tirto.id - Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol) UI Aditya Perdana mengatakan Joko Widodo akan sulit membentuk kabinet zaken. Sebabnya adalah resistensi dari partai-partai yang tergabung dalam koalisi.
"Bukan hal yang mudah menempatkan menteri dari profesional karena partai koalisi akan mengungkit peran mereka bagi kemenangan Jokowi," kata Aditya kepada reporter Tirto, Jumat (10/5/2019) siang.
Kabinet zaken adalah istilah untuk kabinet yang diisi para profesional/ahli dari non-partai. Prinsip pertama dan utama dari kabinet zaken adalah meritrokasi, atau menempatkan orang yang tepat di tempat yang tepat.
Di Indonesia, kabinet zaken pernah muncul di penghujung masa demokrasi parlementer. Kabinet Djuanda (1957-2959), misalnya, berpredikat demikian.
Aditya merespons pernyataan Ahmad Syafii Maarif yang mengusulkan agar Jokowi membentuk kabinet zaken jika terpilih lagi jadi presiden untuk periode kedua. Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ini bilang kabinet zaken bisa membuat "presiden lebih berdaulat."
"Kalau tidak, kabinet yang lalu ini menurut saya banyak bolongnya," kata bekas Ketua Umum PP Muhammadiyah ini, di Istana Kepresidenan, Kamis (9/5/2019), tanpa menjelaskan apa yang dia maksud dengan "banyak bolongnya" itu.
Sulit
Kabinet zaken memang sulit terbentuk, setidaknya jika melihat apa yang terjadi pada periode kedua Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan periode pertama Jokowi.
Pada 2009 lalu, Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyelenggarakan survei (PDF) yang dibuat untuk menjawab pertanyaan: "apa kriteria ideal menteri-menteri SBY periode kedua?" Hasilnya, lebih dari 78 persen responden (dari total 1.270 orang) ingin menteri diambil dari kalangan profesional/ahli.
Mereka yang mau menteri dari partai hanya sebanyak 4,1 persen saja.
"Publik menilai bahwa profesionalitas, kapasitas, kompetensi, dan pengalaman seseorang--terlepas dari apa pun latar belakang politik, agama, dan daerah--merupakan faktor yang lebih penting untuk dipertimbangkan menjadi menteri," kata Direktur Eksekutif LSI, Dodi Ambardi, mengutip Vivanews.
Namun toh SBY--yang menang Pilpres 2009 dengan angka 60 persen lebih--tak melakukan itu. Dari 37 menteri/setingkat menteri, hanya 13 orang yang berasal dari kalangan profesional, di antaranya Gamawan Fauzi sebagai Mendagri, Marty Natalegawa sebagai Menlu, dan Sri Mulyani selaku Menkeu.
Sisanya berasal dari partai koalisi (Demokrat, PKS, PAN, PPP, PKB). Politikus dari Golkar bahkan diakomodir (misalnya Fadel Muhammad sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan), padahal partai kuning ini mendukung Jusuf Kalla-Wiranto.
Mengenai masuknya Golkar ke kabinet, Akbar Tanjung mengindikasikan kalau partai berlambang beringin ini "memaksa". "Bila SBY merasa tidak memerlukan Golkar, maka Golkar tidak perlu memaksakan diri," kata Akbar, mengutip JPNN. Tapi toh politisi Golkar tetap dipakai, meski partai lain seperti PKS resisten.
Ini hanya satu indikasi betapa sulitnya tak mengakomodir kepentingan partai, padahal posisi SBY jelas lebih kuat dari Jokowi sekarang: purnawirawan tentara itu menang mutlak, 60 persen (padahal lawannya ada dua), dan dia adalah ketua umum partai. Beda dengan Jokowi yang suaranya lebih kecil (padahal lawannya hanya satu, Prabowo Subianto), dan dia pun bukan fungsionaris di PDIP.
Jokowi pada 2014 sebetulnya lebih maju: ada 19 orang profesional dari total 34 menteri (lebih dari 50 persen). Tapi itu pun tak berlangsung lama karena ada beberapa nama profesional yang diganti dengan kader partai.
Rachmat Gobel sebagai Menteri Perdagangan, misalnya, diganti dengan Thomas Lembong (12 Agustus 2015) dan lalu Enggartiasto Lukita (27 Juli 2016). Enggar adalah politikus Nasdem. Sementara Andi Widjajanto sebagai Setkab lantas diganti Pramono Anung yang berasal dari PDIP pada 12 Agustus 2019.
Alasan Jokowi sulit mewujudkan kabinet zaken seperti yang dikatakan Aditya juga terlihat dari pemilihan Ma'ruf Amin sebagai wakil presiden. Pemilihan Ma'ruf tak bisa dilepaskan dari desakan dari partai, terutama PKB.
Pada 8 Agustus lalu Mahfud MD pernah bilang kalau Jokowi sebetulnya lebih suka dan akan memilih dirinya sebagai cawapres. Dia telah mengumumkan itu ke publik dan bahkan telah memesan baju putih yang bakal dipakai saat deklarasi.
Namun Muhaimin Iskandar, Ketum PKB, tetap bersikeras untuk mengusulkan nama Ma'ruf Amin--setelah sadar kalau dia tak bakal jadi cawapres. Dia bahkan sempat mewacanakan pembentukan poros ketiga di luar poros Jokowi dan Prabowo. Jokowi, yang tak punya opsi lain, akhirnya memilih Ma'ruf.
Pasti Mendengar Koalisi
Hal serupa mungkin akan terulang ketika Jokowi memformulasikan nama-nama menteri. Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi, Johan Budi, mengatakan Jokowi akan mendengar seluruh masukan, termasuk dari Syafii Maarif.
Namun Johan bilang meski itu hak prerogatif presiden, suara partai pendukung, yang jumlahnya lebih banyak dari 2014 lalu, juga penting. 2014 lalu Jokowi diusung PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, dan PKPI. Sementara sekarang, yang mesti dia 'dengar' (atau diakomodir) juga termasuk Golkar, PPP, PBB, Perindo, juga PSI.
"Presiden tentu akan berdiskusi dengan banyak pihak, selain dengan wapres tentu juga dengan ketua umum partai pendukung," kata Johan kepada reporter Tirto.
Yang terakhir, Jokowi juga sulit membikin kabinet zaken karena kursi menteri adalah salah satu cara untuk merangkul oposisi. Semakin banyak partai yang bergabung ke koalisi, semakin mulus pemerintahan Jokowi lima tahun ke depan. Setidaknya PAN dan Demokrat telah memberi sinyal hendak bergabung.
"Pak Jokowi juga ingin pemerintahannya bagus [dengan cara] mengambil [politikus] dari oposisi," kata Kunto Adi, Direktur Eksekutif KedaiKOPI.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino