tirto.id - Anak guru ini memilih sekolah gratis di Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang, tak jauh dari kota kelahirannya, Yogyakarta. Tamat dari sana, ia dilantik menjadi perwira TNI-AD dengan pangkat letnan dua pada 1968. Setelahnya, dia dikirim ke Sulawesi Utara.
Di provinsi yang berbatasan laut dengan Filipina itu, Wiranto mengawali penugasannya di Kodam XIII/Merdeka, di Batalyon 713 dan 712. Dia mengalami masa-masa menjadi komandan peleton, komandan kompi, hingga wakil komandan batalyon. Sampai pangkatnya kapten, dia masih di Kodam Merdeka dan pada 1982 akhirnya jadi Komandan Batalyon 712. Dia kemudian ditempatkan di Pusat Kesenjataan Infanteri Bandung. Setelahnya, dia kembali ke pasukan.
Tentang kariernya sebagai perwira menengah, buku Bersaksi Di Tengah Badai (2003) mencatat, “Wiranto kemudian kembali memasuki kesatuan Kostrad sebagai Kepala Staf Brigade IX di Jawa Timur pada 1985. Kemudian masih di lingkungan baret hijau, dia dipindahkan ke Jakarta sebagai Wakil Asisten Operasi Kepala Staf Kostrad pada 1987. Kemudian dipindahkan lagi ke Jawa Timur sebagai Asisten Operasi Divisi II Kostrad” (hlm. xxiii).
Setelah itu kariernya kian moncer. Pada 1989, ketika berpangkat kolonel, Wiranto menjadi ajudan Presiden Soeharto. Posisi ini diemban hingga 1993.
Karier Wiranto kemudian mirip Try Sutrisno. Setelah tak jadi ajudan presiden, dia ditunjuk sebagai Kepala Staf Kodam Jakarta Raya. Jabatan ini hanya setahun dipegang, seperti Try Sutrisno. Kemudian dia menjadi Panglima Kodam Jaya, yang membawahi militer di seluruh Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya. Wiranto mengisi jabatan itu dari 1994 hingga 1996.
Setelah jadi Panglima Kodam, Wiranto tak seperti Try Sutrisno. Jika Try Sutrisno menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad), maka pada 1996, Wiranto jadi Panglima Kostrad terlebih dahulu.
Kariernya terus melesat cepat. Setelah setahun jadi Pangkostrad, seperti ditulis dalam Bersaksi Di Tengah Badai (hlm. xxiv), pada 1997, Wiranto naik bintang jadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Ketika masih jadi KSAD, hasil sidang Dewan Jabatan dan Karir (Wanjakti) di Mabes ABRI menyebut jika Prabowo tak jadi Danjen Kopassus lagi, maka Brigadir Jenderal Sang Nyoman Suwisma adalah penggantinya. Namun, Suwisma tak pernah jadi Danjen Kopassus.
“Mayor Jenderal Prabowo langsung menghadap Pak Harto untuk memberikan masukan lain mengenai calon Danjen Kopassus. Menurutnya Brigadir Jenderal Suwisma tidak tepat karena beragama beda dengan mayoritas prajurit Kopassus,” aku Wiranto (hlm. 27).
Orang yang diusulkan secara pribadi oleh Prabowo adalah Mayor Jenderal Muchdi Purwoprandjono. Wiranto kecewa, meski tak bisa mutung. Dia tahu betapa besarnya kuasa Soeharto.
Belum juga setahun, Jenderal Wiranto, yang sudah tiga dekade berkarier di dunia militer, naik jabatan lagi. Dari KSAD, Wiranto dijadikan Panglima ABRI. Kala itu, Panglima ABRI selalu dijabat perwira tinggi Angkatan Darat. Wiranto mengisi jabatan itu ketika kondisi ekonomi Indonesia hancur.
“Pada 16 Februari 1998, saya mendapat kepercayaan dari Negara sebagai Panglima ABRI. Sebulan kemudian saya masuk dalam kabinet sebagai Menhankam (Menteri Pertahanan Keamanan) menggantikan senior saya, Jenderal (Purnawirawan) Edy Sudradjat,” tutur Wiranto dalam Bersaksi Di Tengah Badai (hlm. 4), yang merupakan autobiografinya.
Banyak orang punya prasangka jabatan itu diraihnya karena pernah jadi ajudan daripada Soeharto dan punya kedekatan personal dengannya.
Menghadapi Gelombang Reformasi
Kacaunya ekonomi menimbulkan kegelisahan masyarakat. Muncul pula tuntutan mundurnya Soeharto. Kemudian muncul berita-berita soal penculikan aktivis anti-Soeharto yang mulai terjadi di masa awal Wiranto menjabat Panglima ABRI. Terkait penculikan itu, Wiranto mengaku memerintahkan kepada jajaran ABRI untuk menemukan korban penculikan dan menindak pelakunya.
Tak lupa Wiranto minta penjelasan kepada mantan Komandan Jenderal Kopassus, yang jadi Panglima Kostrad, Letnan Jenderal Prabowo Subianto, terkait isu keterlibatan personil Kopassus. Prabowo mengakui memang ada penculikan. Wiranto merasa heran karena petinggi ABRI tidak diberitahu soal penculikan itu.
Sepeti dicatat Wiranto, Prabowo memberi penjelasan bahwa aksi intelijen yang berbuntut penculikan itu, “[...] memang sengaja tidak dilaporkan kepada pimpinan ABRI maupun staf agar tidak merepotkan dan melibatkan Mabes ABRI.”
Wiranto bertindak bak pahlawan dengan memerintahkan, “[...] bebaskan mereka segera!”
Dari hasil pendalaman dilaporkan bahwa “memang benar Danjen Prabowo memerintahkan Mayor Bambang Kristiono beserta tim yang beranggotakan sepuluh orang—yang disebut tim mawar—untuk melakukan upaya pengungkapan mengenai ancaman terhadap stabilitas keamanan nasional,” sebut Wiranto dalam autobiografinya (hlm. 22). Prabowo pun direkomendasikan untuk diberhentikan.
Ketika itu Jakarta makin rusuh. Pada 12 Mei 1998, pecah tragedi Trisakti, di mana beberapa mahasiswa mati tertembak. Jakarta semakin panas. Di hari-hari panas itu, terbit kesalahan terbesar Wiranto di mata musuhnya, yakni perjalanannya ke Malang pada 14 Mei 1998. Alasan Wiranto adalah “menghadiri serah-terima Komando Pengendalian (Kodal) Pasukan Pengendali Reaksi Cepat (PPRC).” Dia mengaku Prabowo lah yang memintanya memimpin serah terima itu.
Sewaktu jadi Panglima ABRI pula, seminggu setelah serah-terima PPRC di Malang dan Soeharto sudah digantikan B.J. Habibie sebagai presiden, Wiranto berurusan lagi dengan Prabowo. Habibie dalam Detik-Detik yang Menentukan (2006) menceritakannya.
Pada pagi 22 Mei 1998, Wiranto melaporkan adanya pasukan Kostrad yang bergerak menuju Jakarta, juga adanya konsentrasi pasukan di sekitar kediaman Habibie di Kuningan dan di Istana Merdeka. Habibie pun berkesimpulan, “Pangkostrad [Prabowo] bertindak sendiri tanpa sepengetahuan Pangab” (hlm. 81).
Susah Kendalikan Prabowo
Wiranto rupanya bukan panglima yang bisa memegang Prabowo. Entah karena Prabowo terlalu kuat atau Wiranto yang tidak tegas kepada bawahan dan kecolongan. Sebagai presiden, Habibie merasa gerah dengan pengerahan pasukan liar di sekitarnya. Habibie pun memberi perintah tegas:
“Sebelum matahari terbenam, Pangkostrad harus diganti dan kepada penggantinya diperintahkan agar semua pasukan di bawah komando Pangkostrad harus kembali ke basis kesatuan masing-masing.”
Wiranto bukannya bilang siap, melainkan bertanya, “Sebelum matahari terbenam?”
“Sebelum matahari terbenam,” ulang Habibie dengan tegas.
Demi masa depan komando Kostrad, Wiranto bertanya lagi, “Siapa yang akan mengganti?”
Dan Habibie pun bilang, “Terserah Pangab.”
Wiranto segera mencari bakal pengganti Prabowo. Ia kemudian memberi usul kepada presiden, yakni Letnan Jenderal Johny Lumintang (Asisten Operasi Pangab), meski untuk sementara waktu. Setelah itu, Mayor Jenderal Djamari Chaniago yang akan menggantikannya.
“Saya menyetujui usul Pangab (Wiranto) untuk melantik Panglima Divisi Siliwangi, Mayor Jenderal Djamari Chaniago sebagai Pangkostrad esok harinya pada 23 Mei 1998,” aku Habibie.
Jabatan Wiranto sebagai Panglima ABRI dan Menteri Pertahanan dan Keamanan berakhir pada Oktober 1999. Meski namanya kemudian dikaitkan dengan keberadaan Pam Swakarsa yang katanya untuk mengamankan Sidang Umum MPR, Wiranto terus maju ke arena politik.
Wiranto pernah bertarung berebut jabatan presiden di Pilpres 2004 lewat Partai Golkar dan gagal. Pada 2006, ia keluar dari Golkar dan mendirikan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Tiga tahun kemudian, di Pilpres 2009, Wiranto mendampingi Jusuf Kalla sebagai cawapres; kali ini juga gagal. Di antara lawannya ada Prabowo, cawapres yang mendampingi Megawati Soekarnoputri.
- Maraden Panggabean: Pimpinan Laskar Rakyat yang Jadi Panglima ABRI
- M. Jusuf, Panglima ABRI Kesayangan Para Prajurit
- Tragedi Benny Moerdani: Dipercaya Soeharto, Lalu Ditinggalkan
- Try Sutrisno: dari Zeni, Ajudan Soeharto, ke Panglima ABRI
- Edi Sudradjat: Panglima ABRI Cuma Tiga Bulan
- Feisal Tanjung: Panglima ABRI di Masa Soeharto Menunggangi Islam
==========
Editor: Ivan Aulia Ahsan