Menuju konten utama

OTT KPK: Bau Busuk Jaksa Jelang Hari Bakti Adhyaksa

Ada kesan Kejaksaan melindungi anggota korpsnya saat operasi tangkap tangan KPK pada akhir Juni lalu.

OTT KPK: Bau Busuk Jaksa Jelang Hari Bakti Adhyaksa
Ilustrasi: Kasus OTT KPK di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. tirto.id/Gery

tirto.id - “Ikutin. Ikutin,” kata Warih Sadono, Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, kepada sopirnya.

Dengan segera, sang sopir memutar balik mobil. Warih memasuki mobil, bergegas meninggalkan kantor Kejati dan mengikuti dua mobil Komisi Pemberantasan Korupsi yang keluar lebih dulu dari gedung kantornya.

Sebelum adegan itu tertangkap mata reporter Tirto, penjagaan di Kantor Kejati Jakarta diperketat. Tiga petugas keamanan menjaga pintu masuk Gedung Pidana Khusus Kejati. Salah seorang penyidik KPK terlihat di sekitar gedung.

Ketika penyidik KPK menyambangi kantor korps Adhyaksa itu untuk operasi tangkap tangan, dan mengutarakan ada dugaan suap menyeret jaksa, Warih sempat menghubungi Wakil Ketua KPK Alexander Marwata. Warih juga melaporkan kejadian itu kepada Jaksa Agung Muhammad Prasetyo, politikus Partai NasDem.

“Saat itu memang terjadi kesepakatan bahwa perkara ini memang akan ditangani oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, hanya sebatas itu,” klaim Humas Kejati Jakarta Nirwan Nawawi kepada Tirto mengenai tujuan Warih mengontak salah satu pimpinan KPK.

Namun, bersamaan dengan itu, penyidik-penyidik KPK yang lain menangkap Kepala Subseksi Penuntutan Kejati Jakarta Yadi Herdianto. Penyidik KPK yang lain bergerak menggeledah ruangan Yuniar Sinar Pamungkas, Kepala Seksi Keamanan Negara dan Ketertiban Umum Tindak Pidana Umum Lain, yang terletak di lantai tiga.

Ketika hendak menggeledah ruangan Asisten Pidana Umum Kejati Jakarta Agus Winoto, penyidik-penyidik KPK kecele. Akses ke ruangan itu harus melalui sidik jari. Aksi mereka bikin Warih meradang. Ia mengikuti para penyidik antirasuah saat menggeledah ruangan Agus Winoto.

Pada Jumat, 28 Juni lalu itu, Yadi Herdianto sudah dikuntit oleh para penyidik KPK sejak berada di Mall of Indonesia, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Di pusat perbelanjaan itu, Yadi diduga menerima suap Rp200 juta. Fulus ini diduga buat mengurangi tuntutan dalam perkara penipuan investasi di Pengadilan Negeri Jakarta Barat.

Sebelum meringkus Yadi, penyidik KPK menangkap Sukiman Sugita dan Ruskian Suherman di tempat yang sama. Sukiman adalah orang yang menyerahkan nota perdamaian kepada pengacara bernama Alvin Suherman. Sementara Ruskian ialah orang yang menyerahkan Rp200 juta milik pengusaha bernama Sendy Perico kepada Alvin. Sendy adalah korban kasus penipuan investasi yang menyeret Hary Suwanda dan Raymond Rawung. Ia dirugikan Rp11 miliar.

Suap Demi Mengurangi Tuntutan

Dugaan suap yang menjerat Agus Winoto bermula dari laporan Sendy Perico di Polda Metro Jaya terhadap Hary Suwanda dan Raymond Rawung. Karena laporannya di Polda Metro, berkas penyidikannya dilimpahkan ke Kejati DKI Jakarta. Lantaran perbuatan pidananya terjadi di wilayah hukum Jakarta Barat, perkaranya pun terdaftar di Kejaksaan Negeri Jakbar.

Jaksa yang ditunjuk adalah Arih Wira Suranta Ginting dari Kejati DKI Jakarta. Belakangan, KPK mencekal Arih bepergian ke luar negeri setelah mengungkap suap itu.

Berdasarkan sistem informasi penelusuran perkara Pengadilan Negeri Jakarta Barat, perkara dugaan penipuan ini disidangkan pada 26 Maret 2019. Dua bulan setelahnya, Hary Suganda memilih damai dengan Sendy. Ia membayar ganti rugi Rp5 miliar dan sebuah rumah di daerah Jakarta Pusat serta berjanji bakal melunasi kerugian.

Setelahnya, Hary meminta jaksa meringankan tuntutan. Menurut salah seorang penegak hukum, perdamaian antara Sendy dan Hary terjadi sekitar medio Mei 2019 ketika pemeriksaan saksi masih berjalan di persidangan. Atas permintaan Hary, Sendy mencari jalan agar tuntutan terhadap Hary bisa diturunkan.

Singkat cerita, Sendy dan pengacaranya, Alvin Suherman, meminta bantuan Tjhun Tje Ming alias Aming, orang yang dianggap mempunyai akses ke Kejati DKI Jakarta, untuk mengurangi tuntutan.

