tirto.id - Pada Kamis (29/3/2018) silam, dr. Jiemi Ardian, residen psikiatri di sebuah rumah sakit di Solo berkisah di Twitter tentang pengalamannya berhadapan dengan seorang pasien gangguan jiwa berat. Bersama dua orang dokter lainnya, ia menangani kasus Lisa (bukan nama sebenarnya), seorang perempuan 16 tahun, penyintas perkosaan bergilir oleh 6 laki-laki.
“Anak ini ditinggal begitu saja setelah diperkosa. Dia pulang dalam keadaan terluka, fisik dan emosional. Sampai di rumahnya, dia menceritakan apa yang terjadi. Dan tau apa respon keluarga? Dia diusir karena dianggap mempermalukan keluarga,” tulis Jiemi dalam salah satu twitnya.
Ia juga menginformasikan keadaan awal saat Lisa dibawa ke RS tempat dia bekerja begitu mengkhawatirkan: tidak berhenti berteriak-teriak serta kerap menangis tanpa pencetus. Lisa pun sempat tidak mau berbicara kepada tenaga medis. Butuh waktu hampir sebulan bagi para tenaga medis untuk menunggu Lisa bisa bercerita lebih banyak tentang pengalaman pahitnya.
“Kalaupun bisa ngobrol sama Lisa, paling lama hanya 15 menit. Lebih dari itu, dia akan gelisah,” kata Jiemi. Pernah saking gelisahnya, Lisa mencoba kabur dari bangsal, tetapi gagal.
Memorinya sangat terpengaruh dari peristiwa traumatis yang dia alami sampai-sampai Lisa tidak mampu menyebutkan nama orangtuanya. Cuma bisa panggil “Bapak”. Nama lengkap sendiri pun tidak sanggup Lisa sebutkan.
Kepada Tirto Jiemi bercerita, kemampuan membedakan realitas dan bayangan-bayangan di kepala Lisa memburuk pasca-perkosaan. "Ada ketakutan luar biasa, avoidance ketika disinggung soal peristiwa perkosaan yang dia alami," katanya.
Ia dan rekan-rekannya yang menangani Lisa menilai jiwa berat yang dialami perempuan itu tergolong post traumatic stress disorder. Kondisi ini disebabkan tragedi berlapis yang dialami Lisa. Tidak hanya sekali, perempuan ini mengalami perkosaan untuk kali kedua oleh seorang laki-laki lain ketika ditampung di rumah salah satu petinggi desanya.
“Tau apa yang dilakukan warga mengetahui anak ini diperkosa aki-aki bau tanah? Dia dinikahkan dengan pemerkosanya,” sambung Jiemi. Baginya, ini sama saja dengan membiarkan perkosaan terhadap Lisa kembali terjadi di kemudian hari. Ia pun berpendapat bahwa trauma dan perubahan perilaku serta kemampuan berpikir Lisa adalah hasil akumulasi kejadian perkosaan dan keadaan terpaksa menikah dengan si pemerkosa.
Lisa bisa sampai berada di RS tidak lepas dari peran tetangga yang prihatin terhadap situasinya dan dinas sosial setempat. Sebelum dirawat, Lisa juga sempat ditampung di shelter dinas sosial. Sepanjang menjalani proses pemulihan mental, tidak sekali pun orangtua Lisa menjenguk.
Beban Berlapis Penyintas yang Dinikahkan
Alih-alih dapat memperbaiki hidup si penyintas, pernikahan yang dilakukannya secara terpaksa setelah tragedi perkosaan justru berpotensi memperburuk situasi, demikian disampaikan psikolog yang berpraktik di Yayasan Pulih, Gisella Tani Pratiwi.
Ia sendiri pernah menangani kasus Dahlia (bukan nama sebenarnya), penyintas yang terpaksa menikah di bawah batas usia minimal UU Perkawinan atas desakan orangtua.
“Pelaku perkosaan adalah temannya sendiri. Sebenarnya tante Dahlia sudah berusaha mencegah pernikahan mereka, tetapi tidak berhasil. Maka Dahlia dirujuk kepada kami untuk mendapatkan pelayanan psikologis untuk membantu pemulihan Dahlia akibat dampak perkosaan, kehamilan yang tidak diinginkan, dan pernikahan usia anak,” kisah perempuan yang akrab disapa Ella ini.
Ada hal yang tidak lazim ditemukan dalam pernikahan klien Ella tersebut. Dahlia dan pelaku memang menikah, tetapi sebagai usaha keluarga melindungi Dahlia, keluarga Dahlia mengajukan perjanjian bahwa setelah menikah, mereka tetap tinggal terpisah dan tetap tinggal bersama keluarga masing-masing.
Karena Dahlia hamil setelah diperkosa, dalam perjanjian tersebut juga disebutkan bahwa pelaku yang telah dia nikahi dibebankan kewajiban untuk membiayai perawatan kandungannya. “Mereka menikah supaya anak yang lahir nanti punya ayah secara hitam di atas putih,” imbuh Ella.
Mayoritas penyintas perkosaan merasa dirinya kotor dan merasa tidak punya masa depan cerah. Tidak cukup beban pikiran negatif seperti ini, mereka pun mesti menghadapi stigma buruk dan perlakuan tidak mendukung dari lingkungan sekitar seperti sikap menyalahkan. Ada juga yang mengalami teror atau tekanan dari keluarga besar, teman, dan tetangga setelah kasus perkosaan penyintas terkuak, bahkan setelah penyintas menikah, entah dengan pelaku atau orang lain.
“Menikah, terutama dengan pelaku pemerkosaan, menurut saya bukan solusi, baik untuk menangkal stigma maupun untuk kondisi penyintas dan bayinya, malah akan menambah masalah,” ungkap psikolog yang berfokus pada bidang klinis anak ini.
Dalam kasus penyintas yang menikah seperti yang ditangani Ella, Dahlia sebenarnya ingin memberontak karena merasa benci dan marah kepada pelaku. Namun, ia tidak berdaya dan mesti menerima orang yang memperkosanya sebagai suami.
“Ditambah lagi Dahlia harus bertanggung jawab menjaga kehamilan dan melahirkan nantinya,” kata Ella, “Kalau di kasus-kasus lain, ada yang mencoba aborsi dengan cara tidak aman, misalnya dengan meminum cairan pembersih lantai.”
Tekanan dan cap negatif dari lingkungan sekitar yang dialami Dahlia atau penyintas-penyintas lainnya kerap membuat mereka enggan beraktivitas di luar rumah. Di samping itu, Ella juga menemukan adanya rasa tidak berharga bahkan jijik pada dirinya, serta keinginan untuk menyakiti diri sendiri pada kasus-kasus penyintas perkosaan yang hamil.
Perkosaan dan pernikahan yang dipaksakan terhadap penyintas juga bisa menimbulkan kebingungan dalam diri mereka saat menjalin relasi romantis di kemudian hari.
“Saat dipaksa menikah, situasi diri mereka akan semakin tidak menentu dan kebingungan, bagaimana seharusnya menjalani relasi yang sehat. Mungkin sekali mereka menemukan beragam konflik dengan pasangan karena ada kemarahan atau kekecewaan yang tidak selesai sebagai dampak peristiwa traumatis yang pernah dialami, ditambah ketidaksiapan mereka untuk menikah karena masih berusia sangat muda,” papar alumni Magister Psikologi UI ini.
Kalaupun pernikahan penyintas berakhir atau ia justru tidak dinikahkan, ia masih menggendong beban masalah kepercayaan dalammenjalin relasi sehingga berimbas pada orang lain yang hendak menjalin relasi dengannya nanti. Di lain sisi, jika pelaku mencintai perempuan lain, kehadiran pihak ketiga ini bisa menambah tekanan dan konflik tersendiri dalam rumah tangganya dengan penyintas yang dibentuk secara terpaksa.
