tirto.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkap adanya kesenjangan tingkat literasi keuangan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia. Temuan tersebut muncul dalam Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 yang dilakukan OJK bersama Badan Pusat Statistik (BPS).
Hasil sigi tersebut mencatat, indeks literasi keuangan pada laki-laki lebih tinggi dengan capaian 67,32 persen. Sedangkan pada perempuan, angkanya sedikit lebih rendah yakni sebesar 65,58 persen.
“Kalau dilihat berdasarkan gender, indeks literasi keuangan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi di Gedung Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta, Jumat (2/5/2025).
Sementara itu, berdasarkan metode berkelanjutan, disimpulkan bahwa indeks literasi keuangan laki-laki meningkat 3,18 persen, dan perempuan menurun pada 1,17 persen. Menurut wanita yang akrab disapa Kiki itu, peningkatan literasi keuangan pada laki-laki penting mengingat tren sebelumnya dua jenis gender memiliki indeks yang seimbang.
Meski demikian, tingkat inklusi keuangan perempuan masih bersaing dengan laki-laki Dalam metode berkelanjutan, indeks inklusi keuangan laki-laki tercatat 80,73 persen, sementara perempuan 80,28 persen. Adapin secara keseluruhan, indeks inklusi literasi dari kedua gender itu mengalami peningkatan dibandingkan tahun lalu.
“Sedangkan indeks inklusi keuangan laki-laki dan perempuan meningkat masing-masing sebesar 6,76 persen dan 4,2 persen,” kata Kiki.
SNLIK juga menunjukkan masih rendahnya pendekatan yang dilakukan untuk menjangkau segmen perempuan, terutama pada kelompok usia non-produktif, di wilayah pedesaan, serta tingkat pendidikan rendah yang cenderung mengalami literasi keuangan di bawah rata-rata nasional.
Ini tergambar dari tingkat literasi keuangan yang lebih tinggi di wilayah perkotaan ketimbang pedesaan. Untuk metode berkelanjutan, indeks literasi keuangan di perkotaan mencapai 70,89 persen, sedangkan di pedesaan hanya sebesar 59,60 persen.
“Sedangkan untuk indeks inklusi keuangan wilayah perkotaan, juga itu lebih tinggi daripada di pedesaan. Yaitu masing-masing sebesar 83,61 persen yang di perkotaan dibandingkan dengan 75,70 persen yang di pedesaan,” kata Kiki.
Selain gender dan wilayah, Kiki menjelaskan bahwa tingkat pendidikan juga mempengaruhi tingkat literasi masyarakat. Masyarakat yang tidak sekolah atau belum tamat SD memiliki indeks literasi keuangan sebesar 43,20 persen. “Kalau yang untuk masyarakat yang tamat perguruan tinggi memiliki tingkat literasi dan inklusi keuangan tertinggi, yaitu sebesar 90,63 persen,” ucapnya.
Adapun berdasarkan tingkat pekerjaan, kelompok pegawai profesional, pengusaha, dan pensiunan mencatat indeks literasi dan inklusi tertinggi. Kita bisa lihat juga (indeks literasi dan inklusi pegawai profesional) adalah 85,80 persen. Kemudian yang untuk kelompok pengusaha, wiraswasta, 73,60 persen, dan pensiunan purnawirawan sebesar 74,11 persen,” jelasnya.
Sebaliknya, peternak, petani, pekerja perkebunan, nelayan, hingga masyarakat yang tidak bekerja memiliki tingkat literasi terendah. “Sementara itu untuk masyarakat yang belum bekerja dan para petani, peternak, pekerja kebun, melayan memiliki tingkat literasi dan inklusi yang rendah, yaitu tingkat literasi sebesar 49,36 persen dan 58,87 persen dan tingkat inflasi sebesar 64,82 persen dan 69,4 persen dengan metode berkelanjutan,” tandasnya.
Penulis: Nabila Ramadhanty
Editor: Hendra Friana
Masuk tirto.id







































