Menuju konten utama

Melawan Budaya Perkosaan bersama Gitasav dan Via Vallen

Dua selebritas perempuan protes dan melakukan perlawanan terhadap pelecehan lewat Instagram. Responnya? Hujatan kepada mereka lebih populer dibanding dukungan.

Melawan Budaya Perkosaan bersama Gitasav dan Via Vallen
Ramadan Gita Savitri di Jerman. FOTO/Istimewa

tirto.id - Penyanyi Via Vallen kembali jadi buah bibir. Awal Juni ini, ia pundung karena ‘digoda’ seorang pemain bola nasional lewat direct message Instagram. Via diminta pria itu datang ke kamarnya dengan pakaian seksi.

Otomatis, sang biduan merasa dipermalukan atas pesan cabul itu. Via lalu mengunggah kekesalannya di instastory. Ia tak mengungkapkan nama sang pemain bola, cuma memotong cuplikan-cuplikan percakapan ditambah komentar pribadinya yang tersinggung.

Banyak yang mendukung Via, tapi lebih banyak yang mencela dan menganggapnya cari sensasi belaka.

Beberapa hari sebelumnya, selebgram yang juga youtuber Gita Savitri atau Gitasav juga mengalami hal serupa. Sebuah akun bernama Tristan Nugraha mengirimkan pesan tak senonoh yang isinya mengomentari gaya berpakaian sang selebgram, saran untuk menjual diri, dan ajakan berhubungan intim. Gitasav yang geram juga langsung memposting cuplikan direct messages tersebut, sambil meminta bantuan pengikutnya untuk melacak orang itu.

Selama beberapa hari, Gitasav terus memberikan info terbaru tentang kasus pelecehan yang dialaminya lewat instastory. Bahkan ia sempat mengunggah beberapa foto yang berisi kronologi kejadian tersebut—yang belakangan sudah dihapus dari akunnya.

Ternyata, akun yang melecehkan Gitasav palsu. Ia memakai foto orang lain yang bernama Helmi Akbar Wangsi. Si akun palsu rupanya dibantu VPN, sehingga identitas IP-nya yang terlacak justru tercatat dari Irlandia.

Gitasav akhirnya juga dicela. Tak sedikit yang mendukung tindakan beraninya melawan para troll pelaku pelecehan di internet, tapi lebih banyak yang mencibir. Terutama karena Helmi sempat protes pada Gitasav soal wajahnya yang dipakai oleh akun palsu yang sudah sempat disebar Gitasav. Banyak yang mendukung Helmi dan menganggap sang selebgram gegabah.

Tanpa persetujuan Gitasav, Helmi akhirnya mengunggah potongan direct messages antar-keduanya sehingga jadi konsumsi publik dan media. Alih-alih fokus pada kasus pelecehan yang menimpa Gitasav, sejumlah media justru hibuk memberitakan drama tentang penipuan identitas (catfish) tersebut. Sebagian lain bahkan memberitakan tentang manajemen emosi, yang menurut mereka perlu dialamatkan pada Gitasav.

Sama halnya dengan pemberitaan tentang Via Vallen. Selain memperdebatkan keengganan Via menyebut nama pelaku, media juga akhirnya tak fokus membingkai pesan perlawanan terhadap pelecehan seksual. Bahkan ada yang coba membuktikan bahwa Via pernah bertemu dengan Marko Simic, pemain bola yang ramai dituding sebagai orang yang men-DM Via. Berita itu seolah-olah ingin mematahkan pernyataan Via yang pernah bilang, “Nggak kenal dan nggak pernah ketemu tiba-tiba nge DM dan ngirim text gambar kayak gini.”

Mendadak posisi Via dan Gitasav yang harusnya adalah korban, mulai bergeser jadi macam-macam, termasuk: pencari sensasi, tukang marah, perempuan lebay, dan puluhan julukan negatif lainnya yang memang umum terjadi pada para korban pelecehan, terutama perempuan.

Tabiat media yang lebih fokus pada drama pelecehan daripada efek terhadap korban adalah salah satu bukti teori "budaya perkosaan" (rape culture), menurut Zerlina Maxwell, seorang kolomnis, feminis, dan analis politik.

Dalam tulisannya yang bertajuk "Rape Culture is Real" di Time, Maxwell mencontohkan CNN—yang memilih berduka pada nasib terdakwa pelecehan seksual dalam kasus Steubenville ketimbang menyorot nasib gadis korban perkosaannya—sebagai salah satu contoh tanda sebuah masyarakat yang masih melanggengkan budaya perkosaan.

Budaya perkosaan sendiri merujuk pada sebuah fenomena ketika perkosaan dan kekerasan seksual sering terjadi dan dinormalkan atau dianggap biasa. Teori ini mulai berkembang pada 1970-an di Amerika Serikat, saat feminis gelombang kedua mulai mendiskusikan tentang upaya peningkatan kesadaran tentang menonjolkan angka pemerkosaan. Pada masa itu, pemerkosaan kembali dikaji ulang. Kali ini lebih banyak dari perspektif para korban, ketimbang pelaku.

Alexandra Rutherford dalam "Sexual Violence Against Women: Putting Rape Research in Context" menyebut, budaya di AS memang sudah lama mengenal pemerkosaan, inses, dan pemukulan pada istri, tapi menganggapnya jarang terjadi. Salah satu faktornya adalah karena hal itu jarang dibicarakan sehari-hari dan dikategorikan sebagai tabu.

Teori budaya perkosaan melihat pemerkosaan sebagai gejala yang sudah dianggap umum dan normal dalam budaya Amerika, dibentuk dari nilai-nilai sosial yang misoginis dan seksis, buah dari ideologi patriarki. Dalam ideologi itu, perempuan dan segala yang feminin ditempatkan di bawah kepentingan pria dan apapun yang dianggap mewakili maskulinitas. Sehingga, dalam kasus pelecehan, seringkali ada stigma lebih besar pada para korban (yang mayoritasnya perempuan), ketimbang pada para pelaku (yang mayoritasnya laki-laki).

Komentar yang menyebut tindakan Via dan Gitasav berlebihan adalah salah satu contoh stigma tersebut. Inilah bukti betapa banyak orang Indonesia mewajarkan pelecehan seksual, sekaligus asing saat melihat korban pelecehan bicara ke publik dan melawan—menganggap bahwa pelecehan adalah hal alamiah yang harus diterima perempuan. Sesuatu yang jelas sekali salah kaprah.

Budaya perkosaan juga muncul pada logika sesat yang selalu mengontrol perempuan agar tidak dilecehkan, alih-alih menyuruh laki-laki untuk mengendalikan nafsunya. Lontaran seperti “namanya juga laki-laki” atau “wajar laki-laki begitu” pada korban pelecehan adalah contohnya. Artinya, perkosaan yang dilakukan laki-laki memang diwajarkan.

Perlu Diapresiasi

Di Hollywood, ada gerakan #MeToo yang coba mendobrak budaya perkosaan di lingkungan produksi film. Aktris, sineas, dan publik figur perempuan Hollywood ramai-ramai menceritakan pengalaman pelecehan yang pernah mereka terima. Tujuannya, agar semua perempuan berani bicara dan menjadikan pelecehan ini isu nasional sehingga cara pandang masyarakat terhadap korban pelecehan bisa berubah.

Stigma-stigma yang melekat pada korban pelecehan memang seringkali berat. Sehingga wajar jika banyak dari mereka yang akhirnya jadi tak berani bercerita. Perempuan, sebagai kelompok korban paling besar, akhirnya tak punya pilihan selain diam dan memaklumi pelecehan yang mereka terima. Misalnya aktris Uma Thurman yang butuh waktu cukup lama untuk menceritakan pengalaman pelecehan seksualnya oleh Harvey Weinsten, produser ternama Hollywood yang ternyata predator.

Korban pelecehan biasanya punya trauma yang tak bisa kita ukur dampaknya. Membicarakannya di depan umum bisa membawa risiko yang tak ringan. Bukan cuma menyandang cap buruk seperti "pencari sensasi", keselamatan, pekerjaan, dan kesehatan jiwa mereka juga terancam. Sistem hukum Indonesia yang belum akrab dengan korban pelecehan pun membuat para penyintas enggan memproses hukum kasus perkosaan yang mereka alami.

Baca laporan panjang Tirto tentang korban Perkosaan dan Pelecehan Seksual:

Infografik Rape Culture

Ikhaputri Widiantini, pengajar di Departemen Filsafat FIB Universitas Indonesia (UI), mengatakan bahwa petugas hukum sering memaksa korban untuk membuktikan status korbannya, bukan sebaliknya: menyuruh pelaku untuk membuktikan dirinya tidak bersalah. Alhasil, kekurangan barang bukti sering membuat investigasi atas kasus perkosaan buntu.

“Padahal, psikologinya, seorang korban perkosaan memang umumnya akan mandi lebih dulu. Karena merasa jijik, misalnya. Kita tidak diajarkan untuk langsung ke rumah sakit dan visum. Bahkan yang diajarin ke kita itu adalah korban perkosaan sudah tidak suci lagi, kehormatan mereka hilang,” kata Ikhaputri kepada Tirto. Stigma dan trauma itu pula yang akhirnya bikin seorang korban pelecehan memilih untuk diam.

“Yang paling gila, ada ide untuk menikahkan korban dengan pelakunya. Jahat banget kan society kita maksa korban untuk hidup dengan orang yang udah memerkosa dia seumur hidup dia," ujar perempuan yang akrab disapa Upi ini.

Salah satu kasus yang membuktikan bahwa hukum Indonesia belum ramah pada kasus pelecehan seksual terjadi Mei tahun lalu. Sebelum Via dan Gitasav membawa pelecehan seksual ke permukaan, tanda pagar #SaveIbuNuril juga sempat viral. Pegawai Tata Usaha yang merupakan korban pelecehan itu justru jadi pesakitan dibantai UU ITE. Rekaman kepala sekolah tempatnya bekerja yang bermuatan pelecehan seksual tersebar.

Itu sebabnya apa yang dilakukan Via dan Gitasav harus didukung. Perbedaan cara mereka merespon pelaku semestinya tak jadi soal: mengekspos akun yang melecehkannya tanpa sensor seperti Gitasav, atau sebaliknya seperti Via—toh tetap saja keduanya dirisak. Untuk bicara saja, mereka perlu mengumpulkan keberanian yang amat besar. Setidaknya pertama-tama, agar siap menghadapi cibiran dan pelabelan "pencari sensasi", atau "perempuan caper".

Yang Berkomentar Juga Korban

Anindya Restuviani, Co Director Hollaback! Jakarta, kelompok yang fokus pada isu kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan, mengatakan pada Tirto bahwa tanggungjawab untuk meningkatkan kesadaran publik memang ada pada sisi korban. Korban, harus seperti Via dan Gitasav, berani bicara, mengungkapkannya ke publik.

Selain mendukung para penyintas untuk bersuara, Upi—yang biasa jadi pendamping korban pelecehan—juga punya pesan lain yang tak kalah penting. Menurutnya, tujuan dari dukungan itu bukan untuk menangkap sebanyak-banyaknya para predator. Melainkan menyebarkan edukasi bahwa pelecehan bukan perbuatan baik, begitu pula tindakan menyalahkan korban yang dipelihara dalam budaya perkosaan.

“Yang perlu kita sadari, mendukung para penyintas untuk bersuara bukan berarti memusuhi laki-laki,” kata Upi. Karena menurutnya, laki-laki juga bisa jadi korban dari budaya perkosaan. Bahkan, kata Upi, orang-orang misgonis yang berkomentar buruk pada kasus Via dan Gitasav pun merupakan korban budaya barbar ini. “Mereka cuma belum paham,” tambah Upi.

Apa yang dialami Via dan Gitasav akhirnya jadi cerminv buat perempuan lain: apakah mereka akan jadi lebih berani untuk bersuara, atau malah gentar karena gelombang cibiran yang bagi sebagian orang, mungkin adalah tantangan lebih besar, ketimbang pengalaman pelecehan yang mereka terima.

Baca juga artikel terkait KASUS PELECEHAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam