih benar-benar teredukasi atas perkara ini, dan dapat menciptakan lingkungan yang sehat dan aman buat anak-anak di sekolah.

“Kebanyakan guru bahkan enggak paham apa isi UU Perlindungan Anak,” kata Jasra. “Guru termasuk orang terdekat anak, sehingga jika terbukti menjadi pelaku, maka hukumannya ditambah lebih berat 1/3 dari vonis."

Baca juga artikel terkait PELECEHAN SEKSUAL DI SEKOLAH atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam