tirto.id - Dua politikus di lingkaran Joko Widodo membikin kontroversi. Menkopolhukam Wiranto bilang akan membentuk tim hukum nasional yang tugasnya mengkaji ucapan-tindakan tokoh-tokoh yang berpeluang mengancam keamanan negara.
Sementara Hendropriyono, bekas Kepala BIN yang juga pendukung Jokowi, meminta "WNI keturunan Arab" agar jangan jadi provokator.
Apa yang dikatakan dua politikus tersebut dikritik sejumlah aktivis pro-demokrasi. Kepala Advokasi Yayasan Bantuan Lembaga Hukum Indonesia M. Isnur mengatakan keberadaan dua tokoh itu berbahaya bagi Jokowi sendiri.
Isnur lantas mengatakan Hendropriyono dan Wiranto tak layak ada di pemerintahan, seandainya Jokowi terpilih lagi sebagai presiden untuk periode kedua.
“Kedua pejabat tersebut, dalam catatan lembaga-lembaga HAM, sejak lama diduga kuat bagian dari pelanggar HAM. Sedari awal YLBHI dan masyarakat sipil sudah memprotes ketika Jokowi mengangkat Wiranto sebagai Menkopolhukam [pada 2014],” kata Isnur kepada reporter Tirto, Selasa (7/5/2019).
Selain perkara HAM, Isnur juga bilang sebaiknya Jokowi tak membawa mereka dalam kabinet karena gaya komunikasi yang ugal-ugalan. Gaya komunikasi yang demikian terlihat lewat dua kasus yang diawal tadi disebut.
“Pernyataan-pernyataan tersebut tentu sangat tidak baik dalam membangun suasana perdamaian dan persatuan di Indonesia,” tambahnya.
Pernyataan Wiranto yang hendak membangun tim khusus dianggap tak perlu karena apa yang hendak dilakukan tim itu sebetulnya sudah diatur dalam peraturan lain, misalnya KUHP. Membikin tim baru, apalagi spesifik disebut hendak meneliti pernyataan-tindakan tokoh-tokoh tertentu yang diduga oposisi, kata Isnur, menunjukkan bahwa Wiranto berwatak Orde Baru.
“Seharusnya aparat dan pemerintah tegas dan lurus dalam penegakan hukum. Jika ada seseorang diduga melakukan tindak pidana, ya lakukan penyelidikan dan penyidikan, bawa dan tuntut ke persidangan dan baru divonis oleh hakim.”
Sementara pernyataan Hendro yang menyebut “keturunan Arab” sebagai provokator bagi Isnur sangat kental nuansa rasial, dan itu tak sesuai dengan UU 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Hal senada diungkapkan peneliti dari Setara Institute Halili Hasan, bahwa pernyataan keduanya berbahaya karena tak sesuai dengan hukum yang ada serta bernuansa SARA. Sama pula seperti Isnur, Hasan lantas meminta agar Jokowi tak meminta keduanya membantu kabinet pada 2019-2024.
“Secara sosial politik tidak menguntungkan, dan dari sisi akomodasi tidak cukup kuat karena keduanya tidak cukup berkontribusi besar bagi pemenangan Jokowi-Ma'ruf sebagai presiden dan wakil presiden,” kata Halili.
Ingin Dilihat
Pengamat politik dari UGM, Arya Budi, mengatakan yang juga penting dilihat adalah kenapa keduanya memberikan pernyataan kontroversial itu. Ini terkait dengan partai dua politikus itu, PKPI dan Hanura, yang tak lolos ambang batas parlemen setidaknya berdasarkan hasil hitung cepat sejumlah lembaga.
Posisi dua partai itu, kata Arya, membuat Jokowi tak begitu diuntungkan seandainya memasukkan para petingginya ke kabinet. Akan lebih menguntungkan bagi Jokowi untuk mengakomodasi oposisi agar pemerintahannya semakin kuat.
“Jokowi pasti akan mereduksi orang-orang yang secara politik tidak kuat karena dia harus merangkul oposisi. Menteri-menteri yang tidak kuat secara politik misalnya dari Hanura, kemudian PKPI juga. Mungkin keduanya bisa jadi masih diajak, tetapi tidak masuk kementerian,” kata Arya kepada reporter Tirto.
Dalam konteks inilah pernyataan Wiranto dan Hendropriyono bisa 'dimaklumi'. Keduanya, kata Arya, sedang melakukan manuver demi satu tujuan: agar dilihat Jokowi sebagai orang yang punya peran besar.
“Kalau saya baca Wiranto atau Hendropriyono tidak sedang berkomunikasi ke publik, tetapi sedang mengirimkan pesan ke Istana bahwa mereka punya andil dan peran terhadap ketertiban sosial politik,” pungkas Arya.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino