tirto.id - Gelombang lonjakan kasus COVID-19 yang diikuti dengan meningkatnya kematian tak hanya terjadi di Indonesia. Beberapa negara seperti Inggris, Jepang, dan Taiwan juga pernah mengalaminya dan para pejabat di negara itu tak segan meminta maaf kepada rakyatnya. Namun di Indonesia, permintaan maaf malah datang dari para relawan.
Ketika lonjakan penularan COVID-19 bertambah 251 kasus dan 26 meninggal dalam sehari pada 12 Juni 2021 di Taiwan, Presiden Taiwan Tsai Ing-Wen melalui akun Twitter pribadinya mengunggah video permintaan maaf.
“Setiap warga Taiwan yang pernah tertular virus Corona atau bahkan kehilangan nyawa mereka adalah bagian dari komunitas nasional kami. Sebagai Presiden, saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk menyampaikan kedukaan dan permohonan maaf,” kata Presiden Tsai.
Di Inggris saat gelombang lonjakan COVID-19 terjadi pada Desember 2020 hingga Januari 2021, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengungkapkan permintaan maaf kepada rakyat. Saat itu, angka kematian akibat COVID-19 di Inggris tembus angka 100.000.
“Saya meminta maaf yang sedalam-dalamnya dan bertanggung jawab penuh atas nyawa-nyawa yang hilang. Sulit untuk menghitung duka yang diakibatkan hilangnya nyawa dengan cara yang tragis dalam setahun terakhir,” ucap Johnson dalam konferensi pers di Downing Street pada 26 Januari 2021 yang dilansir Telegrap.
Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga pada 26 Januari 2021 juga meminta maaf atas kegagalan pemerintah memberikan pelayanan kesehatan ketika gelombang penularan COVID-19 terjadi di negaranya. Permintaan maaf itu disampaikan di depan parlemen setelah salah seorang legislator mengeluhkan banyaknya pasien tidak mendapatkan perawatan, dan tidak sedikit yang meninggal karena rumah sakit penuh.
“Sebagai orang yang bertanggung jawab saya meminta maaf," kata Suga seperti dilansir dari Nippon Tv News.
Situasi di Jepang saat Suga menyampaikan permohonan maaf itu itu hampir mirip dengan situasi di Indonesia saat ini. Laporan pasien COVID-19 yang meninggal lantaran tak mendapatkan perawatan karena rumah sakit penuh itu bertambah di sejumlah daerah.
Salah satu kasusnya dialami Ainun Nitsa di Surabaya, Jawa Timur. Ia mengungkapkan kepada Tirto, Senin (28/6/2021), pamannya meninggal lantaran tak mendapatkan perawatan di rumah sakit. Ia telah menghubungi puluhan rumah sakit di Surabaya dan sekitarnya, tapi semua penuh. Pamannya yang terinfeksi COVID-19 dan sudah sesak nafas akhirnya meninggal di rumah pada 24 Juni 2021. Kisah lengkapnya bisa dibaca di link ini.
Di Provinsi Jawa Tengah kasus serupa juga terjadi. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes Sartono mengungkapkan terdapat dua pasien COVID-19 yang meninggal dunia tak mendapatkan perawatan karena rumah sakit penuh.
Kasus teranyar adalah dalang kondang Ki Manteb Sudarsono yang meninggal karena COVID di Karanganyar, Jateng pada Jumat (2/7/2021). Saat kondisi Ki Manteb menurun, keluarga hendak membawa ke rumah sakit. Namun, rumah sakit di daerah itu penuh dan akhirnya hanya menjalani perawatan di rumah hingga meninggal dunia.
Sementara di DKI Jakarta dan Jawa Barat, laporan kasus lebih banyak lagi. LaporCOVID, koalisi untuk keterbukaan data, lapor warga, kajian, dan advokasi terkait COVID-19 dalam dua pekan terakhir menerima sejumlah laporan adanya pasien COVID-19 yang meninggal karena tak mendapatkan perawatan di rumah sakit.
Sejak 14 -30 Juni 2021 LaporCOVID menerima sedikitnya 101 laporan warga terkonfirmasi positif COVID-19 yang meminta bantuan untuk mencari rumah sakit.
Dari laporan yang banyak diterima dari wilayah Jakarta dan Jawa Barat itu “Sebanyak 11 pasien [yang melapor] meninggal saat menunggu perawatan karena penuhnya rumah sakit,” kata relawan LaporCOVID Widyah, Kamis (1/7/2021).
Banyaknya laporan pasien meninggal tak dapat perawatan karena rumah sakit penuh ini sejurus dengan data lonjakan kasus COVID-19 yang dipublikasikan pemerintah. Satgas Penanganan COVID-19 sebut rata-rata kematian yang terjadi pada gelombang kedua COVID-19 di Indonesia sangat tinggi bahkan lebih dari 400%. Terdapat lima provinsi yang berkontribusi tertinggi yaitu Jawa Barat naik 463%, diikuti DKI Jakarta naik 236%, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) naik 148%, Jawa Timur naik 145% dan Jawa Tengah naik 75%.
“Angka kematian yang terus meningkat ini tentunya tidak dapat ditoleransi, karena 1 kematian saja terbilang nyawa,” kata Koordinator Tim Pakar dan Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito.
Sementara berdasarkan data harian pada 1 dan 2 Juli 2021, kasus baru dan kasus meninggal dunia berturut-turut memecahkan rekor tertinggi yang pernah terjadi pada pada 28 Januari 2021, yakni 476 kematian.
Tercatat kasus kematian pada 1 Juli mencapai 504 orang dan di hari berikutnya meningkat menjadi 539 sehingga total kematian selama pandemi mencapai 59.534 pasien.
Pun demikian penambahan kasus baru positif COVID-19. Pada 1 dan 2 Juli 2021 berturut-turut memecahkan rekor tertinggi yakni yakni 24.836 dan 25.830 pada hari berikutnya. Penambahan kasus ini juga diikuti dengan lonjakan kasus aktif sehingga total menjadi 267.329 pada 1 Juli 2021.
Tak hanya itu, jumlah tenaga kesehatan yang meninggal juga terus bertambah. Berdasarkan data mingguan Tim Mitigasi Ikatan Dokter Indonesia per 26 Juli 2021, sudah ada 401 tenaga kesehatan termasuk dokter, perawat, bidan, apoteker, dan tenaga laboratorium medis yang meninggal karena COVID-19.
Namun tak seperti di Inggris, Jepang, atau Taiwan yang pemimpinnya minta maaf. Pemerintah Indonesia memang kemudian membuat kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat di Jawa-Bali, tapi tak ada permintaan maaf yang terlontar dari pejabat negara.
“Saya minta kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan waspada, mematuhi ketentuan-ketentuan yang ada disiplin dalam menjalankan protokol kesehatan, mendukung aparat pemerintah dan relawan dalam menangani pandemi COVID-19,” kata Presiden Jokowi pada 1 Juli 2021 saat mengumunkan pemberlakuan PPKM darurat.
Begitu juga dengan pejabat lainnya. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang ditunjuk memimpin pelaksanaan PPKM darurat Jawa-Bali menyatakan gelombang lonjakan COVID-19 tak terprediksi.
“Jujur, kita juga tidak pernah memprediksi setelah Juni tahun ini keadaan ini terjadi lonjakan lagi. Karena inilah yang kita ketahui baru. Jadi banyak ketidaktahuan kita mengenai COVID ini, dan ternyata setelah bulan Juni ini kenaikannya luar biasa,” kata Luhut, Kamis kemarin.
Relawan yang Minta Maaf
Jauh sebelum kasus melonjak dan angka kematian menjulang satu tahun lalu, Wakil Presiden Ma'ruf Amin pernah mengungkapkan permintaan maaf. Namun pernyataan “maaf” itu ia ungkapkan saat memberikan imbauan agar perayaan Idulfitri 2020 di rumah saja.
“Kami pemerintah mohon maaf karena memang bahaya belum hilang. Bahaya Corona ini belum hilang," kata Ma'ruf, Kamis (21/5/2020).
Namun dalam situasi saat ini, ketika lonjakan kematian terjadi, permintaan maaf datangnya malah dari para relawan kemanusiaan. LaporCOVID yang menerima laporan pasien COVID-19 untuk bantuan mencari rujukan rumah sakit menyatakan sudah kewalahan.
“Mulai 1 Juli 2021 kanal LaporCOVID-19 tidak mampu menerima permintaan bantuan pencarian rumah sakit karena relawan kami sudah sangat kesulitan mencari fasilitas kesehatan. Sekali lagi mohon maaf, warga silakan langsung ke puskesmas, rumah sakit, Dinas Kesehatan, Kementerian Kesehatan atau kantor pemerintahan lainnya,” kata Inisiator LaporCOVID-19 Irma Hidayana kepada Tirto, (2/7/2021)
Tak hanya itu, jaringan masyarakat yang bergerak sebagai relawan kemanusiaan selama pandemi COVID-19 di DIY juga menyatakan kewalahan dengan terjadinya lonjakan kasus COVID-19.
Sejumlah jaringan masyarakat sipil yang telah menyatakan sikapnya itu di antaranya adalah Forum Pengurangan Risiko Bencana (PRB) DIY; Muhammadiyah COVID-19 Command Center (MCCC); perwakilan Nahdlatul Ulama; Jaringan Gusdurian, dan gerakan SONJO atau Sambatan Jogja.
“Kepada masyarakat DIY, kami segenap gerakan kemanusiaan, mohon maaf bahwa kami telah sampai pada batas kapasitas kemampuan kami. Kami tidak mampu melangkah lebih jauh untuk mengambil kebijakan afirmatif dan progresif yang diperlukan masyarakat DIY saat ini,” tulis mereka dalam pernyataan sikap yang kami konfirmasi melalui perwakilan SONJO, Rimawan Pradiptyo, Rabu (30/6/2021).
Gagal Bendung Pandemi, Negara Patut Minta Maaf
Epidemiolog asal Indonesia di Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan kematian adalah indikator paling kentara yang menunjukkan tingkat keberhasilan suatu negara dalam menangani pandemi. Ketika kasus kematian akibat pandemi naik, maka penanganan upaya 3T dan 5M yakni gerakan (testing, tracing, dan treatment) dan (memakai masker, mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, serta membatasi mobilisasi dan interaksi) dapat dianggap gagal.
“Kematian adalah indikator tingkat keparahan suatu pandemi. Kematian yang ada itu menunjukkan kegagalan dalam deteksi dini di awal. Jadi kematian itu merepresentasikan banyaknya kegagalan 3T, 5M, dan kegagalan pembatasan,” ujar Dicky melalui sambungan telepon, Jumat (2/7/2021).
Dengan tren kematian yang melonjak itu, menurut dia, sangat mengkhawatirkan dan perlu direspons sangat serius dengan cara penguatan kapasitas 3T. Kebijakan PPKM darurat menurutnya sudah benar, termasuk didalamnya penguatan testing, sehingga mengetahui berapa banyak kasus infeksi sehingga dapat segera ditindaklanjuti hingga dapat menekan kematian.
“Asal PPKM darurat benar-benar dilaksanakan akan bisa berkontribusi [menekan penularan hingga kematian]” kata dia.
Sementara itu, sosiolog bencana asal Indonesia di Nanyang Technological University Singapura Sulfikar Amir mengatakan, dengan tingkat keparahan pandemi COVID-19 yang terjadi saat ini di Indonesia, maka sudah sepatutnya pemerintah meminta maaf kepada rakyat.
“Sangat patut dan bahkan wajib pemerintah minta maaf ke seluruh rakyat Indonesia. Keparahan pandemi disebabkan oleh buruknya penanganan yang sejak awal tidak konsisten dan bahkan cenderung menyepelekan dampak dari pandemi,” kata Sulfikar kepada reporter Tirto.
Pemerintah Indonesia, khususnya Presiden Jokowi sudah sepatutnya menyatakan permintaan maaf terhadap mereka yang telah kehilangan keluarga akibat COVID-19, terlebih mereka yang meninggal karena tak mendapatkan pelayanan medis, kata dia.
Menurut Sulfikar, Presiden Jokowi dapat mencontoh sejumlah pemimpin dunia yang meminta maaf kepada rakyatnya, mengakui kegagalan penanganan pandemi tanpa mengurangi kepercayaan rakyat.
Bila permintaan maaf itu tidak dilakukan, menurutnya pemerintah tak lagi punya empati terhadap rakyat dan rakyat sulit berempati kepada pemerintah. Jangan sampai, kata dia, hanya memperlakukan warga negara sebagai instrumen ekonomi saja.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Abdul Aziz