tirto.id - Saat mendengar kasus Agni, nama samaran mahasiswi penyintas kekerasan seksual di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Dias—bukan nama asli—kembali terkenang pengalaman pahitnya. Alumnus Universitas Diponegoro (Undip) Semarang ini mengikuti kisah Agni sejak November tahun lalu. Pertama kali mendengarnya, ia bergidik.
“Cerita-cerita begini sering jadi trigger. Bikin saya teringat lagi,” katanya.
Dias makin gondok karena mendengar kasus Agni pada Februari 2019 berakhir “damai”—istilah pasar untuk menyebut "penyelesaian kesepakatan non-litigasi". Ia kecewa tak ada hukuman berat bagi pelaku dalam kasus Agni.
Dias teringat insiden yang menimpanya pada 2016 ketika masih berstatus mahasiswi.
Juli. Seminggu setelah Idulfitri, ia mengunjungi kampus karena ingin segera sidang skripsi. Waktu itu semua berkas sudah rapi. Dias ingin meminta tanda tangan persetujuan sidang skripsi dari dosen pembimbingnya, Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Redyanto Noor, biasa dipanggil "Pak Redy."
Saat di depan kantor jurusan, langkah Dias berhenti karena didekati dosen yang namanya kami samarkan sebagai Kodir, pengajar sejumlah mata kuliah wajib di FIB. Dias pernah mengikuti mata kuliah yang diampu Kodir selama beberapa semester. Saat itu Kodir bilang ingin melihat skripsinya dan menasihati banyak hal tentang cara membuat skripsi yang baik.
“Dia bahkan menawarkan untuk bimbingan lagi, padahal skripsi saya sudah selesai dan siap disidangkan,” kata Dias. “Saya cuma iya-iya saja karena enggak enak.”
Dalam obrolan itu, paha, tangan, dan punggung Dias mulai diraba-raba. Awalnya Dias tercekat. Ia terpaku dan tak bisa berteriak. Tapi pikirannya ke mana-mana. Dias ketakutan dan merasa terancam. Hari itu kampus memang sepi. Jika teriak, ia takut dikira lebay dan tak punya bukti jika ada yang menagih.
“Dia dosen, saya bisa aja dikira yang godain. Saya juga bakal ditanya kenapa diam saja pas dipegang, tapi saya memang enggak tahu kenapa waktu itu diam,” kenang Dias.
Ia baru memberi respons ketika si dosen berusaha menyosor mulutnya, mendekatkan muka, berusaha mencium. Dias berhasil menampik, dan kabur.
Pulang. Syok. Menangis. Dan merasa jijik.
Pada hari yang sama, Dias sempat bercerita kepada beberapa kawan. Mereka mencoba menenangkan, tapi ada pula yang menyarankan untuk tak terlalu menanggapi.
Dias memang sempat mendengar rumor-rumor tak sedap tentang Kodir, tentang reputasinya yang mesum. Sampai hari itu, “Saya enggak nyangka kalau cerita itu mungkin benar sampai saya sendiri yang kena.”
Keesokan hari, Dias melaporkan kejadian itu kepada dosen perempuan yang dikenalnya ramah dan baik kepada mahasiswa. Setelah berkonsultasi, Dias disarankan mengadu ke kepala jurusan. Dari dosen itu pula Dias diberitahu ia bukan yang pertama. Ada tiga korban yang sempat mengadukan dosen yang sama kepada jurusan. (Saya mengontak dosen perempuan yang dihubungi Dias tapi ia tidak berkomentar panjang dan menyarankan saya untuk bicara langsung kepada kepala jurusan sebagai otoritas kampus.)
Berdasarkan saran itu, Dias sempat menemui Kepala Program Studi di FIB Undip tapi disarankan melapor ke Dekanat.
Maka, Dias pergi melapor ke Pembantu Dekan II Suharyo. Di sana ia diberitahu sebelum dirinya, ada tiga orang yang sempat melaporkan dosen yang sama. Dias disuruh tenang. Suharyo menjanjikan Kodir akan dipanggil Dekanat.
Berakhir Menggantung
Setelah menyelesaikan sidang skripsi, fokus Dias sudah berganti. Ia tak harus ke kampus. Selang beberapa minggu, ia sempat kembali ke kampus untuk mengurusi berkas transkrip nilai. Ia sempat melihat Kodir masih di kampus. Dias kaget.
“Kok enak banget sih? Kok masih seliweran?”
Dias kembali bertanya kepada Pembantu Dekan II Suharyo, “Saya tanya, apa perlu saya lapor ke rektorat? Kata beliau, 'Enggak usah.'" Suharyo beralasan, mengutip Dias, Dekanat punya prosedural sendiri tentang kejadian pelecehan seksual yang dialami Dias dan punya aturan sendiri untuk menangani kasus tersebut.
Dias ingat kejadian yang menimpanya dianggap “bukan pelanggaran yang berat”. Suharyo seingat Dias berkata Kodir pernah dipanggil Dekan Redyanto Noor.
“Oleh dekan, katanya, dimarah-marahi, diunek-uneki-lah kalau bahasa Jawanya,” kata Dias kepada saya, akhir Februari lalu.
Suharyo juga menjelaskan Kodir pasti akan dapat sanksi sosial, ujar Dias. Misalnya, “Jelek di mata dosen lain”.
Dias juga diberitahu izin Kodir sebagai dosen pembimbing skripsi sudah dibatasi. Kodir tak diperkenankan sebagai dosen pembimbing skripsi untuk mahasiswi.
Saya menghubungi Suharyo dan Redyanto Noor lewat pesan WhatsApp tapi mereka tak merespons. Suharyo juga tidak mengangkat telepon dari saya. Redy menolak wawancara yang saya tawarkan.
Namun, saat kami bertemu di depan kantor Dekan FIB Undip, 5 Maret, dalam perbincangan sekilas, Redy berkata tak ingat atas kejadian yang saya jelaskan. Tapi, ia membenarkan ia menerima laporan dari Dias ketika saya menyebut nama asli penyintas. (Dias mengizinkan saya menyebut nama aslinya kepada Redyanto Noor, Suharyo, dan Kepala Program Studi di FIB Undip.)
“Dosennya waktu itu sudah saya panggil. Ditegur,” katanya. Saat saya membahas lebih lanjut, Redy mengaku sibuk.
Sehari sebelumnya, Kaprodi di FIB Undip tempat Dias studi jurusan—yang enggan disebutkan nama aslinya—membenarkan laporan Dias. Atas laporan itu, sang Kaprodi melaporkan Kodir kepada Redyanto Noor, Dekan FIB saat itu.
Menurutnya, Kodir sudah dipanggil dan mendapatkan teguran. “Karena mungkin itu dianggap kasus awal jadi dekan cuma menyampaikan teguran. Menasihatilah. Itu saja,” katanya.
Sebelum mengadukan ke dekan, sang Kaprodi mengaku telah memanggil khusus Kodir. “Saya tegur dan saya berikan peringatan,” tambahnya.
“Terus terang, sebagai pimpinan Prodi di sini, saya bertanggung jawab atas anak buah atau bawahan saya. Padahal tanggung jawab saya bukan cuma di sini, tapi juga di sana,” katanya sambil menunjuk langit-langit.
Ia juga mengaku sempat didatangi satu korban lain sebelum Dias. Berbeda dari Dias, korban satu ini adalah mahasiswi bimbingan skripsi Kodir yang “tidak nyaman perlakuan si dosen”.
Setelah menerima laporan itu, sang Kaprodi memutuskan dosen pembimbing lain mengganti Kodir. Tapi ia tak ingat jumlah penyintas yang datang kepadanya. Ia cuma ingat Dias dan satu korban tersebut.
Sang Kaprodi juga menjatuhkan hukuman kepada Kodir untuk tidak boleh lagi jadi dosen pembimbing skripsi mahasiswi. “Sudah dua semester terakhir,” katanya. “Jadi dia cuma boleh bimbing yang putra.”
Masih Ada Mahasiswi yang Jadi Korban
Gia—nama samaran—harus tiga kali berhenti di jalan karena syok. Ia sesenggukan karena baru saja berhadapan dengan Kodir di kantor jurusan.
“Waktu pulang aku nangis. Di jalan itu aku bingung mau omong sama siapa. Sampai aku berhenti tiga kali di jalan. Buka HP, tapi bingung mau omong sama siapa."
"Sama teman ya percuma. Paling cuma dibilang, 'Kamu itu korban keberapa, kesekian sih. Ya sudah, sabar aja.' Kan, malah makin enggak tenang.”
Singkat cerita, karena trauma, Gia absen ke kampus selama dua minggu. Gia butuh memulihkan diri.
Gia bercerita kepada saya selama hampir setengah jam. Ia mengisahkan detail pengalaman buruknya ketika tangannya digenggam, pipinya dicubit-cubit, dan pinggangnya dirangkul Kodir saat ruangan sepi.
Gia enggan ceritanya ditulis rinci. Ia takut identitasnya terlacak dan membahayakan proses studinya.
Cerita begitu tak cuma datang dari Gia. Sebelum bertemu Kaprodi, saya menerima cerita dari dua mahasiswi lain yang punya pengalaman serupa.
Iriana dan Vani—keduanya nama samaran—punya cerita sama tapi enggan kisahnya ditulis rinci karena merasa tidak aman masih berstatus mahasiswi.
“Kalau aku sendiri merasa terancam. Karena dosen itu memang sudah terkenal genit. Jadi bukan hal mengagetkan kalau ada anak-anak yang diapain sama beliau,” kata Iriana. Sama seperti Gia, tangannya pernah digenggam dan dielus-elus dan pipinya dicubit.
“Aku ngerasa terancam karena bukan cuma sekali,” tambah Iriana.
Dari sejumlah mahasiswi yang saya wawancarai, Kodir dikenal punya reputasi “genit” dan “ramah” kepada mahasiswi. “Dia terkenal—dikasih tahu dari senior-senior sejak awal masuk—kalau kasih nilai selalu enak. Pasti A. Jaranglah yang dapat B,” kata Iriana.
Pernyataan serupa setidaknya diamini oleh empat mahasiswi yang saya tanyai, selain Dias.
“Saya cuma dengar-dengar semacam rumor. Soalnya, katanya, katanya, katanya gitu. Sampai akhirnya kejadian ke saya. Saya yakin yang lain juga pernah tapi enggak berani cerita,” kata Dias.
Kodir juga terkenal sering menyuruh mahasiswi untuk konsultasi atau bimbingan di rumahnya. Gia, Vani, dan Iriana adalah sedikit mahasiswi yang pernah diminta Kodir untuk datang ke rumahnya. Tidak semuanya mau. Kalaupun pergi, mereka biasanya mawas diri dengan mengajak teman.
Saya mengontak Kodir dan mengajak bertemu untuk wawancara. Namun, pesan WhatsApp saya cuma dibaca. Saya meneleponnya tapi tak digubris. Saya kembali mengirim pesan WhatsApp dan bertanya secara eksplisit meminta tanggapannya. Saya juga kembali menelepon dua kali. Kodir tidak merespons sampai artikel ini dirilis.
Kejadian Berulang Tidak Cukup Buat Sanksi?
Nurhayati, dekan baru FIB yang dilantik Januari 2019, berkata masih belum tahu tentang tindak-tanduk Kodir.
Nurhayati bukan dari jurusan yang sama dengan Kodir dan Redyanto Noor, dekan sebelumnya. Nurhayati berkata ia belum pernah menerima laporan soal perilaku dosen yang melakukan pelecehan seksual sehingga tak bisa banyak berkomentar.
Ia berkata baru bisa bertindak jika ada laporan. “Tentu saja saya akan klarifikasi. Kalau itu benar, kami akan kaji lagi."
"Sejauh mana Prodi merespons kasus ini? Kami akan selalu kembali pada regulasi. Untuk memberi sanksi, memberi hukuman. Kami pasti akan mengacu ke sana,” kata Nurhayati saat kami bertemu, 5 Maret 2019.
Ketika saya bertanya soal tindak lanjut kasus ini seminggu kemudian, Nurhayati berkata, “Saya sudah klarifikasi kasus itu. Dari Prodi menyatakan kasus itu (kasus Dias) sudah selesai.”
Sejauh ini, kasus Dias dianggap selesai karena dosen sudah ditegur Dekanat dan diberi sanksi oleh Jurusan untuk tidak membimbing mahasiswi lagi. Dan Dias dianggap tidak memperkarakan kasus ini lebih lanjut.
Apakah selesai berarti tidak dianggap ada pelanggaran?
“Ini terjadi pada 2016. Jadi saya tidak bisa memberi komentar. Nuwun,” jawab Nurhayati.
Lantas, bagaimana nasib mahasiswi macam Gia, Iriana, dan Vani?
Testimoni ketiga mahasiswi itu membuktikan kejadian yang dialami Dias tidak berhenti pada 2016. Dan tidak terjadi pada satu angkatan saja atau spesifik terjadi pada satu orang.
Tidakkah kampus seharusnya menjamin keamanan mahasiswanya?
Nurhayati berkomentar ia belum menerima laporan dari kasus-kasus yang saya ceritakan relatif baru seperti yang dialami Gia, Iriana, dan Vani.
Kaprodi FIB Undip berkata terganjal regulasi. Sanksi terhadap koleganya sejauh ini adalah hal paling maksimal yang bisa ia lakukan. “Di tahap (level) seperti (saya) ini cuma bisa bikin aturan begitu (melarang Kodir jadi dosen pembimbing mahasiswi).”
Dan hanya itu. Menurutnya, selama ini kampus belum punya regulasi spesifik mengatasi kasus pelecehan seksual. “Saya juga pernah tanya ke dekan tapi belum ada jawaban pasti,” kata Kaprodi.
Nurhayati berkata, sepengetahuannya, tidak ada aturan spesifik di lingkungan akademik Undip yang menyebut klausul “pelecehan seksual” atau "kekerasan seksual" sehingga kampus akan merujuk aturan-aturan tentang etika dosen bila akhirnya menjatuhkan sanksi.
Ia menilai harus melihat secara kasuistik. Menurutnya, regulasi khusus belum diperlukan. “Evaluasi kinerja dosen dilakukan melalui alat kode etik dosen dan ASN (aparatur sipil negara),” katanya.
Namun, tidakkah kampus menilai perlu membuat kebijakan khusus untuk menindaklanjuti kasus yang terjadi berulang?
Saya berusaha mengontak Kepala Humas Universitas Diponegoro Nuswantoro Dwiwarno soal regulasi yang sekiranya dibuat khusus untuk menangani kasus berulang seperti pelecehan atau kekerasan seksual di lingkungan akademik.
Nuswantoro menjawab lewat pesan WhatsApp: "Yang akan dibicarakan kasus pelecehan yang mana? Kalau sudah diselesaikan di Fakultas dan para pihak sudah legowo semua, apakah perlu dibicarakan? Saya belum tahu posisi kasusnya … jadi saya belum bisa membuat statement."
Ketika saya minta izin menelepon untuk menjelaskan kasusnya, Nuswantoro menolak dan berkata “sibuk.”
========
Laporan ini adalah bagian dari seri laporan mendalam #NamaBaikKampus. Ini adalah proyek kolaborasi antara Tirto.id, The Jakarta Post, dan VICE Indonesia terkait pelbagai dugaan kekerasan dan pelecehan seksual di perguruan tinggi di Indonesia.
Tim Tirto yang bekerja untuk proyek ini adalah Dipna Videlia Putsanra di Yogayakarta, Aulia Adam, Fahri Salam, dan Wan Ulfa Nur Zuhra di Jakarta.
Jika kamu pernah mengalami kekerasan atau pelecehan seksual di kampus dan berkenan berbagi cerita, bantu kami mengisi testimoni untuk mendesak pembuatan kebijakan yang berpihak pada korban: bit.ly/NamaBaikKampus
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam