tirto.id - Palagan Pilkada Jawa Tengah (Jateng) disesaki kehadiran tokoh-tokoh politik nasional yang turun langsung mendukung jagoan mereka. Seperti dukungan presiden Prabowo Subianto yang terang-terangan mengajak warga memilih pasangan calon (paslon) Ahmad Luthfi dan Taj Yasin Maimoen. Paslon nomor urut 2 itu juga didukung oleh Joko Widodo (Jokowi) yang sempat menemani mereka berkeliling kampanye di Purwokerto dan Blora akhir pekan lalu.
Jokowi terlihat menaiki mobil jip putih bersama Luthfi-Taj Yasin. Ketiganya juga membagikan kaos kepada warga yang datang langsung menyaksikan kampanye. Namun Jokowi tidak memberi alasan mendukung pasangan Luthfi- Taj Yasin saat ditanya oleh awak media.
"Ya semua orang tahu lah, tidak perlu saya ceritakan. Yang jelas pemimpin, baik nasional maupun daerah, harus memiliki visi yang jelas untuk daerahnya maupun negaranya, harus," kata Presiden RI ke-7 tersebut di Purwokerto, Sabtu (16/11/2024).
Jokowi menanggapi keikutsertaan Presiden Prabowo mendukung Luthfi-Taj Yasin sebagai sikap yang sah-sah saja. Ia menyinggung Pasal 299 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak untuk berkampanye.
"Kita tahu Pak Prabowo itu Ketua Umum Partai Gerindra, beliau yang merekomendasikan calon-calon yang ada di daerah-daerah. Jadi, kalau beliau berkampanye, saya kira sah-sah saja,” sambung Jokowi.
Selain dukungan dari politisi nasional kawakan, Luthfi-Taj Yasin juga menggandeng pesohor. Saat kampanye akbar di Solo, Minggu (17/11/2024), sejumlah artis ikut meramaikan agenda ini. Mereka adalah Raffi Ahmad, Gading Marten, Celine Evangelista, Ria Ricis, Inara Rusli, dan Harris Virza.
Luthfi-Taj Yasin memang didukung oleh koalisi besar KIM Plus. Gerbong parpol KIM adalah pengusung Prabowo-Gibran Rakabuming Raka di Pilpres 2024 lalu. Selain didukung politisi kawakan nasional, pasangan Luthfi-Taj Yasin juga didukung oleh tokoh politisi Jateng seperti Yusuf Chudlori. Ketua DPW PKB Jateng itu rajin mempromosikan Luthfi-Taj Yasin ke ceruk kelompok santri dan Kiai.
Di sisi lain, rival mereka, Andika Perkasa-Hendrar Prihadi (Hendi), bukan berarti sepi dari dukungan tokoh-tokoh politisi nasional. Paslon nomor urut 1 yang cuma diusung oleh PDIP ini, jelas mendapatkan dorongan langsung dari Megawati Soekarnoputri. Presiden ke-5 RI sekaligus Ketua Umum PDIP ini bahkan sempat turun langsung ke Jateng untuk memimpin konsolidasi kemenangan Andika-Hendi. Megawati bahkan terdaftar resmi sebagai salah satu Juru Kampanye pasangan ini.
Tim Pemenangan Andika-Hendi dipimpin oleh adik Presiden Republik Indonesia ke-4 Gus Dur, Umar Wahid Hasyim atau Gus Umar Wahid. Ketua DPP PDIP sekaligus Ketua DPR RI Puan Maharani dan eks Gubernur Jateng yang juga anggota pimpinan pusat PDIP, Ganjar Pranowo, termasuk di dalam jajaran juru kampanye Andika-Hendi.
Gelimang tokoh-tokoh nasional di Pilkada Jateng menunjukkan betapa pentingnya potensi elektoral di daerah ini. Perebutan suara memaksa mantan presiden ikut turun gunung. Hal ini juga membuat atmosfer pertarungan Pilkada Jateng terasa seperti politik level nasional.
Sayangnya, fenomena ini berpotensi membuat fokus Pilkada Jateng sebatas pamer “beking” kedua paslon. Terlebih, pendekatan populis seperti bagi-bagi kaos dan seremonial sowanan masih menjadi pendekatan yang rajin dilakukan. Imbasnya, pemilih tampak sengaja digiring memilih kandidat hanya berdasarkan endorsement dari para tokoh di belakang paslon.
Manajer Riset dan Program dari The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Arfianto Purbolaksono, menilai endorsement dari tokoh elite nasional di Pilkada Jateng akhirnya dapat mengaburkan tawaran paslon dalam bentuk visi-misi dan program kerja. Hal lain yang berpotensi dilupakan masyarakat adalah ketelitian dalam menilai rekam jejak.
“Jadi malah orang tersedotnya dengan endorsement yang dilakukan oleh pendukung para paslon. Seharusnya sejatinya paslon dan juga tim suksesnya itu lebih banyak berkampanye untuk mengkampanyekan dari visi-misi dan program yang ditawarkan,” kata Anto kepada reporter Tirto, Senin (18/11/2024).
Ia juga melihat media massa akhirnya cenderung berfokus kepada gimik endorsement atau testimoni elite nasional terhadap paslon Pilkada Jateng. Ini amat disayangkan sebab warga tidak mendapatkan informasi mendalam tentang program kerja yang berdampak pada nasib mereka.
Politik endorsement memang menjadi praktik yang lumrah terjadi dalam pemilu terbuka. Hal ini sebab paslon masih mengandalkan dukungan para tokoh nasional untuk mendapatkan efek ekor jas dan popularitas. Biasanya, kata Anto, tokoh yang dipilih memang punya basis massa di segmentasi tertentu.
“Yang memang sudah terkenal misalnya, seperti para mantan presiden turun langsung. Dan diharapkan dengan turunnya tokoh-tokoh tersebut dapat menggaet suara,” ucap Anto.
Maka, politik endorsement muncul karena tokoh-tokoh nasional ini dipercaya dapat meraup suara masyarakat untuk memilih paslon. Namun, kata Anto, getolnya praktik endorsement juga mencerminkan bahwa popularitas paslon memang tidak begitu besar di masyarakat.
“Paslon itu seharusnya sudah dikenal [rakyat], artinya dia memiliki popularitas dan juga track record yang cukup mumpuni, seharusnya dia tidak harus membutuhkan endorsement,” ujar Anto.
Peneliti dari Perludem, Usep Hasan Sadikin, memandang politik endorsement memang tidak hanya praktik yang khas Indonesia. Di Amerika Serikat, kata dia, praktik ini lazim ditemukan saat para elite dan tokoh ternama mendukung kandidat pemilihan eksekutif tertentu. Seperti dukungan pebisnis terkemuka Elon Musk terhadap Presiden AS terpilih, Donald Trump.
Dalam konteks Indonesia, praktik endorsement terjadi karena metode pemilihan eksekutif di tingkat nasional dan daerah memakai sistem pemilu terbuka. Alhasil, personalitas individual kandidat akan menjadi sorotan pertama yang menjadi pertimbangan pemilih. Seperti Pilkada yang membuat relasi ideologis dengan parpol pengusung tidak sebesar pertimbangan faktor ketokohan. Itulah mengapa relasi paslon dengan tokoh nasional secara personal juga kerap menjadi strategi yang ditampilkan kepada publik.
“Maka yang dipertimbangkan adalah emosional dan sentimentil pemilih, bukan dari visi-misi atau parpol. Karena langsung fokusnya kepada individu paslon,” ucap Usep kepada reporter Tirto, Senin.
Politik endorsement memang lebih dirasa berefek emosional terhadap pemilih. Namun, pada akhirnya masyarakat sebatas disajikan gimik dan testimoni dari tokoh elite nasional. Tentu testimoni terhadap para paslon juga sudah diberikan bumbu-bumbu pemanis.
Usep menilai seharusnya paslon Pilkada Jateng fokus menyasar kebutuhan daerah. Praktik endorsement mengaburkan kepentingan daerah dan mendahulukan kebutuhan menggaet dukungan dari para tokoh-tokoh nasional. Akhirnya, kepentingan masyarakat Jateng tidak diutamakan.
“Paslon seharusnya menyerap aspirasi basis-basis pemilih. Seperti petani, nelayan, buruh, pemuda. Simpul ini harus didekati paslon dan dilihat apakah terhubung dengan visi-misinya paslon,” ujar Usep.
Sebuah Ironi
Lembaga Survei Indikator Politik merilis survei terbaru terkait elektabilitas paslon di Pilgub Jateng 2024. Hasilnya calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Tengah, Luthfi-Taj Yasin, unggul tipis dibandingkan Andika-Hendi. Survei yang dilakukan pada 7-13 November 2024 ini mendapati elektabilitas Luthfi-Taj Yasin sebesar 47,19 persen. Sementara Andika-Hendi meraup elektabilitas 43,46 persen. Responden yang tak menjawab atau belum menentukan pilihan ada sebesar 9,35 persen.
Peneliti Utama Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, menilai hasil survei teranyar menandakan persaingan yang sangat ketat di palagan Pilgub Jateng. Burhanuddin tidak dapat menyimpulkan apakah keunggulan Luthfi-Taj Yasin dipengaruhi oleh dukungan yang dilakukan Presiden Prabowo Subianto dan Presiden ke-7, Joko Widodo.
Pasalnya, survei dilakukan sebelum Jokowi ikut kampanye dan sebelum ajakan Prabowo mendukung Luthfi-Taj Yasin dinyatakan secara terang-terangan lewat video. Namun, Burhanuddin tak menampik atmosfer pertarungan Pilgub Jateng begitu mirip seperti Pilpres. Sejumlah king and queen maker turun gunung menggenjot elektabilitas jagoan mereka.
"Saya sebut pilpres, karena Bu Mega turun gunung untuk menyosialisasikan Andika di Jateng, beberapa kali beliau datang ke Jateng," ungkap dia dalam pemaparan survei yang ditayangkan di akun YouTube Indikator Politik, Minggu (17/11/2024).
Di sisi lain, hasil survei dari SMRC justru mendapati keunggulan Andika-Hendi dibandingkan Luthfi-Taj Yasin. Dalam survei tersebut, Andika-Hendi meraih 50,4 persen dan Luthfi-Yasin sebesar 47 persen. Sebanyak 2,6 persen responden belum menentukan pilihan. Jarak tipis kedua paslon itu hanya sebesar 3,4 persen saja.
Analis Sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, memandang potensi distraksi fokus publik karena praktik politik endorsement sangat besar. Perang endorse antara Megawati, Jokowi, hingga Prabowo berpotensi kuat membuat publik tidak berfokus pada kualitas paslon, melainkan lebih melihat dukungan tokoh di baliknya.
Menurut Musfi, ada dua kategori utama kelompok pemilih: yakni pemilih rasional dan pemilih emosional. Di Indonesia, pemilih masih didominasi oleh pemilih emosional. Mereka memilih karena faktor kesukaan atau berbasis idola. Realitas pemilih ini juga menjadi indikator atas besarnya ketimpangan pendidikan di Indonesia.
Kualitas pendidikan, kata Musfi, berbanding lurus dengan bertambahnya pemilih rasional. Dengan mayoritas pemilih emosional, menandakan pendidikan masyarakat di daerah, belum cukup bagus untuk membuat masyarakat berpikir secara rasional.
“Saat ini pertarungan di Jawa Tengah didominasi oleh kampanye negatif dan kampanye hitam. Kedua tim paslon tidak berlomba tarung gagasan dan solusi, melainkan saling menjatuhkan,” ungkap Musfi.
Sementara itu, Analis politik Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, melihat pilkada Jateng sangat ketat, sehingga kandidat tidak segan bertarung secara total. Hal ini ditandai dengan gelimang tokoh nasional yang turun gunung di Jateng. Paslon menyadari kekuatan mereka saja belum cukup untuk menang, sehingga tidak bisa turun tangan sendiri.
Dedi menilai, paslon harus lebih meyakinkan pemilih bahwa mereka layak karena kualitas. Sikap ini perlu terus diperjuangkan di tengah situasi pemilih yang dilematis. Pasalnya, masih banyak kelompok pemilih yang tidak peduli dengan gagasan paslon.
“Lebih banyak memilih karena aspek kepantasan, kesukaan, hingga popularitas,” kata Dedi kepada reporter Tirto, Senin.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fahreza Rizky