Menuju konten utama
Pandemi COVID-19

Masalah di Balik Harga Obat Terapi COVID-19 yang Melambung Tinggi

Menkes Budi telah menentukan HET obat yang biasa dipakai untuk terapi COVID-19. Mengapa harga di pasaran masih mahal?

Masalah di Balik Harga Obat Terapi COVID-19 yang Melambung Tinggi
Ilustrasi Pasien Corona. foto/istockphoto

tirto.id - Obat yang biasa dipakai untuk terapi COVID-19 tidak hanya langka, tapi harganya di pasaran juga melambung tinggi. Favipiravir 200 mg misalnya. Obat merek dagang Avigan ini bahkan dijual dengan harga jutaan rupiah.

Hal itu dialami Dayat, warga Depok, Jawa Barat saat mencarikan obat terapi COVID-19 untuk mertuanya. Awalnya, ia menemukan obat Favipiravir 200 mg di salah satu marketplace dengan harga Rp12 juta. “Akhirnya saya dapat [harga] Rp4,2 juta untuk 4 strip,” kata Dayat kepada reporter Tirto, Senin (5/7/2021).

Masalah ini sebenarnya sudah diantisipasi pemerintah. Menkes Budi Gunadi Sadikin menerbitkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/4826/2021 tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) Obat Dalam Masa Pandemi COVID-19. Terdapat 11 obat yang diatur HET-nya oleh pemerintah.

Obat tersebut, yakni: Favipiravir 200 mg tablet Rp22.500/tablet, Remdesivir 100 mg injeksi Rp510.000/vial, Oseltamivir 75mg kapsul Rp26.000/kapsul, lntravenous Immunoglobulin 5% 50 ml infus Rp3.262.300/vial, lntravenous Immunoglobulin 10% 25 ml infus Rp3.965.000/vial, lntravenous Immunoglobulin l07o 5O ml Infus Rp6.174.900 per vial, Ivermectin 12 mg tablet Rp7.500 per tablet, Tocilizrrmab 4O0 mg/20 ml Infus Rp5.710.600 per vial, Tocilizumab 8o mg/4 ml Infus Rp1.162.200 per vial, Azithromycin 50O mg tablet Rp1.700 per tablet, Azithromycin 50O mg Infus Rp95.400 per vial.

Budi mengatakan, HET tersebut “merupakan harga jual tertinggi obat di apotek, instalasi farmasi, rumah sakit, klinik, dan faskes.”

Munculnya Surat Keputusan Menkes tersebut sebagai respons atas melonjaknya harga obat di pasaran dan diperjualbelikan melalui lokapasar secara daring. Budi mengimbau masyarakat tidak membeli obat-obat tersebut secara bebas.

“Saya sangat tegaskan di sini kami harap aturan harga obat itu agar dipatuhi,” kata Menkes Budi.

Namun fakta di lapangan, masih banyak seller nakal yang memanfaatkan keadaan menjual obat terapi COVID-19 dengan harga selangit.

Perlu Pengawasan dan Intervensi Hukum

Anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay mendesak pemerintah bersikap tegas untuk mengawasi harga obat sesuai HET. Menurut dia, perlu ada intervensi hukum untuk menghindari terjadinya penimbunan obat dalam kondisi COVID-19 yang belum stabil.

“Pemerintah bisa mendorong produsen obat meningkatkan produksi. Periksa juga distributor, penjualan obat-obat tersebut. Kalau menjual di atas HET, harus tegas, kenapa bisa terjadi,” kata politikus PAN saat dihubungi reporter Tirto, Senin (5/7/2021).

Sementara Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan, Kemenkes perlu berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga lain untuk mengantisipasi kelangkaan obat dan melonjaknya harga ini. Selain itu, perlu mengawasi implementasi HET di lapangan.

“Kalau ada perbedaan [harga] tinggal penindakan oleh aparat hukum,” ujarnya kepada reporter Tirto.

Kepolisian pun buka suara terkait obat terapi COVID-19 yang langka dan harganya selangit itu. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono mengatakan polisi akan memantau penjualan daring obat-obat dengan peruntukan untuk COVID-19.

"Polri lakukan pemantauan terhadap aktivitas jual-beli obat antibiotik di penjual daring. Hari ini sedang berjalan pula pemantauan di pabrik-pabrik obat, termasuk jalur distribusinya," kata Argo Yuwono, Senin (5/7/2021).

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo melalui Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto pun menerbitkan Surat Telegram penegakan hukum di masa PPKM Darurat Jawa-Bali. Surat Telegram Nomor: ST/1373/VII/H.U.K/7.1./2021 ini ditujukan kepada para Kapolda dan bersifat perintah.

Berikut lima instruksi Kapolri Sigit:

  1. Mengawasi kepatuhan semua pihak dalam menjalankan PPKM Darurat dan pengendalian HET obat dalam masa pandemi COVID-19.
  2. Melakukan penegakan hukum secara tegas terhadap pelaku usaha yang menimbun serta penjualan obat di atas HET sehingga masyarakat sulit mendapatkan obat dan alat kesehatan.
  3. Melakukan penegakan hukum secara tegas terhadap tindakan yang menghambat segala upaya pemerintah dalam menanggulangi wabah COVID-19, termasuk terhadap penyebaran berita bohong.
  4. Mempelajari, memahami serta berkoordinasi dengan pihak Kejaksaan terkait penerapan pasal-pasal yang dapat dikenakan terhadap pelaku tindak pidana di masa pandemi COVID-19.
  5. Melaporkan hasil kegiatan kepada Kapolri up Kabareskrim.

Transparansi Kemenkes

Anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo meminta Kemenkes untuk menjelaskan perihal stok obat saat ini. Hal ini demi mencegah sikap panic buying masyarakat.

“Ada berapa sih? Ini penting. Sehingga tidak menimbulkan kekacauan pasar,” ujarnya kepada reporter Tirto, Senin (5/7/2021).

Selain itu, Kemenkes sebagai pemegang otoritas tertinggi, perlu menyelidiki persoalan lonjakan harga obat ini. Untuk menjelaskan indikasi persoalan, apakah disebabkan penimbunan barang atau faktor hukum permintaan.

Ia juga meminta Kemenkes menyediakan layanan pelaporan bagi masyarakat yang ingin mengadu soal ketimpangan harga obat di pasaran dengan yang telah ditetapkan pemerintah. “Ke mana masyarakat harus lapor? Tidak ada. Bagaimana mekanisme tindak lanjut Kemenkes?” kata dia.

Sudaryatmo juga mengatakan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) diharapkan turun gunung untuk menyelidiki persoalan ini. KPPU bisa memanggil para pedagang dan meminta mereka menjelaskan sebab harga obat bisa melambung tinggi.

“Marjin industri farmasi itu, kan, ada angkanya. Kalau dia [pedagang] menikmati margin di atas industri, bisa dikenakan pasal-pasal persaingan usaha tidak sehat,” ujarnya.

KPPU mendaku baru akan melakukan penelitian soal masalah ini. Bisa saja persoalan terjadi karena mekanisme pasokan barang dan permintaan, ataupun terjadinya persaingan yang tidak sehat: penimbunan, pembatasan pasokan, atau upaya cari untung di atas margin normal.

“Kalau memang nantinya ditemukan adanya perilaku anti-persaingan, tentu saja KPPU akan melakukan mekanisme penegakan hukum,” ujar Komisioner KPPU Afif Hasbullah kepada reporter Tirto, Senin kemarin.

Respons Menkes Budi

Menkes Budi Gunadi Sadikin menilai stok obat yang mengalami persoalan hanya jenis spesifik seperti Actemra, Gammaraas, dan Remdesivir. Selebihnya stok obat untuk terapi COVID-19 berstatus aman, kata Budi.

“Kami berdiskusi dengan industri, sebagian bilang stoknya tak masalah. Tapi jalur pendistribusiannya saja yang mereka sampaikan harus dilihat agar tidak terjadi penumpukan dan peningkatan [harga] yang gila-gilaan,” ujarnya dalam rapat kerja daring bersama Komisi IX DPR RI, Senin (5/7/2021).

Kemenkes juga mengklaim telah berkoordinasi dengan produsen-produsen obat untuk memastikan ketersediaan obat ke rumah sakit dan apotek. Menurutnya, segala jenis obat yang tertera dalam surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/4826/2021, tidak boleh dibeli secara bebas dan mesti berdasarkan resep dokter dan dibeli di rumah sakit atau apotek.

“Agar distribusinya lebih terkontrol,” kata dia.

Baca juga artikel terkait OBAT COVID-19 atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - News
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz