tirto.id - Kedewasaan berpolitik di Kota Semarang, Jawa Tengah, diuji saat ada pihak yang diduga berupaya memainkan isu berbasis suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA) dalam proses pemilihan wali kota (Pilwakot) 2024.
Penggunaan isu SARA menyasar Agustina Pramestuti Wilujeng, Calon Wali Kota Semarang yang diusung PDI Perjuangan. Agustina merupakan perempuan penganut Katolik--agama yang termasuk minoritas di Kota Semarang.
Pada masa kampanye, beredar SMS berantai atau broadcast message secara random di masyarakat. Pesan singkat itu isinya mendiskreditkan agama dan masalah pribadi Agustina.
"Calon Wali Kota Agustina, ternyata penganut Kristen Katolik, Paroki St Maria Fatima Banyumanik, memaksa murtad menantunya, tanggal 6 juli 2024 lalu," isi salah satu pesan berantai.
"Jangan serahkan Semarang pada Calon Wali Kota Agustina: Koruptor (terpidana kasus asuransi fiktif), intoleran (memaksa agama menantunya murtad), dan cacat moral (pecandu alkohol dan gemar merokok)," isi pesan lain.
Belum diketahui pasti siapa pihak yang diduga menyebarkan SMS berantai tersebut. Pengirimnya menamai diri dengan beberapa julukan: FAKTAHEBAT, INFOHEBAT, VIRALHEBAT, BERITAHEBAT.
Penggunaan isu agama dalam politik tak hanya dilakukan melalui SMS berantai. Melainkan juga dengan memanfaatkan pernyataan pemuka agama hingga fatwa ormas keagamaan.
Kontroversi Fatwa MUI
Jelang masa pencoblosan, di media sosial beredar selebaran dengan kop Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah berisi fatwa yang tedensius agar tidak memilih calon wali kota nonmuslim.
Dalam surat berjudul "FGD Komisi Fatwa MUI Jawa Tengah tentang Pilkada Serentak 2024" ini, pada poin pertama menyatakan: "Memilih dalam pemilihan umum adalah hak konstitusional. Demikian juga menggunakan hak pilih berdasarkan kecenderungan agama, suku, dan kelompok".
Poin keduanya tertulis: "Umat Islam wajib memilih calon pemimpin yang seakidah, amanah, jujur, terpercaya serta memperjuangkan kepentingan dan syiar Islam".
Bahkan pada poin ketiga ditegaskan soal keharaman tak memilih: "Memilih pemimpin yang tidak seakidah atau sengaja tidak memilih padahal ada calon yang seakidah, hukumnya haram".
Surat yang diterbitkan Sabtu (23/11/2024) tersebut ditandatangani empat orang petinggi MUI Jawa Tengah, salah satunya Dr KH Fadlolan Musyaffa’, Lc, MA., selaku Ketua Komisi Fatwa di ormas tersebut.
Jika ditelusuri, Fadlolan Musyaffa’ memiliki kedekatan dengan pasangan Calon Wali Kota Semarang nomor urut 02, Yoyok Sukawi-Joko Santoso. Ia pernah mengikuti deklarasi mendukung Yoyok-Joko di Hotel Pandanaran Semarang, Sabtu (16/11/2024).
Fatwa MUI Jawa Tengah itu pun dikrtik banyak pihak. Pengasuh Pondok Pesantren Asshodiqiyah Semarang, KH Shodiq Hamzah menilai fatwa larangan memilih calon pemimpin nonmuslim bernuansa politis.
Kiai Shodiq menyayangan sikap MUI Jawa Tengah mengeluarkan fatwa yang memicu perpecahan masyarakat Kota Semarang. Apalagi fatwa dikeluarkan jelang masa pencoblosan.
"MUI itu melampaui kewenanagan, malah berperan sebagai partai politik," tuturnya pada Minggu (24/11/2024).
Menurut dia, negara Indonesia berasaskan Pancasila. Sehingga tidak patut ada fatwa atau opini keagamaan yang mengintervensi pemilihan calon pemimpin pemerintahan.
"Jangan membuat fatwa yang mengharam-haramkan. Indonesia bukan negara agama, tapi negara Pancasila," ujarnya.
Kiai Shodiq kemudian mengajak umat untuk menolak fatwa MUI Jawa Tengah tersebut. "Jadi kita harus menolak fatwa MUI yang seperti itu karena tidak ada kemaslahatan. Masyarakat jangan terpaku dengan fatwa itu karena kita hidup di negara Pancasila," imbuhnya.
Kritik serupa dinyatakan Sekjen Asosiasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Seluruh Indonesia, KH Taslim Syahlan. Ia menilai fatwa itu tidak adil dan justru akan memecah belah umat.
“MUI tidak lagi bisa jadi pengayom umat, fatwanya ini sangat memecah belah umat," ujar KH Taslim, Minggu (24/11/2024).
Secara khusus, FKUB Jawa Tengah mengeluarkan surat pernyataan resmi sebagai respons fatwa MUI Jawa Tengah yang terbit pada momen pilkada serentak di Kota Semarang.
FKUB berpesan kepada masyarakat Jawa Tengah untuk mendukung terlaksananya pilkada dengan aman dan bermartabat. Gunakan hak konstitusional demi mewujudkan kondisi kondusif di Jawa Tengah.
Kepada semua tokoh tokoh agama, FKUB mengimbau agar menjaga kerukunan dan toleransi dalam pelaksanaan pilkada serentak. Caranya dengan tidak melibatkan tempat ibadah, simbol-simbol, dan opini keagamaan.
Usai diprotes banyak pihak, MUI Jawa Tengah akhirnya mencabut keabsahan fatwa tersebut dan meminta umat tidak mempersoalkan lagi.
"Sudah kita minta cabut, tidak perlu dipersoalkan lagi," kata Ketua MUI Jawa Tengah, KH Ahmad Darodji saat dikonfirmasi wartawan pada Senin (25/11/2024).
Kiai Daroji menyatakan, sejatinya MUI Jawa Tengah tidak pernah mengeluarkan fatwa resmi soal ajakan memilih calon kepala daerah yang seiman (Islam).
Edaran fatwa tersebut ternyata hasil dari Forum Grup Discussion (FGD) yang digelar di Pondok Pesantren Fadhlul Fadhlan Semarang, pesantren milik Fadlolan Musyaffa’--tokoh agama yang memiliki afiliasi politik dengan paslon Yoyok-Joko.
Kedewasaan Politik Diuji
Kedewasaan politik masyarakat diuji dengan santernya narasi bernada SARA untuk menjatuhkan lawan politik yang notabene memiliki latar belakang dobel minoritas: calon pemimpin perempuan sekaligus beragama Katolik.
Pengamat politik UIN Walisongo Semarang, Dr M Kholidul Adib mengakui, salah satu topik yang ramai dibicarakan di Pilwakot Semarang adalah agama yang dianut Calon Wali Kota Agustina Wilujeng.
Meski demikian, Adib menilai, isu agama tidak terlalu dominan dalam Pilwalkot Semarang 2024 sebagaimana hasil survei Y-Publica yang dirilis Senin (16/9/2024).
Menurut survei itu, sebanyak 59 persen responden menyatakan tidak mempersoalkan agama kandidat, sedangkan 41 persen masih memandang agama sebagai pertimbangan memilih calon pemimpin.
Hasil survei ini menunjukkan bahwa pemilih Kota Semarang terbagi dalam dua segmentasi, yaitu nasionalis dan religius.
Adib berpedapat, memilih kandidat atas dasar kesamaan agama adalah hak warga negara, tetapi menjadikan agama sebagai faktor utama tentu tidak baik bagi pengembangan demokrasi.
Ia mendorong agar pemilih lebih fokus pada isu populis seperti visi-misi, program kerja, rekam jejak, dan kepribadian kandidat.
Masa pemungutan suara pilkada serentak dilangsungkan pada Rabu (27/11/2024). Rekapitulasi sementara perolehan suara kedua calon wali kota Semarang sudah keluar.
Dan, pasangan Agustina-Iswar yang kerap jadi objek serangan SARA justru unggul dari rival politiknya.
Berdasarkan hasil hitung cepat versi Desk Pilwakot milik Pemerintah Kota Semarang, perolehan suara Agustina-Iswar mencapai 57,36 persen, sedangkan Yoyok-Joko Santoso meraih suara 42,64 persen.
Hitung cepat menurut https://data-pemilu.pages.dev/ yang telah menginventarisir 99,73 persen data TPS per Jumat (29/11/2024), juga menunjukkan hasil serupa.
Pasangan calon nomor urut 01 Agustina-Iswar memperoleh 482.532 suara atau 57,18 persen. Adapun pasangan nomor urut 02 mendapat 361.296 suara atau 42,82 persen.
Jangan Terulang
Meski dirundung isu SARA bertubi-tubi, Calon Wali Kota Semarang Agustina-Iswar suaranya tetap unggul menurut hasil hitung cepat. Ternyata masyarakat tidak terlalu terpengaruh degan provokasi berbasis agama.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Saurlin P Siagan mengapresiasi kedewasaan politik dan berdemokrasi masyarakat di Ibu Kota Jawa Tengah.
"Saya kira ini memberikan pembelajaran ternyata masyarakat Semarang cukup dewasa, ketika diserang isu yang menyudutkan, ternyata nggak mempan di sini," ucap Saurlin di Kota Semarang, Jumat (29/11/2024).
Dia mengungkap, penggunaan isu SARA di Kota Semarang menjadi temuan Komnas HAM pada Pilkada Serentak 2024. Saurlin juga mendapat laporan bahwa kasus ini tengah diusut Bawaslu.
"Pengusutan oleh Bawaslu belum selesai. Tentunya kami menunggu rekomendasi dari Bawaslu, setelah itu baru kita lihat apa yang mungkin bisa kita lakukan," kata Saurlin.
Pada dasarnya, Komnas HAM fokus mendorong peran negara dalam memfasilitasi perlindungan hak asasi masyarakat, khususnya hak untuk memilih bisa berlangsung secara fair.
Secara umum, Saurlin menilai cara berpolitik masyarakat Kota Semarang bisa menjadi contoh untuk daerah lain di Indonesia. Bahwa ternyata isu agama yang beredar tidak berdampak signifikan terhadap pilihan politik.
Meskipun begitu, Komnas HAM tetap tidak memperkenankan penggunaan cara-cara yang mendiskreditkan kandidat pemimpin berdasarkan SARA. Praktik semacam itu harus ditinggalkan dan jangan sampai terulang.
Penulis: Baihaqi Annizar
Editor: Fahreza Rizky