Menuju konten utama

Jokowi Perlu Buktikan Soal Tak Ada Lagi Beban di Periode Keduanya

Selain kabinet profesional, Jokowi juga bisa membuktikan pernyataannya soal memerintah tanpa beban di periode kedua dengan cara menyelesaikan kasus HAM berat di masa lalu.

Jokowi Perlu Buktikan Soal Tak Ada Lagi Beban di Periode Keduanya
Calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 01 Joko Widodo dan Ma'ruf Amin didampingi pimpinan partai yang tergabung Koalisi Indonesia Kerja memberikan keterangan kepada awak media massa usai pertemuan konsolidasi di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (18/4/2019). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra.

tirto.id - Presiden Joko Widodo menegaskan dirinya akan lebih berani mengambil risiko bila dinyatakan menang Pemilu 2019 dan kembali memimpin Indonesia untuk periode kedua. Sebab, Jokowi merasa sudah tidak memiliki beban karena tak bisa mencalonkan diri kembali untuk periode berikutnya.

“Lima tahun ke depan, mohon maaf, saya sudah enggak ada beban. Saya sudah enggak bisa nyalon lagi. Jadi apa pun yang terbaik untuk negara akan saya lakukan,” kata Jokowi saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) di Hotel Shangri-la, Jakarta, Kamis (9/5/2019).

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin mengatakan, pernyataan Jokowi soal tanpa beban dalam memberikan yang terbaik bagi negara itu harus benar-benar dibuktikan. Salah satunya dengan mewujudkan kabinet yang berasal dari kalangan profesional.

“Salah satu indikator keberanian presiden bisa juga dilihat dalam menyusun dan merealisasikan kabinet yang profesional,” kata Ujang saat dihubungi reporter Tirto, Sabtu (11/5/2019).

Namun, kata Ujang, sangat sulit bagi seorang presiden untuk tidak memasukkan orang partai politik ke dalam jajaran kabinetnya. Hal ini lantaran adanya balas jasa antara presiden terpilih dengan partai-partai politik yang mengusungnya saat kontestasi Pilpres.

“Untuk membentuk kabinet yang betul-betul profesional akan sulit. Karena banyak nama-nama menteri yang diajukan partai koalisi,” kata Ujang.

Kesulitan untuk membentuk kabinet yang benar-benar dari kalangan profesional juga sempat dirasakan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat membentuk Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II di periode kedua SBY, yaitu 2009-2014.

Di awal pembentukan kabinet, Dari 37 menteri/setingkat menteri, hanya 13 orang yang berasal dari kalangan profesional seperti Gamawan Fauzi sebagai Menteri Dalam Negeri, Chaerul Tanjung, Marty Natalegawa sebagai Menteri Luar Negeri, serta Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan.

Perombakan kabinet pun berkali-kali dilakukan SBY di periode kedua pemerintahannya ini. Perombakan dilakukan SBY, salah satunya untuk mengakomodir desakan-desakan publik agar SBY menempatkan orang-orang profesional di kabinetnya ketimbang dari partai politik.

Namun, yang terjadi SBY menempatkan kalangan-kalangan profesional itu sebagai wakil menteri, sehingga membuat jumlah kabinetnya membengkak.

Karena itu, Ujang mengingatkan Jokowi agar tak tersandera dengan pernyataannya akan memerintah tanpa beban, padahal partai-partai politik di koalisi yang mengusungnya bisa menjadi beban saat ia menjalankan pemerintahannya.

“Akan ada banyak nama-nama menteri yang diajukan partai koalisi,” kata Ujang menjelaskan.

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif baru-baru ini juga meminta agar Jokowi membentuk kabinet dari kalangan profesional, tanpa ada campur tangan partai politik. Ia mengusulkan Presiden Jokowi membentuk kabinet zaken.

Para ahli yang menjadi calon menteri boleh diusulkan oleh partai politik. Syaratnya, kata Syafii, partai tak boleh mengusulkan hanya satu nama, tetapi beberapa nama yang kemudian dipilih secara langsung oleh Jokowi.

Namun, usulan ini tak disetujui Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Wakil Ketua TKN Abdul Kadir Karding mengatakan partai politik masih dibutuhkan untuk membantu Joko Widodo dalam pemerintahannya.

Alasannya, kata politikus PKB ini, di partai politik pun ada profesional yang bisa bekerja dengan baik. Seharusnya, kata dia, Jokowi memilih siapa pun asal mempunyai kriteria yang cocok, bukan berdasar parpol dan non-parpol saja.

“Menurut saya yang baik adalah siapa saja yang dipilih Pak Jokowi, syaratnya mesti orangnya qualified, profesional, integritasnya bagus, dan loyalitasnya bagus,” kata Karding di Rumah Aspirasi, Menteng, Jakarta, Jumat (10/5/2019).

Hal senada diungkapkan Juru Bicara TKN Jokowi-Ma'ruf, Ace Hasan Syadzily. Ia mengatakan meski pemilihan menteri adalah hak prerogratif Presiden Jokowi, tapi partai politik juga memiliki peran penting sebagai pilar utama dalam memberikan dukungan bagi pemerintahan yang efektif.

“Dari kalangan politisi atau partai politik juga banyak yang memiliki kompetensi dan profesionalitas sesuai dengan bidangnya,” kata Ace.

Kasus Pelanggaran HAM Berat Masih Jadi Beban

Selain penyusunan kabinet, Jokowi juga bisa membuktikan pernyataannya soal memerintah tanpa beban dengan cara menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di masa lalu.

Komisioner Komnas HAM Chairul Anam saat ditemui di kantornya, Jumat (10/5/2019) mengatakan, periode pertama Presiden Jokowi masih belum optimal dalam penegakan HAM. Komnas HAM memang sempat bertemu Jokowi untuk membahas penanganan kasus HAM masa lalu pada 2018.

Kala itu, Jokowi berjanji untuk menyelesaikan kasus HAM masa lalu. Namun, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo tidak merespons perintah Jokowi untuk menyelesaikan kasus HAM masa lalu.

Jika memang Jokowi berkomitmen dalam penyelesaian HAM masa lalu, salah satu bentuk konkret adalah mengganti jaksa agung atau menteri yang pro dengan HAM.

“Ketika dia mendeclare enggak ada beban ke depan ini, ya selesaikan ini [pelanggaran HAM], gimana caranya, ganti jaksa agung. Pilih jaksa agung yang komitmen bela hak asasi manusia. Pilih menteri-menteri yang punya komitmen ke HAM," kata Anam.

“11 kasus macet semua, enggak bisa terus menerus jadi sejarah buruk bangsa Indonesia. Siapa pun presidennya yang bisa tuntaskan itu akan tercatat dalam tinta emas sejarah Indonesia,” kata Anam menambahkan.

Anam bahkan menantang Jokowi untuk menyelesaikan kasus HAM masa lalu di periode berikutnya. Sebab, kata Anam, banyak kasus HAM yang belum selesai seperti kasus HAM Aceh dan Papua. Kemudian, ada sejumlah kasus pelanggaran HAM yang digunakan untuk kepentingan Pemilu 2019.

Menurut Anam, hal tersebut bisa menjadi prioritas untuk diselesaikan Jokowi dalam pemerintahan periode keduanya.

“Kalau Pak Jokowi merasa peridoe berikutnya 'saya enggak ada beban politik', kami harap, korban berharap, komunitas HAM berharap prioritas utama adalah salah satunya pengungkapan kasus pelanggaran ham berat,” kata Anam.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Politik
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Abdul Aziz