Menuju konten utama

Tebal Muka Mempertahankan UU Cipta Kerja

Putusan MK soal UU Cipta Kerja tak juga mengendurkan semangat pemerintah mengakomodasi kepentingan investor dibanding masyarakat luas.

Tebal Muka Mempertahankan UU Cipta Kerja
Kendaraan melintas di dekat mural Omnibus Law di Jalan Ciledug Raya, Jakarta, Jumat (30/10/2020). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/pras.

tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan: Undang Undang Cipta Kerja masuk dalam jenis aturan inkonstitusional bersyarat dalam sidang yang digelar Kamis (25/11/2021) siang. Disebut demikian karena para hakim menilai peraturan tersebut cacat secara formil (bermasalah secara administratif/tata cara pembuatannya), namun akan menjadi konstitusional apabila syarat yang ditetapkan dipenuhi. MK meminta perbaikan selesai dalam waktu dua tahun.

Dalam pertimbangannya, perbaikan ini perlu dilakukan karena MK menganggap metode yang dipakai untuk merancang peraturan, omnibus law, tergolong baru dan tidak diatur oleh hukum Indonesia. Kedua, karena pembuatan UU Cipta Kerja dianggap tidak melibatkan partisipasi publik.

Perwakilan buruh, salah satu kelompok masyarakat yang paling terdampak sebab peraturan ini banyak mengatur soal ketenagakerjaan, memang sempat diundang untuk membahas UU Cipta Kerja, tapi mereka memutuskan walkout. Mayoritas hakim berpandangan aksi ini adalah bentuk absennya partisipasi publik, kendati ada dissenting opinion dari hakim lain.

Selain itu, rancangan UU Cipta Kerja juga tidak terbuka dan bisa diakses publik. Naskah yang beredar tidak jelas dan terus berubah-ubah hingga menjelang disahkan oleh pemerintah dan DPR. Ini membuat publik, termasuk pekerja, tidak bisa mencermati dan mengkritisi isinya.

Dengan keputusan ini, berakhir sudah perjalanan panjang untuk menghentikan UU Cipta Kerja.

Dahulu Presiden Joko Widodo sempat gembar-gembor bahwa UU Cipta Kerja bukan hanya dibuat untuk para investor, tapi juga angkatan kerja. Kenyataannya, sejak mulai dirancang, banyak kelompok buruh yang menentang karena dianggap merugikan.

Kini, “pekerja” bahkan hilang dari pernyataan Jokowi. “Saya pastikan kepada pelaku usaha dan para investor bahwa investasi yang telah dilakukan, serta investasi yang sedang dan akan berproses, tetap aman dan terjamin,” kata Jokowi melalui Twitter, Senin (29/11/2021).

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu meyakinkan investor dan pengusaha kecil dan menengah untuk tidak khawatir karena bagaimanapun UU Cipta Kerja akan terus berjalan seperti sebelumnya. “Kepastian hukum dan dukungan pemerintah untuk kemudahan investasi dan berusaha akan terus saya pimpin dan pastikan.”

Menghindari Partisipasi

UU Cipta Kerja telah dihantam kritik dari kiri-kanan bahkan sejak masih dalam bentuk rancangan. Argumen inti penolakan adalah bahwa ia tak berpihak kepada pekerja, tapi segelintir elite. Hal ini misalnya dikatakan Asfinawati, saat masih menjabat Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

“Sah, Jokowi presiden yang mengembalikan oligarki ke posisi sentral di Indonesia. Dan ini juga instrumen utama kembalinya otoritarian ke Indonesia,” kata Asfin.

Sementara Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menitikberatkan pada sangat minimnya partisipasi publik, baik ketika masih di tangan pemerintah atau setelah dilimpahkan ke legislatif. Tiga indikasi yang digunakan adalah: dibahas pada masa reses dan di luar jam kerja; kemudian naskah tidak dapat diakses masyarakat; dan terakhir absennya mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak dalam pengesahan peraturan.

“Proses legislasi dilakukan secara tergesa dan abai untuk menghadirkan ruang demokrasi,” catat mereka. “Makna partisipasi tidak dapat dirasakan karena masyarakat tidak diberikan informasi yang cukup terkait dengan substansi RUU yang sedang dibahas dan catatan-catatan atau risalah rapat sebelumnya, sehingga sulit untuk dapat memantau rapat dengan baik.”

Kecenderungan tak menyerap aspirasi publik dengan baik sesungguhnya tidak hanya dalam kasus UU Cipta Kerja. Joko Riskiyono dalam artikel “Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Perundang-undangan Untuk Mewujudkan Kesejahteraan” (2015) mengatakan meski sudah ada Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, aspirasi masyarakat masih dipandang sebelah mata. Aturan hukum di atas seharusnya memberi jalan bagi keterlibatan masyarakat. Namun dalam praktiknya “hanya menjadi formalitas guna memenuhi prosedur pembentukan undang-undang.”

Joko adalah tenaga ahli di DPR dan karena itu pandangannya pasti berdasarkan apa yang ia lihat dan amati sehari-hari.

Dalam artikel lain berjudul Pengaruh Partisipasi Publik Dalam Pembentukan Undang-undang: Telaah atas Pembentukan Undang-Undang Penyelenggara Pemilu (2016, PDF), Joko mencatat partisipasi masyarakat dalam pembuatan UU adalah salah satu wujud pemerintahan yang baik. Namun, sekali lagi, sering kali partisipasi itu sekadar untuk memenuhi syarat tahap pembuatan atau menunjukkan maksud baik.

Joko mengutip omongan anggota DPR periode 2009-2014, Ahmad Yani, bahwa “pelibatan partisipasi masyarakat di dalam pembentukan peraturan perundang-undangan terkesan hanya formalitas belaka.”

Menurutnya mengapa hal itu terjadi tak lain karena DPR “tentu memiliki kepentingan” yang tentu saja bukan kepentingan kita, masyarakat. “Partisipasi didominasi kepentingan politik dari partai politik atau golongannya,” katanya. Dan kepentingan partai atau golongan bertolak belakang dengan kepentingan publik. Berdasarkan temuan Marepus Corner, setidaknya 318 atau setara dengan 55 persen anggota DPR 2019-2024 berasal dari kalangan pengusaha.

Ketika akhirnya ketentuan menyerap aspirasi diabaikan atau direkayasa, aturan hukum yang disusun oleh elite-elite penguasa ini tetap berjalan. Paling banter, mereka meminta para penolak peraturan membawa perkara ke MK. Hal ini juga dinyatakan Jokowi Oktober tahun lalu, ditujukan kepada para oposan UU Cipta Kerja.

Infografik Pebahasan Omnibus Law

Infografik Pebahasan Omnibus Law. tirto.id/Quita

Perbaikan Sia-Sia?

MK mengharuskan perbaikan UU Cipta Kerja dilakukan dalam waktu selambat-lambatnya dua tahun. Artinya kira-kira harus selesai pada Desember 2023. Ketika itu masa jabatan DPR dan Jokowi hampir berakhir.

Para pengamat hukum tata negara menilai berkat keputusan MK semestinya UU Cipta Kerja tak berlaku sementara. Namun penilaian ini disanggah oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD beberapa hari lalu. “Kata MK tetap berlaku,” katanya.

Mengikuti keyakinan pemerintah, maka dalam jangka waktu dua tahun itu bukan tidak mungkin dampak buruk UU Cipta Kerja bisa lebih luas lagi.

Hanya satu tahun setelah disahkan saja Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat banyak potensi kerusakan lingkungan yang disebabkan aturan tersebut. Misalnya soal analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang persyaratannya menjadi lebih mudah, kemudian rencana pemerintah untuk tetap meneruskan proyek PLTU batu bara hingga 35 gigawatt di 2021.

“UU ini malah lebih tepat dikategorikan sebagai peraturan yang malah mengakselerasi kerusakan lingkungan dan mempercepat Indonesia pada lubang krisis iklim yang lebih dalam. UU yang berkonsekuensi menaruh rakyat di bawah bayang ancaman bencana ekologis dan kehilangan ruang hidupnya,” catat Walhi.

Di ranah ketenagakerjaan, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah memastikan kenaikan upah terbaru yang berdasarkan UU Cipta Kerja tetap berlaku, yaitu rata-rata secara nasional hanya 1 koma sekian persen. Bagi para buruh angka tersebut terlampau rendah, apalagi di tengah pandemi seperti saat ini.

Dengan semua hal tersebut, tak heran permintaan memperbaiki aspek partisipasi menjadi tak jelas. Dahulu partisipasi publik dari kelompok buruh berujung walkout dan demonstrasi yang tak digubris. Begitu pula kelompok masyarakat lain. Jika dalam waktu dua tahun ke depan kita mendengar ada klaim soal partisipasi, bisa jadi itu lagi-lagi sekadar pemanis di layar kaca atau barisan pengisi risalah rapat.

Baca juga artikel terkait UU CIPTA KERJA atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino