tirto.id - Sudah lebih dari sepekan setelah UU Cipta Kerja Omnibus Law disahkan, tak ada jalan bagi publik untuk bisa mengakses draf tersebut lewat kanal-kanal resmi. UU kontroversial tersebut disahkan pada 5 Oktober, dan sudah diserahkan ke Presiden Joko Widodo 14 Oktober lalu.
Padahal, memberikan jalan lebar bagi publik untuk mengakses draf resmi bisa menjadi upaya kesimpang siuran dokumen sudah memakan banyak korban warga sipil yang ditangkap karena menyebarkan hoaks pasal-pasal Omnibus Law.
Di laman resmi DPR RI, khususnya di kanal mengenai RUU Cipta Kerja pun tak ada. Bahkan tak hanya draf, rapat-rapat pun tak lengkap. Semisal dari rapat tanggal 25 September, langsung melompat ke rapat pembahasan tingkat I DPR RI pada 3 Oktober.
Padahal, temuan Tirto menjelaskan bahwa sepanjang 26 September sampai 2 Oktober terdapat rapat-rapat penting membahas UU Cipta Kerja, yang tak pernah dirilis di laman resmi DPR RI.
Belum lagi mengenai klaim-klaim yang sempat diucapkan oleh Wakil Ketua DPR RI Fraksi Partai Golkar, Azis Syamsuddin. Ia menyebut dokumen draf setebal 812 halaman tersebut dibahas sebanyak 88 kali rapat dengar pendapat umum (RDPU) dan pertemuan dengan ragam tokoh masyarakat sebanyak 89 kali.
"Lampiran-lampiran yang berkenaan dengan Cipta Kerja ini untuk menjadi bagian yang tidak terpisahkan di dalam proses pengiriman, berkas UU Cipta Kerja ini kepada pemerintah, yang jatuh temponya pada 14 Oktober 2020," kata Azis saat konferensi pers, 13 Oktober lalu.
Ketidakterbukaan draf UU yang memantik banyak kemarahan publik itu pun akhirnya sampai merespons Komisi Informasi Pusat (KIP), yang menilai produk pembuatan legislasi ini jauh dari praktik transparan.
"Kami minta DPR dan Pemerintah membuka akses dan mempermudah publik untuk mendapatkan draf," kata Komisioner KIP Arif Kuswardono kepada wartawan Tirto, Jumat (16/10/2020) siang.
Ia mendesak agar pihak eksekutif dan legislatif harus berinisiatif untuk menambah kanal-kanal haluan informasi agar publik tak hanya mengandalkan laman resmi.
Sekretaris Jenderal DPR RI, Indra Iskandar, mengatakan pihaknya berjanji akan merilis draf resmi melalui kanal resminya jika sudah ditandatangani Presiden Jokowi dalam waktu kurang dari 30 hari.
"Akan dirilis setelah ditandatangani Presiden. Pemerintah punya waktu 30 hari untuk mempelajari," kata Indra saat dikonfirmasi wartawan Tirto, Jumat sore.
Omong Kosong Transparansi?
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK), Fajri Nursyamsi, membenarkan bahwa memang penyebarluasan draf UU yang sudah disahkan memang harus menunggu tanda tangan Presiden terlebih dahulu.
Di sisi lain, kata dia, setelah pengesahan UU pada 5 Oktober, banyak beredar draf UU yang membingungkan publik: mana draf yang asli dan mana yang palsu. Fajri menilai DPR RI tak berupaya membuat kejernihan informasi.
Hingga Azis memberikan klarifikasi pada 13 Oktober mengenai draf resmi sebanyak 812 halaman, itu pun masih dipertanyakan oleh Fajri.
"Azis bicara yang resmi 812 halaman. Tapi publik enggak pernah tahu 812 itu file yang mana? Karena kita enggak pernah dapat dari kanal resmi. Harusnya kan yang valid itu 812 halaman dan bisa di-download resmi di kanal DPR. Tapi ini enggak," kata Fajri, Jumat sore.
"Jadi yang tersebar sekarang itu hanya dari mulut ke mulut, group WhatsApp ke group WhatsApp, ini bukan resmi," tambahnya.
Menurut Fajri, secara umum praktik keterbukaan draf UU legislasi di kanal resmi DPR RI bermasalah. Kata dia, sampai saat ini tak ada satu pun UU yang sudah disahkan oleh DPR dan Pemerintah yang drafnya bisa diunduh publik.
Jika publik saat ini memegang sebuah UU, kata Fajri, kemungkinan besar itu bukan dari kanal resmi DPR RI.
"Itu seharusnya jadi evaluasi dari proses legislasi keseluruhan di Indonesia. UU lain pun enggak ada dulu-dulu. Secara umum bermasalah," katanya.
Oleh karena itu, Fajri mendesak agar DPR RI dan Pemerintah segera merilis draf UU Cipta Kerja yang resmi dan sudah disahkan, beserta puluhan risalah dokumen puluhan rapat yang diklaim Azis.
"Itu juga termasuk dokumen-dokumen rapat harus dibuka. Dan satu lagi: draf UU belum ramah difabel. Ia tidak memungkinkan untuk diakses oleh tunanetra. Pemerintah dan DPR harus menyediakan draf yang inklusif," katanya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Restu Diantina Putri