tirto.id - Penanganan COVID-19 yang dilakukan pemerintahan Joko Widodo disorot Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari LaporCovid-19, ICW, YLBHI, LP3ES, dan Lokataru. Koalisi ini menilai pemerintah Jokowi gagal dalam penanganan pandemi yang dialami Indonesia sejak awal Maret 2020.
Inisiator LaporCovid-19 Irma Hidayah menyampaikan kritik pemerintah yang tidak bisa mencegah angka kematian akibat penanganan COVID-19 yang bermasalah. Menurut Irma, angka kematian seharusnya bisa ditekan sejak awal bila pemerintah melakukan pencegahan dan pengendalian secara cepat dan kuat.
Ia menilai, kondisi pandemi COVID-19 yang menggila saat ini akibat ketidakefektifan pencegahan, pengendalian, dan lebih mengedepankan pendekatan ekonomi.
“Pemerintah perlu mengakui bahwa kondisi sudah gawat darurat dan meminta maaf serta menunjukkan empati. Perlu berhenti melakukan komunikasi yang mencitrakan bahwa kita sedang baik-baik saja yang justru mengakibatkan rendahnya kewaspadaan masyarakat terhadap masifnya penularan COVID-19," kata Irma, Senin (5/7/2021).
Kepala Bidang Advokasi YLBHI M. Isnur menilai pemerintah harus bertanggung jawab atas kondisi COVID-19 yang semakin tidak terkendali. Ia mengingatkan, negara bertanggung jawab atas kesehatan rakyat sesuai UUD 1945 dan UU HAM. Hal ini diperkuat dengan UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Karantina Kesehatan yang menjadi instrumen dalam penanganan secara epidemiologis, tetapi tak diacuhkan oleh pemerintah.
“Pemerintah tidak menggunakan UU yang dibuat khusus untuk menangani pandemi, pemerintah abai tidak melaksanakan mandat pembentukan peraturan-peraturan turunan seperti Peraturan Pemerintah tentang Penanggulangan Darurat Kesehatan Masyarakat,” kata Isnur.
Isnur juga menilai, pemerintah enggan menggunakan UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Padahal, pemerintah punya tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Presiden Jokowi justru membuat status darurat kesehatan tanpa indikator jelas dan penentuan keberlakuan status tersebut, kata Isnur. Status darurat juga tidak diikuti dengan kewenangan, tata cara penetapan dan pencabutan status darurat kesehatan lewat regulasi setingkat peraturan pemerintah. Belum lagi masalah penetapan PPKM yang tidak jelas secara hukum.
“Status PPKM dilakukan oleh instruksi Kementerian Dalam Negeri, namun tidak ada dasar hukum, tidak ada UU," kata Isnur.
Sementara itu, akademisi dari Unair Herlambang P. Wiratraman menyebut pemerintah gagal dalam 3 hal. Pertama, kasus COVID semakin tinggi. Kedua, RS ambruk dan tidak ada ketersediaan oksigen dalam penanganan COVID sehingga banyak yang meninggal. Ketiga, angka tenaga kesehatan yang meninggal tinggi.
Herlambang menilai, kegagalan terjadi karena sejumlah alasan. Pertama, pemerintah abai, alih-alih menutup dan membatasi mobilitas, malah mempromosikan mobilitas dengan berwisata. Kedua, lambatnya pemerintah dalam menanggapi ledakan kasus, dan juga instruksi yang dikeluarkan harus dikeluarkan oleh presiden, bukan di level Kementerian dengan berdasarkan UU. Ketiga, pemerintah terlalu fokus pada ekonomi.
Keempat, kata dia, pemerintah masih denial alias menyangkal akan ledakan kasus. Kelima, pemerintah tidak mengupayakan secara sistematik upaya 3T, dan pembungkaman terhadap mereka yang menyuarakan atau mengkritisi penanganan pandemi.
Menurut Herlambang, banyaknya nyawa yang tidak tertolong karena kolapsnya rumah sakit merupakan bentuk kegagalan pemerintah Jokowi.
“Kematian yang tak bisa diantisipasi dengan penyediaan layanan medis, menunjukkan fakta jelas tentang kegagalan negara dan dapat disebut sebagai constitutional failure. Pemerintahan Jokowi harus meminta maaf terbuka dan menegaskan tanggung jawab hukum dan politiknya,” kata Herlambang.
Kegelisahan yang Beralasan
Pendapat para aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil ini tidaklah salah. Misal penilaian Irma Hidayah. Ia mengacu pada lonjakan kasus COVID-19 yang terus naik dan kasus kematian yang terus mencatatkan rekor. Berdasarkan data LaporCovid-19 misal, per 4 Juli 2021 ada 291 orang meninggal ketika isolasi mandiri di rumah.
Irma juga mengacu pada pemberitaan bahwa ada puluhan pasien di RS Sardjito meninggal karena kekurangan oksigen. Kasus di RS Sardjito, dalam catatan Tirto, merupakan satu dari rangkaian kesulitan pencarian oksigen beberapa waktu lalu seperti di Jakarta dan Garut.
Situasi kekurangan oksigen di RS Sardjito merupakan "lonceng" kolapsnya rumah sakit dalam menangani COVID-19. Kolapsnya fasilitas kesehatan diperkuat dengan 1.046 tenaga kesehatan meninggal per 5 Juli 2021 berdasarkan data LaporCovid-19.
Kekacauan penanganan juga diikuti dengan tidak ada upaya mengerem lonjakan kasus sejak awal. Hingga 4 Juli 2021, data nasional setidaknya mencatat 60.582 orang meninggal terkonfirmasi positif melalui hasil usap PCR.
Angka kematian terkait COVID-19 yang sebenarnya diperkirakan jauh lebih banyak karena memasukkan jumlah mereka yang meninggal dengan status probable, atau yang mengalami gejala klinis penyakit infeksius COVID-19.
Berdasarkan data 5 Juli 2021, ada penambahan kasus baru sebanyak 29.745 pasien. Angka ini memecahkan rekor tertinggi kasus positif sejak awal pandemi. Info terkini angka 29 ribu lebih merupakan kasus konfirmasi positif tertinggi sedunia, melebihi Rusia (24.353), Iran (16.025), Malaysia (6.387) dan Thailand (6.387). Sementara angka kematian berada di angka tertinggi yakni 558 orang meninggal sehingga total kasus meninggal mencapai 61.140 kasus.
Terbaru, pemerintah mengambil langkah penanganan COVID-19 dan ekonomi secara bersamaan dengan mengedepankan vaksinasi dan penerapan prokes. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemerintah meyakini kecepatan imunitas lewat vaksinasi dan penerapan protokol kesehatan menjadi kunci dalam penanganan COVID dan pemulihan ekonomi nasional.
Jokowi lantas menargetkan akselarasi vaksinasi mencapai 3 juta per hari demi mengejar kekebalan komunal dan demi menjaga pertumbuhan ekonomi, kata Sri Mulyani.
“Kenaikan jumlah yang divaksin untuk bisa mencapai bahkan 2 juta per hari atau bahkan kalau kita ingin menyelesaikan sebelum akhir tahun ini, maka diperlukan vaksinasi hingga mencapai 3 juta per hari pada periode Oktober-November yang akan datang. Ini sebuah target yang luar biasa tinggi," kata Sri Mulyani usai sidang kabinet, Senin (5/7/2021).
Demi memenuhi target tersebut, Jokowi meminta kerja sama semua pihak dalam pelaksanaan vaksinasi. Ia ingin vaksinasi berjalan pagi, siang hingga malam hari dengan melibatkan seluruh sumber daya mulai dari kementerian/lembaga, TNI-Polri, hingga seluruh dinas di pemerintah daerah untuk mencapai target tersebut.
“Inilah yang akan menjadi syarat penting untuk kita bisa terus menjaga ketahanan masyarakat dari COVID. Namun, di sisi lain kemudian pemulihan ekonomi bisa dijaga atau dipertahankan momentumnya,” kata dia.
Namun, rencana dua juta vaksinasi bahkan hingga tiga juta pun tidak sepenuhnya mendapat dukungan. Salah satu epidemolog Masdalina Pane, meragukan pemerintah bisa mencapai target 2 juta dosis per hari jika stok vaksin sendiri mengalami kendala.
"Persoalan vaksinasi itu bukan sekadar target sebenarnya, tapi ketersediaan vaksinnya ada atau enggak karena dari apa yang datang dari luar masih harus diproses lagi di Biofarma, enggak bisa langsung siap pakai," kata Masdalina kepada reporter Tirto, Jumat (2/7/2021).
Masdalina menambahkan, vaksin yang digunakan untuk menyuntik ke masyarakat tidak sebatas satu kali. Ia mencontohkan, negara punya stok vaksin sebanyak 30 juta dosis. Jika satu orang divaksin dengan dua dosis, maka hanya ada 15 juta dosis. Apabila memakai target Jokowi 2 juta per hari dengan kalkulasi vaksinasi pertama 1 juta dan vaksinasi kedua 1 juta, vaksin habis dalam kurun waktu 2 minggu.
Hal tersebut belum termasuk pemerintah harus menunggu vaksin diolah menjadi vaksin jadi karena vaksin datang masih dalam bahan baku. Proses pengolahan membutuhkan anggaran dan waktu yang tidak sedikit, kata Masdalina.
Tirto pun berusaha meminta klarifikasi dari Juru Bicara Satgas COVID-19 Wiku Adisasmito maupun Juru Bicara Kemenko Marves Jodi Mahardi via pesan WhatApps. Namun hal tersebut belum dijawab hingga artikel ini rilis.
Akan tetapi, Menko Kemaritiman dan Investasi yang juga koordinator PPKM darurat Jawa-Bali, Luhut Binsar Pandjaitan meminta semua pihak untuk bersatu dalam menangani COVID. Ia tidak ingin ada pihak saling memojokkan dalam penanganan COVID di Indonesia.
“Saya ingin tidak boleh ada yang main-main mengenai ini, kita harus kompak mengenai ini, dan saya minta sekali lagi jangan ada berita-berita memojokkan kiri-kanan, kita harus kompak menghadapi masalah ini. Karena masalah ini betul-betul masalah dunia," kata Luhut secara daring.
Purnawirawan jenderal bintang 4 ini beralasan, Jakarta sudah dikepung varian COVID delta. Ia menyebut, "Tadi dari data yang kami dapat bahwa 90% di Jakarta itu sudah varian Delta. Jadi varian data sudah ada 90% di kita, jadi kalau kita bermain-main, saya katakan tadi pasti bisa kena siapa saja di sekeliling Anda.”
Luhut mengaku, sejumlah pihak di Jabodetabek masih bermobilitas di tengah PPKM darurat. Ia ingin ketentuan PPKM darurat seperti work from home untuk pegawai sektor non-esensial tetap berjalan. Ia bahkan meminta Menaker Ida Fauziyah untuk menerbitkan surat larangan pemecatan jika ada pegawai sektor nob-esensial menerapjan WFH.
“Saya juga menegaskan agar seluruh karyawan yang dipaksa harus bekerja di kantor pada perusahaan sektor non-esensial agar segera melaporkan kepada pemerintah khususnya di wilayah DKI Jakarta melalui dinas Ketenagakerjaan masing-masing provinsi," kata Luhut.
Di sisi lain, kata Luhut, pemerintah juga berkomitmen dalam masalah kelangkaan obat dan harga obat yang berlebihan. Luhut menegaskan, pemerintah sudah menetapkan harga eceran tertinggi obat agar pengusaha tidak rugi dan warga mendapatkan akses obat. Luhut bilang, pemerintah bahkan berencana ambil tindakan tegas dengan merazia gudang hingga penegakan hukum.
“Saya tekankan apabila dalam tiga hari ke depan kami masih mendapatkan harga-harga obat cukup tinggi atau terjadi kelangkaan, maka kami akan mengambil langkah tegas dengan merazia seluruh gudang-gudang mereka yang sudah kami identifikasikan keberadaannya," tegas Luhut.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz