tirto.id - Tenaga kesehatan (Nakes) di sejumlah daerah menghadapi badai lonjakan kasus COVID-19 yang membuat banyak layanan kesehatan di rumah sakit tak mampu lagi menampung pasien positif Corona. Mereka bekerja menghadapi kematian bertubi-tubi dan risiko terpapar COVID-19.
Aditya Janottama adalah dokter Instalasi Gawat Darurat (IGD) di salah satu rumah sakit di Kota Surabaya, Jawa Timur. Sudah sejak awal Juni 2021, IGD dipenuhi pasien COVID-19 yang menunggu antrean masuk ruang isolasi yang selalu penuh sejak awal Juni.
“Sekarang kami lebih nelangsa. Dokter bertahun-tahun ditempa untuk bantu orang lain. Dalam kondisi seperti ini kami hanya bisa bantu yang bisa diselamatkan saja. Kami menolak pasien karena penuh, mereka keliling-keliling cari RS, bisa jadi meninggal. Itu yang bikin nelangsa,” ujar Aditya kepada reporter Tirto melalui sambungan telepon, Selasa (6/7/2021).
Situasi saat ini, menurutnya, berbeda dibanding lonjakan kasus sebelumnya, pada awal tahun lalu. Sebab meski jumlah pasien COVID-19 cukup banyak, tapi masih bisa tertampung dan diberikan pertolongan medis di rumah sakit.
Namun, yang terjadi saat ini kapasitas tempat tidur pasien COVID-19 dan tenaga kesehatan tak sebanding dengan jumlah pasien COVID-19 yang terus berdatangan. Rumah sakit tempatnya bekerja tergolong kecil, hanya mampu menampung 30 pasien COVID-19 dan di IGD hanya muat 12-15 pasien COVID-19.
Aditya pernah mengalami dalam satu waktu kerja dari pukul 23.00 hingga 07.00 WIB, ia terpaksa menolak sejumlah pasien yang datang di IGD lantaran satu dokter lain yang seharusnya berjaga bersamanya terpapar COVID-19. Ia bersama dengan tiga perawat lain tak mampu menerima pasien lebih banyak lagi, sebab sudah ada belasan pasien COVID-19 di IGD.
Selain lebih nelangsa, kata Aditya, lonjakan COVID-19 yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir juga terlalu banyak membawa duka. Sejak terjadi lonjakan hampir setiap hari, kata dia, rata-rata dua pasien COVID-19 meninggal di rumah sakit.
Di DKI Jakarta, yang mengalami lonjakan kasus paling tinggi dalam beberapa hari terakhir kondisinya sama. Apalagi pada 5 Juli 2021 terjadi penambahan kasus baru sebanyak 10.903 pasien per hari. Para nakes pun sudah mulai kewalahan menghadapi lonjakan kasus yang bertubi-tubi.
Cynthia Eka Putri, salah seorang perawat di salah satu rumah sakit khusus ibu dan anak di Jakarta bercerita tengah menghadapi pekerjaan terberatnya selama pandemi COVID-19 akibat lonjakan kasus dalam beberapa waktu terakhir.
Sejak sejumlah rumah sakit umum milik pemerintah difokuskan menangani pasien dewasa, rumah sakit khusus ibu dan anak tempatnya bekerja kebanjiran pasien COVID-19 ibu hamil dan usia anak. Total kapasitas ruang isolasi hanya untuk 30 tempat tidur, ruang ICU delapan tempat tidur. Dan IGD saat ini juga difungsikan sebagai tempat isolasi.
“Dan sekarang IGD tidak pernah kosong dan bisanya lebih dari 20 isinya,” kata Cynthia melalui sambungan telepon, Senin (5/7/2021).
Lonjakan pasien itu beriringan dengan sejumlah nakes yang terpapar COVID-19 yang harus menjalani isolasi hingga perawatan. Akibatnya, nakes pun kemudian harus bekerja ekstra menambal sulam nakes lain yang sakit.
“[Saat lonjakan kasus COVID-19 ini] saya jujur lebih capek. Dulu saya bertugas di bagian rawat jalan. Sekarang semua diberdayakan di ICU, IGD, dan ruang isolasi COVID-19. Ini hanya terjadi sekarang. Yang sebelum-sebelumnya tidak sampai seperti itu,” kata Cynthia.
Cynthia menambahkan, “Dulu [sebelum] lonjakan paling dalam seminggu kami terima dua pasien [ibu dan anak] yang positif COVID-19. Kalau sekarang hampir setiap hari ada.”
Pun demikian dengan kasus kematian, banyak pasien yang datang dengan kondisi yang sudah memburuk ke rumah sakit. “Setiap hari selalu ada pasien COVID-19 yang meninggal meski tidak sampai banyak. Biasanya pasien ibu satu dan anak satu [yang meninggal]” ujarnya.
Di Yogyakarta, lonjakan kasus COVID-19 menyebabkan sejumlah rumah sakit harus memberlakukan sistem buka tutup IGD lantaran pasien COVID-19 menumpuk. Para nakes berjibaku menangani lonjakan pasien COVID-19 ini.
Daniel Siswo Prasetiyo, salah seorang perawat IGD di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta bilang sistem buka tutup IGD bila terjadi penumpukan pasien COVID-19 sudah diberlakukan sejak awal pandemi. “Tapi yang paling ngeri itu lonjakan setelah Lebaran tahun ini,” kata dia melalui sambungan telepon, Senin (5/7/2021).
Selain itu, kata dia, banyak di antaranya nakes di tempat dia bekerja yang harus melakukan isolasi mandiri lantaran terpapar. Sementara ruang isolasi dan IGD hanya mampu sekitar 16 pasien COVID-19 dan selalu penuh. Maka kemudian IGD ditutup sementara selama dua hari terakhir.
“Setiap hari ada sekitar 10-20 pasien COVID-19 yang datang, kalau kita tak mampu tangani, ya kami arahkan ke rumah sakit yang lebih besar,” ujarnya.
Lonjakan kasus COVID-19 di Yogyakarta juga turut membuat sejumlah nakes terpapar COVID-19 meskipun mayoritas sudah mendapatkan vaksin COVID-19. Salah satunya adalah Paula Lisa, perawat di salah satu rumah sakit tipe B di Yogyakarta.
Paula sempat mengalami gejala seperti demam, batuk, dan sesak nafas. Namun setelah dilakukan pemeriksaan dan diberikan resep obat ia melakukan isolasi mandiri di rumah.
Ia merupakan perawat yang bertugas di ruang isolasi bayi yang kebanyakan mereka diisolasi lantaran ibunya positif COVID-19. Dan sejak terjadi lonjakan kasus, ruang isolasi bayi, menurut Paula, tak pernah kosong yang sebelumnya ada terisi satu hingga dua bayi per bulan.
“Dari kemarin itu pasien [isolasi bayi] itu keluar masuk-keluar masuk. Jadi dua masuk, satu keluar lalu masuk lagi. Ada terus,” kata Paula melalui sambungan telepon kepada reporter Tirto, Selasa (6/7/2021).
Di Kota Salatiga, Jawa Tengah, yang menjadi salah satu zona merah COVID-19, per 5 Juni 2021 berdasarkan data Kementerian Kesehatan memiliki tingkat keterisian rumah sakit COVID-19, 83 persen. Yosef Nandy Apriaji, salah seorang perawat ruang ICU COVID-19 di salah satu rumah sakit di Kota Salatiga mengatakan sampai saat ini penumpukan pasien masih terjadi.
“Untuk langsung masuk ruangan isolasi itu tidak bisa, karena harus antre di IGD dulu. IGD jadi bangsal isolasi soalnya ruang isolasi penuh,” kata Nandy melalui sambungan telepon, Selasa (6/7/2021).
Selain IGD yang difungsikan sebagai ruang isolasi, saat ini telah ditambah ruang darurat untuk menampung jumlah pasien yang terus datang. Total kapasitas tidur saat ini sekitar 80-an termasuk ruang ICU.
Pasien COVID-19 yang melonjak itu, kata dia, rata-rata kondisinya buruk, pun jika datang dalam kondisi yang tidak buruk, proses pemburukannya sangat cepat. Hal itu, menurutnya, berbeda dibandingkan dengan situasi sebelumnya selama satu tahun lebih pandemi berlangsung.
“Satu hari itu yang satu ruangan saya tangani paling banyak pernah meninggal 4 pasien. Kalau satu rumah sakit pernah sampai sehari 12 pasien COVID-19 meninggal. Kalau dulu tidak sebanyak itu paling banyak dulu enam,” kata Nandy.
Sementara di Kabupaten Kudus, lonjakan kasus COVID-19 lebih dulu terjadi mulai awal Juni 2021 dan menjadi perhatian nasional karena mengalami situasi darurat, Satgas Penanganan COVID-19 menyebut lonjakan kasus mencapai 7.594 persen. Akibatnya, hampir seluruh rumah sakit di Kudus tak mampu menampung pasien COVID-19 hingga harus dilarikan ke daerah lain.
Ajeng Ika Lestari, seorang perawat di salah satu rumah sakit di Kudus bilang lonjakan kasus terjadi berangsur mulai dari akhir Mei setelah Idulfitri, dan membludak pada awal Juni 2021. Rumah sakit tempatnya bekerja kewalahan, ia yang mulanya adalah perawat di bangsal umum kemudian ditugaskan di bangsal COVID-19. Penambahan kapasitas tempat tidur ditambah sehingga total jadi sekitar 86 dan terakhir menjadi 127 tempat tidur pasien COVID-19.
Ajeng bertugas di bangsal isolasi untuk pasien-pasien bergejala sedang. Namun, dari ruangannya yang berkapasitas 20-30 pasien itu saja, tiap hari ada saja pasien yang tiba-tiba kondisinya memburuk hingga kemudian meninggal.
Ia sehari-hari menghadapi kematian dari para pasien yang ia tangani, “pernah sehari di ruanganku ada empat pasien COVID-19 yang meninggal,” kata Ajeng melalui sambungan telepon.
Duka yang lebih pekat bersamaan dengan lonjakan kasus itu juga tak hanya datang dari para pasien yang ia tangani. Pada pertengahan Juni lalu dua hari berturut-turut ia kehilangan dua koleganya yang meninggal karena terpapar COVID, keduanya perempuan masing-masing berumur 40-an dan 30-an tahun, salah satunya bertugas di ruang ICU COVID-19.
“Kadang itu membuat saya khawatir, tapi bagaimana lagi sudah jadi risiko dan tanggung jawab pekerjaan,” ujarnya.
Berdasarkan data Tim Mitigasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dari Maret 2020 hingga 26 Juni 2021, terdapat 949 tenaga kesehatan yang meninggal dunia akibat COVID. Para tenaga kesehatan tersebut terdiri dari 401 dokter (umum dan spesialis), 43 dokter gigi, 315 perawat, 150 bidan, 15 apoteker, dan 25 tenaga laboratorium medik.
LaporCOVID koalisi untuk keterbukaan data, lapor warga, kajian, dan advokasi terkait COVID-19 mencatat dalam enam hari pertama yakni pada 1-6 Juli 2021 sedikitnya ada 35 nakes yang meninggal. Maka jika di rata-rata dalam periode itu ada 5-6 nakes yang meninggal setiap harinya.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Abdul Aziz