Menuju konten utama

EH, Agni, dan UGM yang Tak Tegas Menangani Kasus Kekerasan Seksual

Dosen pelaku pelecehan seksual di UGM, yang pernah disorot The Jakarta Post pada 2016, masih terlihat di kampus meski sudah diskors dilarang mengajar.

EH, Agni, dan UGM yang Tak Tegas Menangani Kasus Kekerasan Seksual
Ilustras Kasus kekerasan seksual di kampus untuk Kolaborasi #NamaBaikKampus. tirto.id/Nadya

tirto.id - April 2015, seorang mahasiswi dengan nama samaran Maria dilecehkan secara seksual oleh dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Dosen itu berinisial EH. Peristiwanya di perpustakaan ketika Maria diminta EH untuk membuat rangkuman penelitian.

Kisah Maria diangkat The Jakarta Post pada 2 Juni 2016 dengan judul “Sexually harassed and abused on campus". Menanggapi laporan itu, Fisipol memberi sanksi kepada EH berupa pembebasan tanggung jawab dari mengajar dan melakukan bimbingan. EH juga diminta untuk menjalankan mandatory counseling di Rifka Annisa Women's Crisis Center.

Ketua Departemen Ilmu Hubungan Internasional Nur Rachmat Yuliantoro mengatakan, EH sudah menjalani mandatory counseling.

“Tapi hasilnya tidak sesuai dengan yang dikehendaki Rifka sehingga penilaian konselingnya masih belum memuaskan,” ujar Rachmat pada 5 Maret 2019 kepada The Jakarta Post untuk Kolaborasi #NamaBaikKampus.

EH tak hanya memegang jabatan di HI Fisipol, tapi juga punya posisi di Departemen Politik dan Pemerintahan. EH memegang Power Conflict Democracy Journal di bawah departemen tersebut.

“Yang bisa saya katakan ada sanksi dari fakultas, tidak boleh mengajar, tidak boleh membimbing, tapi saya tidak tahu alasan dari Departemen Politik dan Pemerintahan masih tetap memberi kesempatan Mas EH untuk [membimbing mahasiswa] S3 Ilmu Politik. Kalau di kami begitu sanksi tersebut terbit, sama sekali tidak ada kegiatan akademik yang bersangkutan,” ujar Rachmat.

Persoalan kemudian muncul pada pertengahan 2018 ketika Rachmat mendengar laporan kasus pelecehan seksual lain yang dilakukan oleh EH terhadap staf Fisipol. Korban telah melaporkan kejadian itu ke Departemen Politik dan Pemerintahan, meski EH membantah telah melakukan pelecehan seksual.

Menurut Rachmat, kasus ini cukup rumit karena terjadi lintas departemen. Penyintas merupakan staf Departemen Politik dan Pemerintahan, sementara kejadiannya di Departemen Hubungan Internasional. Yang pertama kali melaporkan kasus itu secara resmi ke Fisipol adalah Departemen Politik dan Pemerintahan.

Dalam pertemuan dengan pengurus fakultas, EH diberitahu bahwa kecil kemungkinan ia bisa bertahan di Fisipol, sehingga diminta untuk mengundurkan diri. Pada 26 November 2018—saat ramai kasus Agni—EH mengajukan surat pengunduran diri.

Rachmat mengatakan, dalam surat itu, EH mengundurkan diri dari Fisipol tapi tetap menghendaki untuk bekerja di lingkungan UGM.

Surat pengunduran diri dan permintaan maaf EH diterima satu bulan setelah pertemuan itu. Fisipol merespons surat itu dengan meneruskan ke universitas. Rachmat berkata ia tidak tahu apakah universitas sudah merespons surat tersebut.

Amalinda Savirani, Kepala Departemen Politik dan Pemerintahan, berkata dalam hak jawab bahwa sejak November 2018, EH sudah tidak lagi mengajar dan membimbing mahasiswa Prodi S3 di Departemen Politik dan Pemerintahan.

"Sejak September 2018, saudara EH tidak lagi menjadi pengelola jurnal PCD yang diterbitkan PolGov," tulis Amalinda, menambahkan Departemen Politik dan Pemerintahan mengatasi masalah EH "secara serius, sesuai situasi internal di departemen." (Baca hak jawab secara lengkap dari Amalinda Savirani di bawah artikel.)

EH Masih di Kampus Usai Mengundurkan Diri

Seorang warga kampus Fisipol berkata ia masih melihat EH berjalan menuju ruangan dosen pada 25 Februari 2019, tiga bulan setelah mengundurkan diri. Kesaksian itu tak hanya diberikan oleh satu-dua orang, tapi beberapa mahasiswa dan staf.

Nur Rachmat Yuliantoro berkata ia juga mendengar desas-desus EH masih di kampus, tapi ia tak bisa memastikan sebab tak pernah melihatnya sendiri. Akan tetapi, kata staf dan dosen, lampu di ruangan EH masih sering menyala dan pintunya terbuka.

“Rumit juga karena secara status EH kan PNS, masih menunggu bagaimana universitas bersikap dalam hal ini,” kata Rachmat kepada The Jakarta Post untuk Kolaborasi #NamaBaikKampus.

Ia tak tahu persis alasan EH masih bertahan di kampus. Walaupun Fisipol menerima pengunduran diri EH, tapi jika universitas belum memberi respons, secara de jure EH masih staf UGM, ujar Rachmat.

Rika, salah satu dosen Fisipol, berkata bisa dipastikan sejak mengundurkan diri, EH sudah tidak mempunyai jabatan dan tanggung jawab apa pun di Fisipol.

“Mungkin [UGM] ingin mempertahankan karena pertimbangannya hal-hal yang bersifat teknis,” ujar Rika kepada The Jakarta Post untuk Kolaborasi, menduga-duga. “[Pertanyaannya] apakah hal-hal bersifat teknis ini tidak bisa dikerjakan orang lain sementara banyak potential person yang bisa menggantikan?”

“Makanya, mulai tahun lalu, sudah fixed tidak lagi menjabat di posisi itu [Jurnal PCD]. Saya kurang ingat itu bulan apa. Oktober itu seingat saya sudah tidak lagi menjabat, sudah digantikan posisinya. Setelah dia melakukan pelecehan seksual lagi, ya sudah akhirnya tidak bisa, memang harus digantikan,” kata Rika, menambahkan status pegawai EH diserahkan ke universitas.

Infografik HL Indepth Dosen Mesum

Infografik Pelecehan Seksual di UGM. tirto.id/Lugas

UGM Belum Punya Payung Hukum Penanganan Kekerasan Seksual

Berlarutnya kasus EH merupakan salah satu contoh ketidaksiapan UGM dalam menyikapi kasus kekerasan seksual, menurut Muhadjir Darwin, tim perumus peraturan tentang pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di UGM.

Selain kasus EH, UGM juga berlarut-larut menangani kasus kekerasan seksual yang menimpa mahasiswa dengan nama samaran Agni saat KKN di Maluku pada Juli 2017. Kasus Agni berakhir dengan kesepakatan nonlitigasi antara UGM, pelaku, dan korban.

“Sepertinya universitas ketika itu seperti tidak siap menghadapi kasus itu sehingga kurang 'cek cek cek'. Harus diakui memang, sebagian atau sebagian besar pengambil keputusan di universitas belum memiliki sensitivitas gender yang ideal,” ujar Muhadjir kepada The Jakarta Post untuk Kolaborasi.

Menurut Muhadjir, buta gender berarti tidak paham pada persoalan ketimpangan gender sehingga mengekalkan pandangan bahwa seolah-olah laki-laki lebih tinggi dari perempuan, punya kebebasan memperkosa. Ujungnya, bila ada kasus pemerkosaan, yang disalahkan adalah perempuan, ujarnya.

“UGM kemarin blame the victims [dalam kasus Agni], bukan in the actor. Itu tidak paham. Ini persoalan yang sensitif, ngomong seperti itu [‘kucing dan gereh’] kalau didengar perempuan, kan menyakitkan.”

Muhadjir berkata merumuskan peraturan ini melibatkan banyak pihak, di antaranya dari kampus lain seperti Universitas Indonesia dan Universitas Sebelas Maret hingga Rifka Annisa dan Komnas Perempuan. Draf aturan ini dibuat mengacu pada RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).

Peraturan ini ingin mencegah dan menanggulangi kekerasan seksual yang melibatkan sivitas akademika, dosen, pegawai, tenaga pendidik, baik di kalangan masing-masing atau antar-anggota. Baik di dalam kampus atau di luar kampus, contohnya seperti kasus Agni yang terjadi di luar kampus tapi masih dalam kegiatan kampus (KKN).

Muhadjir diberi target untuk memfinalkan aturan ini pada akhir Maret 2019 untuk diserahkan ke Rektorat UGM. Setelah itu tergantung bagaimana rektor menjalankannya.

“Sebenarnya ini terlambat karena gender mainstreaming itu tahun 2000, zaman pemerintahan Gus Dur, sudah diadopsi di lembaga dan kementerian. Secara formal-legal sudah dalam kebijakan-kebijakan di pendidikan, tapi implementasi di lapangan masih lemah, karena belum semua institusi mengadopsi, UGM termasuk yang belum,” kata Muhadjir.

Peraturan mengatasi kekerasan seksual di kampus nantinya berlaku surut, cerita Muhadjir dalam salah satu usulan dengan tim perumus. Thus, kasus-kasus yang terjadi sebelum aturan ini dibuat—seperti kasus EH dan Agni—tetap bisa diselesaikan dengan aturan baru. Kasus lama tidak bisa dilanjutkan jika sudah dianggap selesai.

Sanksi yang diberikan, menurut Muhadjir, berupa peringatan, skorsing, penonaktifan, sampai pemecatan. Jika kasus dibawa hingga ke jalur hukum, akan ada tim dari UGM yang mendampingi penyintas.

Jika aturan ini sudah disahkan, Muhadjir menilai kasus EH bisa diselesaikan dengan aturan baru, jika korban atau pihak tertentu ada yang tidak puas dan menggugat kembali. Sebab, menurut Muhadjir, kasus EH sudah selesai secara internal.

“Yang bersangkutan dapat sanksi diskors tidak boleh mengajar, sudah ada penyelesaian oleh fakultas. Apakah sudah ada kepuasan atau belum dari korban kalau dia menuntut, mungkin bisa kami respons,” ujarnya.

UGM Mengusulkan EH ‘Diberhentikan dengan Hormat’

Dalam kasus EH, Kepala Bagian Humas dan Protokoler UGM Iva Ariani berkata pihak universitas tengah menyusun persyaratan untuk memberhentikan EH.

“Jadi saat ini pihak universitas menyelesaikan kasus EH dengan mengacu pada PP 53 tahun 2010 dengan sanksi maksimal pemberhentian dengan hormat bukan atas permintaan sendiri,” ujar Iva kepada Tirto, Rabu, 13 Maret kemarin.

Aturan yang disebut Iva merujuk Disiplin PNS. Usulan UGM memberhentikan EH secara terhormat terdapat dalam Bab III mengenai hukuman disiplin pasal 7 (4). Di situ ada opsi jenis hukuman disiplin berat. UGM akan memilih opsi (d) pemberhentian dengan hormat bukan atas permintaan sendiri sebagai PNS.

UGM tidak memilih opsi (e) pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS—artinya, UGM memang berencana tidak memakai pilihan ini; sesuatu yang bisa jadi preseden bahwa pelaku pelecehan atau kekerasan seksual dipecat secara terhormat.

Iva juga berkata kepada Tirto bahwa sanksi maksimal akan diberikan kepada EH karena kesalahan EH termasuk pelanggaran berat. UGM akan meneruskan perkara EH ke Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), ujar Iva.

Ismunandar, Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan dari Kementerian Ristekdikti, yang menangani persoalan kampus di Indonesia, berkata bahwa sistem perguruan tinggi di sini menganut otonomi. Sehingga permasalahan-permasalahan terkait kemahasiswaan dan disiplin berada di wilayah otoritas kampus masing-masing.

Ismunandar mengakui Dikti belum memiliki regulasi khusus untuk menangani kasus pelecehan atau kekerasan seksual. Menurutnya, kasus demikian bisa diselesaikan di ranah perguruan tinggi saja.

“Dalam institusi pendidikan ya kita harapkan perguruan tinggi menyelesaikannya. Tapi, kalau dalam hal tertentu di mana ada, dipandang kita perlu—harus (ikut), kita bisa saja gitu,” kata Ismunandar kepada VICE Indonesia untuk Kolaborasi #NamaBaikKampus.

========

KOREKSI: Artikel ini telah dikoreksi di beberapa kalimat.

Laporan ini adalah bagian dari seri laporan mendalam #NamaBaikKampus. Ini adalah proyek kolaborasi antara Tirto.id, The Jakarta Post, dan VICE Indonesia terkait pelbagai dugaan kekerasan dan pelecehan seksual di perguruan tinggi di Indonesia.

Tim Tirto yang bekerja untuk proyek ini adalah Dipna Videlia Putsanra di Yogayakarta, Aulia Adam, Fahri Salam, dan Wan Ulfa Nur Zuhra di Jakarta.

Jika kamu pernah mengalami kekerasan atau pelecehan seksual di kampus dan berkenan berbagi cerita, bantu kami mengisi testimoni untuk mendesak pembuatan kebijakan yang berpihak pada korban:

========

Hak Jawab dari Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM

Dalam hemat kami, pemberitaan ini bersifat satu sisi, tidak menjunjung prinsip jurnalisme yang berimbang. Kami di Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM tidak dihubungi jurnalis Tirto untuk konfirmasi materi pemberitaan yang menyangkut Departemen kami.

Berikut hak jawab kami:

1. Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM memiliki komitmen tinggi dalam mendorong proses pembelajaran di departemen yang aman dan nir-kekerasan (dalam bentuk apa pun), bagi semua sivitas akademika di departemen.

2. Ketua Departemen Hubungan Internasional, Nur Rachmat Yuliantoro, menyebutkan: “Yang bisa saya katakan ada sanksi dari fakultas, tidak boleh mengajar, tidak boleh membimbing, tapi saya tidak tahu alasan dari Departemen Politik dan Pemerintahan masih tetap memberi kesempatan Mas EH untuk [membimbing mahasiswa] S3 Ilmu Politik. Kalau di kami begitu sanksi tersebut terbit, sama sekali tidak ada kegiatan akademik yang bersangkutan."

Menurut kami, pernyataan itu tidak sepenuhnya tepat, karena:

- Tidak menyebutkan dimensi waktu, yakni situasi terkini di Departemen Politik dan Pemerintahan. Sejak November 2018, saudara EH sudah tidak lagi mengajar dan membimbing mahasiswa prodi S3 di Departemen Politik dan Pemerintahan;

- Sejak September 2018, saudara EH tidak lagi menjadi pengelola jurnal PCD yang diterbitkan PolGov Departemen Politik dan Pemerintahan;

- Tidak memperhatikan upaya internal Departemen Politik dan Pemerintahan dalam mengatasi masalah ini secara serius, yang sesuai dengan situasi internal di departemen.

3. Karena itu, Departemen Politik dan Pemerintahan UGM menegaskan bahwa persoalan yang melibatkan saudara EH di departemen kami sudah selesai.

Demikian hak jawab kami.

Yogyakarta, 15 Maret 2019

Ketua Departemen

Dr. Amalinda Savirani

Baca juga artikel terkait PELECEHAN SEKSUAL DI KAMPUS atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Dipna Videlia Putsanra
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Fahri Salam