Menuju konten utama

74,41% Perempuan Menyebut Perbuatan Perkosaan adalah Kejahatan

Meski mayoritas responden mengakui perkosaan sebagai kejahatan, mereka menilai "perilaku perempuan" turut mendorong kekerasan seksual.

74,41% Perempuan Menyebut Perbuatan Perkosaan adalah Kejahatan
Header Riset Mandiri Perkosaan. tirto.id/Rangga

tirto.id - Anya, bukan nama sebenarnya, menjalani hubungan pertemanan dengan Doni, juga bukan nama sebenarnya, dan ia dipaksa oleh Doni untuk melakukan hubungan seksual. Doni membujuknya, dengan cara semanis mungkin, hingga Anya seperti "budak seks"—demikian istilah Doni—selama satu setengah tahun.

Mereka teman sekantor. Anya minta pendapat kepada teman-temannya. Mayoritas temannya menyalahkan Anya karena mau saja diajak main ke apartemen Doni. Anya menyalahkan dirinya. Ia membenarkan pendapat teman-temannya. Ia punya niat untuk melaporkan apa yang terjadi padanya ke kepolisian. Tetapi ia takut, ia cemas, ia tak ingin dihakimi sebagai perempuan "enggak bener".

Tetapi, di sisi lain, Anya menyadari pelan-pelan bahwa ada relasi manipulatif yang dilakukan Doni. Doni hanya ingin tubuhnya, bahkan saat Anya tengah menstruasi dan ketika bulan Ramadan.

Apakah Anya berpeluang mendapatkan keadilan yang memadai jika melaporkan kasusnya ke kepolisian?

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal 285, dalam apa yang disebut "kejahatan terhadap kesusilaan", untuk memenuhi unsur "perkosaan", harus ada "ancaman kekerasan" dan paksaan serta kekerasan fisik. Pendeknya, bila Anya melaporkan kasusnya, sangat mungkin Doni bebas dari jerat pidana, lepas dari hukuman paling lama 12 tahun penjara, karena penyidik dari kepolisian akan melihat relasi seksual Anya dan Doni sebagai "suka sama suka". Apalagi mereka sudah berusia dewasa, yang semakin menguatkan tuduhan polisi.

Apa yang dihadapi Anya inilah yang hendak didobrak oleh organisasi-organisasi yang konsen pada isu perlindungan terhadap perempuan, juga komunitas-komunitas penyintas perkosaan, termasuk Komnas Perempuan, karena kekerasan seksual memiliki spektrum yang luas, bukan cuma definisi terbatas dalam KUHP sekarang.

Karena itulah, dalam rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual yang diusulkan sejak 2014 tetapi sampai kini belum juga disahkan oleh DPR, para individu dan lembaga yang konsen pada isu ini merumuskan bahwa yang dimaksud "pidana kekerasan seksual" termasuk pula pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.

Mereka juga mengusulkan perlu dicantumkan frasa "relasi kuasa" dan "ketimpangan gender" sehingga hubungan seksual dari cara-cara manipulatif dan intimidatif bisa dipidanakan.

Sayangnya, rumusan progresif ini dihapus oleh pemerintah. Padahal, jika unsur-unsur itu dipakai, apa yang dialami Anya bisa dikategorikan sebagai kekerasan seksual.

Baca juga: RUU Anti-Kekerasan Seksual: Dijinakkan Pemerintah, Lamban di DPR

Pandangan progresif itu sangat mungkin hanya terbatas sirkulasinya pada orang-orang yang paham atas isu ini. Bagaimana persepsi dan pendapat perempuan secara umum mengenai perkosaan, dan pengetahuan mereka mengenai hukum di Indonesia soal perkosaan?

Untuk mengetahui itu, Tim riset Tirto bekerjasama dengan Jakpat sebagai penyedia platform, melakukan survei kepada 551 responden pada 8-13 November 2017 di empat kota besar Indonesia: DKI Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar.

Riset Mandiri Perkosaan

Riset Mandiri Perkosaan

Perbuatan Perkosaan adalah Kekerasan/Kejahatan Seksual

Mayoritas perempuan di empat kota menyatakan dengan tegas bahwa perbuatan perkosaan adalah “suatu kekerasan/kejahatan seksual terhadap perempuan”, yang diwakili oleh 74,41 persen responden. Dengan demikian, perbuatan perkosaan menjadi salah satu perkara yang dianggap serius.

Sebanyak 12,34 persen responden mengaitkan perbuatan perkosaan sebagai “perbuatan kesusilaan yang melanggar norma agama/masyarakat”. Artinya, nilai dari norma agama/masyarakat dijadikan salah satu rujukan dalam menilai baik/buruknya perbuatan, termasuk dalam konteks perkosaan. Karena norma agama/masyarakat menilainya sebagai kejahatan kesusilaan, responden cenderung menggunakan penilaian yang sama.

Sementara ada 11,98 persen responden yang menilai perbuatan perkosaan adalah “bersetubuh di luar perkawinan sah dengan memaksa”. Artinya, selingkuh saat seorang pelaku atau dua orang pelaku dalam status perkawinan, dipandang sebagai perbuatan perkosaan. (Pasal 284 KUHP mengatur bahwa salah satu atau keduanya terikat dalam perkawinan, perbuatan ini dapat dipidana karena "zina", sepanjang ada pengaduan dari pasangan resmi dari salah satu atau kedua belah pihak.)

Riset Mandiri Perkosaan

Sudah Tahu Kejahatan Perkosaan Ada dalam KUHP

Mayoritas perempuan sudah mengetahui bahwa perbuatan perkosaan adalah kejahatan, termasuk sudah diatur dalam KUHP. Sebanyak 92,20 persen responden menyatakan hal tersebut.

Sayangnya, sekalipun mayoritas perempuan sudah tahu perbuatan perkosaan diatur dalam KUHP, tidak semuanya hapal dengan benar pasal berapa kejahatan perkosaan ini diatur.

Dari hasil riset, hanya ada 42,72 persen responden yang menjawab secara tepat pasal kejahatan perkosaan dalam KUHP. Sementara sebagian besar responden lain, yakni 57,28 persen, tidak menyebutkan secara tepat pasal KUHP yang mengatur perkosaan.

Riset Mandiri Perkosaan

Sekalipun mereka mengetahui ada pasal dalam KUHP yang mengatur kejahatan ini, tapi tak semua perempuan mengerti dengan baik prosedur/proses penegakan hukum kasus perkosaan, yang diwakili oleh 55,35 persen responden. Hanya 44,65 persen responden yang mengetahui soal ini.

Mayoritas responden juga menyatakan diri setuju dan setuju dengan catatan bahwa dalam upaya mencari kronologi kasus hukum/rekonstruksi kejadian, penegak hukum dibenarkan untuk bertanya kepada korban perkosaan terkait hal-hal yang sangat khusus. (Misal: jenis pakaian yang dipakai, kegiatan korban di malam hari, pernah melakukan hubungan seksual atau tidak, dsb.)

Sebanyak 56,81 persen responden setuju dengan hal tersebut, tetapi dengan catatan. Catatan itu: pertanyaannya lebih halus, membuat nyaman korban, dan perlu aparat khusus perempuan.

Sementara sebanyak 27,22 persen setuju dengan prosedur yang sudah ada, dan menganggap hal itu memang berhubungan dengan proses material bukti-bukti hukum. Hanya ada 15,97 persen responden yang menolak pertanyaan tidak sensitif korban diajukan oleh penegak hukum.

Riset Mandiri Perkosaan

Kebiri, Jadi Pilihan Utama Hukuman Bagi Pelaku Perkosaan

Meski sempat jadi perdebatan, inisiatif perundangan yang baru untuk usulan hukuman bagi pelaku perkosaan, yakni hukuman kebiri, ternyata jadi pilihan utama responden dalam riset ini.

Sebagian besar perempuan menyatakan “dikebiri" alias membuat tidak berfungsi alat kelamin adalah hukuman yang pantas bagi pelaku perkosaan, disuarakan oleh 42,11 persen responden.

Ada 20,51 persen responden yang menyatakan “hukuman pidana mati” adalah hukuman yang tepat untuk pelaku perkosaan. “Hukuman pidana penjara” menjadi pilihan ketiga, diwakili oleh 18,69 persen responden.

Riset Mandiri Perkosaan

Sebagian Besar Cenderung Tidak Tahu dan Tidak Setuju dengan Inisiatif RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual

Meski wilayah target riset adalah representasi dari kota-kota besar di Indonesia, mayoritas responden tidak tahu ada inisiatif soal RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, yang disuarakan oleh 66,42 persen responden.

Sekalipun, RUU tersebut sebagai sarana untuk mendorong aturan yang lebih baik dengan spektrum luas dalam kasus pidana kekerasan atau kejahatan seksual, hanya 33,58 persen responden yang benar-benar mengetahuinya.

Bagi para perempuan yang menjawab tidak tahu soal inisiatif RUU ini, 53,28 perseb responden menyatakan “tidak pernah ada informasi di media massa, TV, dsb”. Begitu pula 40,44 persen responden lain yang menyatakan selama ini “tidak pernah ada sosialisasi RUU” secara resmi.

Mayoritas responden juga, yakni 56,26 persen, menyatakan tidak setuju atas inisiatif RUU ini. Hanya ada 43,74 persen responden yang setuju.

Ada kemungkinan bahwa sebagian besar responden yang tidak setuju dengan RUU anti-kekerasan seksual karena tak ada sosialisasi dan informasi efektif. Dan menariknya lagi, dalam riset ini, saluran televisi menjadi saluran utama dalam akses informasi perempuan.

Perlu dicatat: sudah adakah sosialisasi atau informasi RUU ini memakai saluran televisi? Dan sejauh mana? Jika belum, tentu hal ini seharusnya bisa jadi salah satu pertimbangan relevan bagi para pemangku kepentingan untuk melakukan kampanye lewat saluran televisi.

Riset Mandiri Perkosaan

Prasangka terhadap Korban

Selama ini ada semacam prasangka bahwa ada hal-hal tertentu yang mendorong perbuatan perkosaan itu terjadi. Salah satunya, mengaitkan hal itu dengan “faktor perempuan itu sendiri”. Meski prasangka macam ini diskriminatif, hasil riset masih menunjukkan prasangka ini kuat, sekalipun semua respondennya adalah perempuan.

Meski tak sampai setengah lebih responden riset menyatakan pendapat tersebut, sebagian besar masih sepakat dengan prasangka umum tersebut. Saat responden ditanya mengenai prasangka umum “aktivitas/perilaku perempuan acapkali menjadi pendorong terjadinya perkosaan (misal: perempuan yang lekat dengan gaya hidup malam, perempuan yang sedang mabuk alkohol, perempuan dengan model pakaian tertentu, dsb)”, sebanyak 49,73 persen responden berpendapat sebagian kecil dari prasangka itu mendorong terjadi perkosaan.

Sebanyak 37,57 persen responden lain cenderung sepakat memang benar aktivitas atau perilaku macam itu menjadi pemicu perkosaan.

Hanya sedikit responden yang memiliki ketegasan menolak prasangka umum tersebut, disuarakan oleh 11,43 responden.

Begitu juga dengan spektrum perbuatan perkosaan. Sebagian besar perempuan dalam riset ini masih menggunakan cara pandang umum. Pada saat ditanya sebuah contoh situasi: “Pada awalnya kedua pihak bersepakat untuk melakukan hubungan seksual. Namun di tengah proses, salah satu pihak merasa tidak nyaman. Pihak lain tetap memaksa untuk melakukan hal itu”, mayoritas menjawab hal tersebut bukan termasuk perbuatan perkosaan, yang diwakili oleh 54,26 persen responden. Sisanya, 45,74 persen responden, menyatakan contoh situasi itu termasuk perbuatan perkosaan.

Riset Mandiri Perkosaan

Gambaran hasil riset ini dapat memberikan sorotan yang sangat mungkin relevan bagi gerakan perempuan di Indonesia, termasuk bagi individu-individu dan organisasi-organisasi yang mendorong penghapusan kekerasan seksual di Indonesia.

Mayoritas responden masih memakai cara pandang normatif: norma dan agama menjadi ukuran, stereotip perempuan memancing terjadi perkosaan, meski mayoritas mengakui perbuatan perkosaan adalah sebuah kejahatan.

Perlu kerja ekstra, baik dalam kampanye maupun advokasi, yang terus-menerus mendorong penyadaran sekaligus pelibatan komunitas lebih luas buat mengakui, antara lain:

1) Selain perbuatan perkosaan adalah sebuah kejahatan, hukum yang berlaku selama ini masih sangat terbatas mengusut pelaku; 2) Karena perkosaan adalah kasus yang sensitif, perlu perlindungan lebih luas bagi korban agar tidak dijadikan objek viktimisasi, baik oleh masyarakat, media massa, maupun saat proses hukum; 3) Kekerasan non-fisik, yakni kekerasan verbal maupun psikis, adalah termasuk kekerasan seksual; 4) Pandangan stereotip bahwa pakaian perempuan ikut memicu perkosaan adalah keliru (di negara yang perempuannya berkerudung sekalipun, mereka jadi mangsa perkosaan); 5) Relasi kuasa dan ketimpangan gender merupakan faktor pendorong perkosaan.

Pendeknya, pemajuan hak-hak perempuan dan pendidikan gender harus terus dikampanyekan. Dalam konteks Indonesia, hal itu adalah perjuangan bernapas panjang.

Baca juga artikel terkait KEJAHATAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Dinda Purnamasari

tirto.id - Hukum
Reporter: Dinda Purnamasari
Penulis: Dinda Purnamasari
Editor: Fahri Salam