Diperkosa Ayah, Dinikahkan dengan Laki-Laki Pilihan Ibu
Jika dalam kasus Dahlia laki-laki yang dinikahkan dengannya adalah si pemerkosa sendiri, lain cerita dengan kasus Sekar (bukan nama sebenarnya). Ia masih berusia 16 ketika dipaksa berhubungan seksual oleh ayahnya sendiri.
Kala itu, tahun 2016, orangtua Sekar sudah bercerai. Awalnya Sekar ikut ibunya tinggal di daerah Jawa Tengah, sampai kemudian pada bulan Juli, ia memutuskan hijrah ke Jakarta untuk mencari pekerjaan dan tinggal bersama sang ayah. Alih-alih mengantongi nasib baik, Sekar malah mengalami perkosaan dari ayah kandungnya sendiri.
Segera setelah kasus Sekar sampai di telinga sang ibu, upaya hukum untuk menjerat ayah Sekar pun mereka lakukan. Namun, ibu Sekar tidak bisa menetap lama di Jakarta dan mendampingi anaknya yang mengalami trauma karena telah memiliki keluarga baru di kampung. Karenanya, ibu Sekar meminta bantuan LBH Apik untuk mendampingi anaknya dalam menyelesaikan kasus perkosaan tersebut.
Siti Mazuma, Direktur LBH Apik, bercerita soal kasus Sekar.“Ibu Sekar sering memarahinya dan mengatakan bahwa Sekar tidak akan laku karena pernah diperkosa. Ia juga secepatnya akan mencarikan suami untuk Sekar,” katanya.
Sementara kasus hukum perkosaan Sekar berjalan, perempuan itu ditempatkan di shelter anak milik pemerintah agar ia tidak mengalami kekerasan lagi. Saat Sekar ditampung di sana, Zuma mengatakan bahwa penyintas ini masih tampak ceria, tetapi ia berulang kali mengompol. Berbeda dengan sebagian penyintas perkosaan lainnya, gejala trauma Sekar terlihat dari perilakunya yang cenderung hiperaktif secara seksual. Pada saat menangani kasus Sekar, pihak LBH Apik juga bekerja sama dengan psikolog untuk memulihkan kondisi mentalnya.
Beberapa saat setelah tinggal di shelter tersebut, Sekar sempat kabur dari sana sehingga pihak LBH Apik memindahkan dia ke rumah aman salah milik salah satu LSM di Jakarta. Tidak semua penyintas merasa lebih aman dan nyaman dengan menjalani proses pemulihan di rumah aman. Sekar justru kerap meminta pulang ke tempat ibunya. Keinginannya untuk cepat-cepat keluar dari rumah aman diekori alasannya hendak mencari kerja dan pengaruh teman-teman Sekar yang mendorongnya lekas pergi dari sana.
Sekar pun akhirnya dijemput sang ibu yang sudah merancang pernikahan untuk anaknya, setelah pengadilan menjatuhkan hukuman bagi mantan suaminya. Setali tiga uang dengan pendapat Ella, Zuma pun menyatakan bahwa pilihan menikahkan penyintas perkosaan, terlebih yang masih muda, bukanlah pilihan bijaksana.
“Menurutku, Sekar menyetujui rencana ibunya [untuk dinikahkan] hanyalah cara anak ini melepaskan diri dari ibunya. Enggak ada jalan keluar lain. Dengan perilaku menyalahkan atau victim blaming semacam itu, Sekar tentu tidak betah tinggal bersama sang Ibu.”
Tidak semua penyintas perkosaan terlihat murung, tidak punya semangat hidup, atau histeris tak menentu. Mereka pada akhirnya bisa saja terlihat beraktivitas tak jauh beda dengan orang-orang yang tidak punya trauma mendalam. Tetapi di kemudian hari, tidak tertutup kemungkinan ingatan akan tragedi yang menimpanya muncul-hilang dan kian parah jika mereka gagal menemukan dukungan sosial dari sekitarnya.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani