tirto.id - Tak terlihat secuil pun rasa gentar, malu, atau duka di wajah Helga ketika ia mengisi acara malam dana untuk mendukung karya penyintas kekerasan seksual pada 11 November 2017 di Kantor Dagang Serikat Islam, Jakarta Pusat. Perempuan berambut pendek itu berbicara sebagai penyintas yang kini mendampingi sejumlah penyintas lain.
Berbeda dari mayoritas potret penyintas yang termuat pelbagai media massa, Helga terbuka dan mau tampil sebagai penyintas kekerasan seksual di muka publik. Ini tak terjadi secara instan. Ia mesti melewati proses panjang yang melibatkan deretan episode emosi yang rentan plus hunjaman kekerasan-kekerasan lain sebelum ia memutuskan buka suara.
Helga masih bocah saat kekerasan seksual menimpanya. Tidak pernah ia sangka hal macam itu datang dari orang-orang terdekat yang semestinya melindungi dia. Umur lima tahun, ia mengalami kekerasan seksual pertama kali dari tetangga. Sekali waktu ia mengadukan hal itu ke ibunya, tetapi sang ibu tak bereaksi keras terhadap si pelaku.
Tiga tahun kemudian, neneknyalah yang melakukan kekerasan seksual. Helga akan terus mengalami kekerasan lain sampai berusia 11 tahun.
“Waktu itu saya enggak berani membicarakan kekerasan seksual yang saya alami saat umur delapan karena pelakunya adalah orang paling dominan di rumah,” ujarnya. Ia juga menyaksikan pelaku melakukan kekerasan domestik terhadap pasangannya.
Saat ini Helga, ibu dua anak, terdengar lancar mengisahkan masa lalunya. Namun, bukan berarti trauma-traumanya surut sampai lenyap; trauma itu mendadak saja muncul, dan ia tenggelam.
Beranjak dewasa, Helga menjalin relasi romantis beberapa kali. Malang, ia kembali mendapatkan kekerasan seksual. Pernah ia dipaksa berhubungan dengan pasangan, yang sangat posesif. Alih-alih merasa ada yang salah dengan hubungan ini, Helga malah berpikir sikap posesif itu adalah bentuk kasih sayang.
Baca juga:Posesif: Anatomi Hubungan Beracun dan Kekerasan Domestik
“Kejadian dipaksa berhubungan sama mantan pacar enggak saya ceritakan ke siapa-siapa karena saya takut disalahkan,” kata Helga, yang saat itu masih buta soal isu kekerasan terhadap perempuan dalam pacaran.
Cerita soal kekerasan seksual dan psikis dalam pacaran adalah wilayah “kekerasan ganda,” menurut catatan tahunan LBH APIK tahun 2016. Masih banyak orang yang menganggap perkosaan dalam pacaran adalah bualan belaka. Alasannya, aktivitas seksual mereka dianggap “suka sama suka”. Ini ditambah belum ada aturan hukum yang mengakomodasi kasus kekerasan dalam pacaran.
Dalam pengalaman Helga, akibat pernah menerima kekerasan seksual, ia mengalami masalah kepercayaan, baik kepada laki-laki maupun perempuan. Ia juga sempat trauma dengan pasangan lain usai kekerasan seksual diterimanya dari mantan pacar.
Efek jangka panjang lain, dari apa yang dialami Helga, adalah kegagalan rumah tangga.
“Saya enggak kepikiran saya berhak merasa enggak nyaman saat itu. Kekerasan demi kekerasan saya maklumi sampai saya masuk ke situasi KDRT,” kata Helga.
Usai cerai, Helga menerima stigma “janda”—yang dikonstruksi oleh masyarakat umum dengan penyosokan negatif—dan bikin ia mengemban beban psikis.
Traumanya juga berpengaruh terhadap pola asuh anak-anaknya. Ada kala ia kembali down sehingga tak bisa mengasuh anaknya dengan baik. Ia menyalahkan dirinya. Bukan saja menyesal karena sempat merasa gagal menjalankan fungsinya sebagai ibu dengan baik, tetapi karena ia terlambat mengetahui isu kekerasan terhadap perempuan.
“Jujur saja, kalau saya tahu isu ini sejak dulu, mungkin saya enggak mau nikah atau punya anak. Saya akan lebih memilih fokus terhadap pemulihan diri saya sendiri dulu, belajar membangun relasi dulu. Sampai sekarang, peristiwa pahit yang pernah saya alami masih menjelma jadi hantu dalam kehidupan saya.
Saya sadar, ini proses seumur hidup. Baru pada umur kepala empat saya akhirnya bisa berkonsentrasi pada pemulihan diri,” ujarnya.
Titik Balik Menjadi Pendamping Penyintas
Pada 2011, Helga mulai menyerap macam-macam informasi tentang kekerasan terhadap perempuan. Semula pasif bersuara, ia putar haluan dan mulai berkisah. Bersama penyintas-penyintas lain di bawah naungan LBH APIK, ia membantu satu sama lain dan ia sendiri untuk pulih dari trauma.
“LBH APIK setiap bulan mempunyai program pemberdayaan penyintas. Kita ngumpul sebulan sekali untuk berbagi dan mendukung. Ada juga program penyuluhan dari psikolog dan self healing. Enggak setiap penyintas berkemampuan untuk menjalani terapi berbayar, maka program pemberdayaan penyintas dari sesama ini penting dilakukan,” jelas Helga, yang mengagas komunitas InspirasIndonesia, yang konsen mengadvokasi penyintas kekerasan terhadap perempuan.
Tetapi mental Helga belum bisa kembali pulih seratus persen. Ia masih sering rapuh saat menerima ucapan-ucapan seperti: “Urusan kamu sendiri belum selesai, kok memutuskan mendampingi penyintas lain?” Padahal para penyintas akan lebih mungkin bercerita ke orang yang pernah mengalami hal sejenis.
“Saya tidak pernah menduga kekerasan yang saya alami saat kecil berefek panjang,” kata Helga.
Helga dan sejumlah penyintas masih harus melewati perjalanan panjang dan sunyi dalam menghapus kekerasan seksual di negeri ini. Perkaranya, yang dilawan bukan hanya pelaku, bukan hanya aksi penegak hukum yang kerap jadi kendala untuk advokasi mereka.
Irwan Martua Hidayana, pengajar antropologi dan peneliti di Puska Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia, mengungkapkan peliknya advokasi penyintas perkosaan berelasi dengan budaya masyarakat setempat. Setiap budaya memiliki pandangan beragam tentang apa yang dikategorikan kekerasan seksual, dan tak sedikit yang masih mengamini asumsi-asumsi yang keliru.
Ia berpendapat, perkosaan adalah “pembunuhan sosial” lantaran kasusnya kerap diiringi stigma-stigma masyarakat. Istilah yang dipakai saat merujuk kasus perkosaan juga bisa berpengaruh terhadap pelaziman.
“Tidak cukup kita mengatakan perkosaan adalah kekerasan. Ini adalah kejahatan,” ujar Irwan.
Baca juga:Perjalanan Perempuan yang Diperkosa lewat Mata Marlina
'Bahkan Pelacur pun Tak Boleh Diperkosa'
Bukan hanya Helga yang mengalami kekerasan seksual dalam pacaran. Nanda, 23 tahun, bukan nama sebenarnya, merasakan situasi yang sama.
Ia masih mahasiswa tingkat akhir saat berhubungan dengan seorang laki-laki, sebut saja Rizki. Romansa mereka bermula dari pertemuan tak sengaja di bioskop. Lantaran merasa familier dengan wajah Rizki, Nanda membuka percakapan. Singkat cerita, mereka berkomunikasi intens via BBM sesudah dari bioskop. Hanya dalam hitungan hari, Nanda dan Rizki memutuskan berpacaran.
Enam bulan kemudian, Rizki memaksa untuk tinggal bersama Nanda. Meski Nanda tidak pernah berkata “ya” kepada Rizki, laki-laki itu perlahan mulai memindahkan barang-barangnya ke tempat kos Nanda. Sejak itu perilaku kasar bahkan kejam Rizki kian terlihat.
“Misalnya, pas Rizki mau nonton, terus saya nolak, dia memiting tangan saya dan maksa saya ikut. Atau, waktu Rizki ngotot mau ke pameran buku dan mengajak saya saat saya sedang menulis artikel, dia terus-terusan mengganggu saya bekerja. Lain waktu, dia bersikeras meminta saya untuk pulang jam 4 sore, padahal saya sedang kuliah dan mau bertemu teman-teman saya dulu setelahnya.
Semua kemauannya harus dipenuhi dan saya mau enggak mau pulang jam 4 sore. Kalau enggak, dia akan marah luar biasa, banting-banting barang,” katanya
Nanda bahkan sempat dikunci di dalam kamar. Dan ia sering kali dipaksa untuk berhubungan seksual.
Satu kali, saat berpuasa, Rizki berkata, “Kamu enggak usah puasa, aku mau ngeseks.” Berkali-kali Nanda membalas “jangan” sembari meneruskan mengetik skripsi di kamar kos, tetapi tak digubris Rizki.
Kali lain, saat sedang tidur pun, Rizki memintanya bersetubuh. Kendati enggan, tak mungkin Nanda berteriak saat itu karena orang sekitar berpikir Rizki adalah pacarnya. Mustahil terjadi perkosaan bila mereka berpacaran, pikir Nanda menimbang-nimbang pikiran mayoritas tetangga kos. Yang ada, Nanda malah disalahkan karena dapat terbukti melakukan "perbuatan asusila."
Cemburu berlebih, tindakan memaksa lain, serta kekerasan verbal jadi makanan sehari-hari Nanda.
“Kamu itu perempuan enggak bener, kamu itu jalang, pelacur. Udah untung aku mau sama kamu,” kata Rizki, mengulang-ulang kalimat seperti itu untuk melecehkan Nanda, bahkan pula mengomentari bagian-bagian tubuh privat Nanda dengan cara merendahkan.
Sekalipun telah berkali-kali menerima perlakuan kasar, sulit bagi Nanda untuk keluar dari jerat hubungan macam itu.
“Saya enggak punya banyak teman, yang saya temui cuma teman-teman Rizki. Mau cerita ke orang lain pun pasti mereka enggak percaya. Rizki itu dikenal sebagai cowok baik-baik di lingkungan pertemanannya, sementara saya lebih dikenal ‘jalang’,” ujar Nanda.
“Mereka bilang sambil ketawa, ‘Lu kan emang lonte, Nan, wajarlah kalau Rizki begitu’. Padahal menurut saya, pelacur pun tidak boleh diperkosa. Hanya karena dia pelacur bukan berarti orang bisa sewenang-wenang kepada dia. Saya dan komunitas saya memang membela sexual liberation, tapi kami enggak pernah membenarkan perkosaan atau kekerasan dalam bentuk apa pun.”
Ironisnya, dalam kasus Nanda, perempuan ini aktif dalam kegiatan-kegiatan advokasi melawan kekerasan terhadap perempuan. Saat ini ia bahkan tergabung dalam satu lembaga nonpemerintah yang peduli isu-isu gender.
“Saya enggak sadar saat itu saya sudah masuk di lingkaran kekerasan sampai orang lain yang menyadarkan saya. Saya merasa jahat saat ada penyintas datang berkonsultasi dan saya bilang dengan gampang, ‘Ya udah tinggalin aja.’ Kenyataannya enggak semudah itu,” kata Nanda.
Selebaran Komnas Perempuan tentang kekerasan dalam pacaran yang disodorkan teman dekatnya menjadi titik balik bagi Nanda. Semua kriteria kekerasan yang tertera di sana sempat dialaminya, dan sejak itulah ia memutuskan secara tegas meninggalkan Rizki.
Nanda harus pura-pura pergi ke toilet di satu toko buku saat ia dan Rizki jalan bareng. Sementara Rizki menunggu di motor, Nanda buru-buru melesat dan mengontak temannya untuk menjemput tanpa sepengetahuan Rizki. Berminggu-minggu, Nanda bersembunyi di rumah orangtuanya, tempat yang menurutnya aman dari jangkauan Rizki. Baru saat Nanda berpikir Rizki tak akan kembali ke kosnya, ia cepat-cepat mengemas barang dan hengkang dari lokasi peristiwa traumatis tersebut.
'Aku Dipaksa Berhubungan Seks Bahkan Saat Sakit'
Doni, bukan nama sebenarnya, datang ke kehidupan Anya, bukan nama sebenarnya, sebagai seorang sahabat. Persahabatan mereka terbangun sekitar empat tahun lalu setelah Anya diterima sebagai karyawan di kantor Doni.
Namun, pada 24 April 2015, semuanya berubah.
Berawal dari kecelakaan motor—tidak parah tapi cukup membuat luka panjang di betis Anya—dengan bujukan “karena sudah larut malam,” Doni mengajak Anya ke apartemennya untuk mengobati luka betis. Anya santai saja karena percaya Doni tak akan berbuat macam-macam. Sayangnya, anggapan itu salah besar.
Malam itu Doni menggerayangi tubuhnya. Anya masih menganggap hal itu “tak masalah.” Ia meyakinkan dirinya bahwa Doni adalah temannya. Tetapi, hari-hari berikutnya, perlakuan Doni berubah jauh lebih manis kepada Anya. Lengkap dengan rayuan maut.
Dan rayuan itu berhasil membawa Anya kembali ke apartemen Doni. Awalnya memang hanya sebatas kontak fisik. Namun, pada akhirnya, Doni meminta Anya untuk berhubungan badan.
“Anggap aja ini DP sebelum menikah,” rayu Doni.
“Enggak, Don. Kamu kira apa pakai DP segala? Kamu bahkan bukan pacarku.”
“Berhubungan seks enggak harus sama pacar, kan, Nya.”
“Ya, kamu cari aja cewek lain yang bisa ditidurin. Jangan aku!”
“Aku maunya kamu.”
Tiga bulan sejak kecelakaan, Doni telah memerkosa Anya; semula ia berontak, tapi ia terbius, tapi ia sedih, tapi ia kosong—campur aduk. Perasaan kalut itu ia pendam dengan keyakinan bahwa ia punya rasa sayang kepada Doni.
Lagi pula, pikirnya, ia tak ingin menjadi korban perkosaan temannya sendiri. Itu memalukan. Penetrasi pertama, Anya menangis.
Kejadian itu berlangsung hingga satu setengah tahun. Selama dalam hubungan platonik, Anya beberapa kali menerima kekerasan verbal.
“Kita itu enggak pacaran. Kamu hanya budak seks aku,” kata Doni satu hari.
Selain itu, Doni kerap kali memaksa Anya berhubungan badan pada saat-saat yang sangat tak memungkinkan, seperti saat menstruasi dan bulan Ramadan.
“Bahkan saat aku sakit keras, dia maksa aku untuk berhubungan. Waktu itu aku tipus, kondisinya lemas sekali,” ujar Anya.
Beberapa kali Anya mencoba cerita kepada teman-teman dekatnya, tetapi, menurut mereka, ia juga berperan atas peristiwa itu.
“Lu, kan, bisa kabur aja dari dia. Enggak usah mau kalau diajak ke apartemennya,” kata mereka.
“Hal-hal seperti itu, dan aku mempercayai omongan mereka. Oh iya, aku yang salah. Aku yang melemparkan diri ke situasi seperti ini,” kata Anya, 26 tahun.
Tanggapan-tanggapan semacam inilah yang membuat Anya enggan melapor. Ia bahkan tak menyadari bahwa ia adalah korban.
Bila ia melapor ke polisi, yang menilai perkosaan harus ada unsur “paksaan”, sangat mungkin Anya hanya jadi bahan omongan miring oleh polisi. Tak akan ada bukti kuat. Tak ada.
“Aku juga takut sama anggapan orang-orang. Selama ini aku dikenal sebagai perempuan yang enggak macam-macam, perempuan baik-baik. Yang ada, aku yang kembali dihakimi sebagai perempuan enggak bener,” ujar Anya.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Fahri Salam