Salah seorang sumber Tirto yang biasa menangani perkara di Pengadilan Negeri Jakbar berkata Aming bukanlah nama baru dalam dunia makelar di pengadilan. Aming kerap nongkrong di pengadilan dan dikenal sebagai perantara kasus karena memiliki jaringan luas.

“Dia biasa ngetem di PN Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Pusat,” katanya.

Aming juga menjadi target KPK dan dicekal bepergian. "KPK melakukan pelarangan ke luar negeri terhadap tiga orang dalam penyidikan kasus suap terkait perkara yang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah.

Dari Aming, Sendy terhubung ke Yuniar Sinar Pamungkas, jaksa Kejati, yang berperan sebagai penghubung ke Agus Winoto, yang bisa meringankan tuntutan.

Buat mengurangi tuntutan itu, Sendy diminta membayar Rp200 juta. Uang suap itu disepakati. Sebelum sidang tuntutan pada 1 Juli 2019, Sendy memberikannya bersama nota perdamaian. Uang dan nota itu diambil oleh Yadi Herdianto atas perintah Yuniar.

"Uang dan nota itu kemudian ditaruh di ruangan Agus,” kata seorang penegak hukum kepada Tirto.

Baru saja menaruh uang, Yadi lantas ditangkap oleh penyidik KPK. Secara paralel, penyidik juga menangkap Yuniar di Bandara Halim Perdanakusuma, saat itu hendak pulang ke Yogyakarta.

“Yuniar memang seminggu sekali pulang ke rumahnya,” ujar seorang penegak hukum itu.

Infografik HL Indepth Jaksa Vs KPK

Infografik KPK vs Kejagung. tirto.id/Gery

Lobi Alot di Kejagung

Segera setelah operasi tangkap tangan KPK bocor ke media, puluhan jaksa berkumpul di Kejaksaan Agung. Para anggota Korps Adhyaksa mengadakan rapat dadakan di Gedung Jampidsus pada Jumat malam, 28 Juni.

“Ada sekitar 50 jaksa,” ujar seorang yang mengetahui peristiwa malam itu kepada Tirto.

Malam itu pihak Kejaksaan Agung ngotot bahwa perkara yang menjerat awak institusinya akan langsung ditangani Gedung Bundar. Kabar penanganan ini datang langsung dari Jaksa Agung Muhammad Prasetyo.

"Itu betul operasi bersama antara KPK dan Kejaksaan," klaim Prasetyo.

Tapi, klaim Prasetyo bahwa operasi tangkap tangan ini adalah operasi bersama KPK berseberangan dengan fakta di lapangan.

Kantor Kejaksaan Agung pada Jumat malam itu dalam situasi tegang setelah KPK menangkap Yadi Herdianto dan Yuniar Sinar Pamungkas. Apalagi penyidik-penyidik KPK mendesak Kejaksaan menyerahkan Agus Winoto.

Ada kesan Agus dilindungi korpsnya. Pada pukul 9 malam, diantarkan oleh Jaksa Agung Muda Intelijen Jan Samuel Maringka, Agus sempat diperiksa di Kejagung. Pada saat bersamaan KPK meminta Kejaksaan agar secara kooperatif menyerahkan Agus.

“KPK telah meminta kepada Kejaksaan Tinggi DKI agar dapat membantu membawa Saudara Agus Winoto, Asisten Bidang Tindak Pidana Umum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, untuk dilakukan permintaan keterangan malam ini di kantor KPK,” kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Yuyuk Andriati Iskak.

Agus akhirnya diserahkan KPK pada pukul 1 dini hari Sabtu, 29 Juni. Jan Maringka yang mengantarnya ke Gedung Merah Putih KPK di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Usai gelar perkara, KPK menetapkan Agus Winoto sebagai tersangka dengan barang bukti uang suap Rp200 juta.

Sementara jaksa Yadi Herdianto dan Yuniar Sinar Pamungkas dilepaskan KPK lalu diserahkan ke Kejaksaan Agung. Duit dolar Singapura yang ditemukan oleh penyidik KPK di tangan kedua jaksa itu, ujar Yuniar, adalah sogokan atas perkara judi yang ditanganinya—beda kasus dari suap yang menjerat Agus Winoto.

Nirwan Nawawi, Humas Kejati DKI Jakarta, membantah ada negosiasi alot itu. “Kenapa kemudian Kejaksaan ngotot? Ini adalah bentuk tekad kami. Kami juga mempunyai kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan,” katanya.

“Dan ini juga untuk membuktikan tekad Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta bahwa kami tidak memberikan ruang lagi bagi yang bermain-main dan melanggar etika,” tambahnya.

Nirwan tidak membantah tapi tidak membenarkan bahwa ada rapat yang dihadiri oleh sekitar 50 jaksa di Kejaksaan Agung saat malam penangkapan itu—mencoreng muka Korps Adhyaksa yang akan merayakan hari jadi pada 22 Juli mendatang.

Baca juga artikel terkait OTT KPK atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher & Felix Nathaniel
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam