Menuju konten utama

Epidemiolog: Kasus Kematian COVID-19 RI Hanya Puncak Gunung Es

Angka kematian yang terjadi akibat COVID-19 diperkirakan masih jauh lebih besar dibandingkan yang dilaporkan atau ditemukan di Indonesia.

Epidemiolog: Kasus Kematian COVID-19 RI Hanya Puncak Gunung Es
Tim Kubur Cepat membawa jenazah dengan protokol COVID-19 untuk dimakamkan di Badran, Yogyakarta, Selasa (22/6/2021). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/hp.

tirto.id - Epidemiolog Griffith University Dicky Budiman menilai sistem pelaporan kematian akibat COVID-19 di Indonesia masih belum memadai atau masih jauh dari memadai.

Contohnya ketika World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia mengeluarkan estimasi angka kematian yang diakibatkan oleh pandemi COVID-19, di mana WHO mengatakan bahwa angka kematian yang dilaporkan oleh pemerintah Indonesia lebih rendah 7 kali lipat dari estimasi WHO pada bulan Mei 2022 lalu.

“Nah, tidak berbeda dengan sekarang, apalagi sekarang. Dengan deteksi dini yang menurun, juga kita tahu sistem pelaporan kita juga belum berubah cukup signifikan. Artinya, kasus kematian yang ditemukan dan terjadi di dalam pelaporan ini, itu hanyalah puncak gunung es,” ungkap Dicky saat dihubungi Tirto pada Senin (15/8/2022).

Dia menerangkan, puncak gunung es di sini artinya yaitu angka kematian yang terjadi akibat COVID-19 masih jauh lebih besar dibandingkan yang dilaporkan atau ditemukan di Indonesia.

Oleh karena itu, hal ini harus menjadi sinyal serius untuk meninjau (review) dan memperkuat respons khususnya terkait apa yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia.

“Proteksi kepada kelompok rawan ini menjadi sangat penting dan pemberian booster (dosis penguat), apa itu dosis ketiga atau dosis keempat. Dan yang juga penting adalah jangan lupa namanya penemuan kasus dengan deteksi dini dengan 3T (testing, tracing, dan treatment), itu sangat penting,” sambung Dicky.

Dia menambahkan, pemerintah Indonesia juga harus meminimalisir potensi terjadinya transmisi atau penularan COVID-19 pada kelompok yang berisiko, dengan memberikan proteksi bukan hanya masalah 5M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas), tetapi juga terhadap temuan kasusnya.

“Atau setidaknya juga membangun literasi agar publik ini secara mandiri bisa mengisolasi diri, mengkarantina diri, memeriksakan diri, lebih meningkat gitu. Karena ini yang menjadi target atau strategi kuncinya,” kata Dicky.

Sementara itu, dia menjelaskan adanya peningkatan kasus kematian terhadap satu penyakit yang mewabah di tengah belum mencapai puncaknya dari gelombang yang terjadi, itu menandakan banyaknya kasus infeksi yang tidak terdeteksi, banyaknya kasus infeksi di masyarakat yang tidak cepat ditemukan, tidak cepat dirujuk, dan tidak cepat mendapat penanganan yang tepat.

Dan ini juga mengindikasikan sangat kuat bahwa kasus infeksi yang terjadi sudah mengarah atau mengenai kelompok yang berisiko di masyarakat atau paling berisiko tinggi di masyarakat.

Lanjut Dicky, antara lain lanjut usia (lansia) ataupun yang memiliki komorbid. Lalu, dia mengatakan bahwa indikator kematian merupakan indikator keparahan satu wabah.

“Artinya, situasinya buruk atau bisa jadi memburuk. Karena ini belum mencapai puncak, yang saya prediksi paling cepat pun akhir dari Agustus awal September, tapi masa kritis ini kan belum lewat,” ucap dia.

Kemudian Dicky menuturkan, kasus kematian ini umumnya terjadi setidaknya rata-rata dua-tiga minggu pasca si korban terinfeksi atau terpapar. Oleh karena itu, angka kematian yang terjadi ini pun merupakan akumulasi dari kegagalan proses di hilir sampai ke hulu.

“Kegagalan dalam menemukan kasus tadi sampai akhirnya dia menjadi korban. Jadi, angka kematian adalah indikator telak dari satu wabah hingga menggambarkan ketelatan berbagai respon,” terang dia.

Menurut Dicky, di sinilah pentingnya peran dari para ahli kesehatan masyarakat dalam setiap level untuk mengingatkan kepada pengambil kebijakan. Karena kesalahan dalam mengambil strategi kesehatan masyarakat, strategi pengendalian wabah, korbannya bisa mencapai puluhan ribu, jutaan, bahkan ratusan juta di dunia.

“Nah itu pentingnya peran dari public health (ahli kesehatan masyarakat), pendekatan public health yang tepat. Jadi berbeda dengan klinis, kalau klinis, pasien satu per satu, korbannya bisa satu atau yang dia tangani. Tapi kalau strategi yang salah, kebijakan yang salah atau tidak tepat atau terlambat, itu korbannya bisa, enggak akan satu-dua, itu korbannya bisa ribuan, puluhan ribu, sampai jutaan,” pungkas dia.

Baca juga artikel terkait KEMATIAN AKIBAT CORONA atau tulisan lainnya dari Farid Nurhakim

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Farid Nurhakim
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Restu Diantina Putri