tirto.id - Selama dua abad eksistensinya, VOC (1602-1800) telah mengoperasikan lebih dari 4.700 kapal, sepertiga pada abad ke-17 dan kemudian berkembang dua kali lipat abad sesudahnya. Jumlah armada ini lebih besar dari seluruh armada kapal dagang Inggris, Spanyol, Portugis, Prancis dan Jerman pada periode yang sama jika digabungkan.
Namun, dari jumlah itu tercatat hanya 3.400 yang kembali ke kampung halaman. Dari yang tak kembali biasanya karena tiga sebab utama: karam (vergaan), kandas (afgelegd) dan diserang perompak (zeeroof/ piraterij).
Dalam Wrakkentelling (edisi revisi 2022), karya yang diterbitkan oleh Rijksdienst van het Culturelle Erfgoed (Dinas Warisan Budaya Kerajaan Belanda), Pemerintah Belanda memperkirakan kapal VOC tipe retourschip yang “hilang” (vergane), baik kategori wrecked (karam terlacak) maupun lost (tidak terlacak) lebih dari 700 buah dan kapal-kapal VOC yang melayani rute internal Asia lebih dari 100.
Namun, data tersebut masih terus bergerak dan bisa dipantau lewat situs yang terbuka untuk publik. Seluruh kapal VOC ini diklaim kepemilikan asetnya oleh Pemerintah Belanda di mana pun karamnya di dunia.
Salah satu dari ratusan kapal VOC yang bernasib nahas tersebut adalah Rust en Werk atau Rustenwerk. Dari data kapal VOC, Rustenwerk bertipe hekboot, yakni kapal kargo berserambi di mana bagian depan dan belakang yang luas serta buritan yang tinggi.
Panjang Rustenwerk 130 kaki (hampir 40 meter), berkapasitas 650 ton dan bisa dimuati 160 hingga 235 orang. Kapal tersebut dibangun pada 1734 untuk de Kamer van Delft pada VOC-werf (tempat pembangunan kapal) di Delfshaven.
Kapal ini terhitung berlayar sebanyak 13 kali pulang dan pergi dengan rute utama Goeree-Batavia-Goeree; tetapi pada 1748 pelayaran ke-7 kapal meleset dari rute dan nyasar ke Suriname. Akhir perjalanannya pada 1752 dengan sebab terdampar di Selat Buton setelah diserang para perompak.
Kisah atau tepatnya kronologis diserangnya kapal Rustenwerk direkam secara tertulis dalam: Twee-rampspoedige zee-reyzen, den enen . met een Fransch Oost Indiesch Compagnie-schip, genaamt Le Prince. Den anderen, met het Hollandsche Oost-Indische Compagnie schip, genaamt Rustenwerk.
Karya ini diterbitkan di Amsterdam, 1752, oleh Bernardus Mourik. Khusus tentang Rustenwerk, tidak jelas sumber sesungguhnya dari tulisan tersebut, yang pasti sumber mengalami langsung kejadian tersebut.
Dalam tulisan ini, penulis awalnya memberi pengantar bagaimana bangsa-bangsa Eropa saling bersaing mencari sumber rempah sebagai komoditi perdagangan sampai jauh ke negeri-negeri di Timur.
Kemudian, untuk memperkuat barisan, orang Belanda mendirikan VOC yang segera menjadi perusahaan dagang terkuat dan terkaya. Setelah membahas perkembangan teknik perkapalan, sumber di buku itu pun menyebut bahwa dalam menjalankan usahanya, VOC juga banyak kehilangan kapal, salah satunya Rustenwerk.
Rustenwerk berlayar pada 30 September 1749 berlayar dari Goeree ke kamar dagang VOC di Delft menuju Batavia, dengan nahkoda (schipper) Mazius Tetting, via Tanjung Harapan (de Kaap), Afrika Selatan.
Setelah sampai di Batavia dan bongkar muat, 9 Februari 1752 kapal bertolak ke Ternate dan sampai pada 8 April. Para awak menghabiskan 22 hari di sini menunggu pemuatan barang dan mereka berkunjung ke berbagai tempat menikmati keindahan pulau.
Sumber menyebut, pulau itu salah satu dari Kepulauan Maluku (Molukkische Eilanden), yang terdiri dari: Ternate, Machian, Tidor, Motir, dan Bachian, dan semuanya memandang VOC sebagai pengayom (oppersten) mereka. Setelah selesai memuat, kapal Rustenwerk bertolak ke Ambon (Amboina) pada Mei 1752, dengan awak selain orang Eropa juga sejumlah pribumi.
Namun, akibat dari kerasnya angin sakal perjalanan jadi lebih lama sehingga kapal kehabisan stok air minum. Karenanya, mereka memutuskan singgah dulu di Buton untuk mengambil air, dan mencatat melempar jangkar pertama kali pada 22 Juni 1952.
Para awak kapal Rustenwerk yang jumlahnya lebih dari 100 orang bergantian mengambil air ke daratan dengan perahu-perahu mereka. Setelah tong-tong air penuh, mereka berniat segera pergi, tetapi kapten kapal menunda setelah berkenalan dengan seseorang bernama Frans Fransz.
Dan di sinilah awal musibah itu terjadi. Frans berteman dan bahkan tinggal dekat dengan Syahbandar Buton, orang ketiga setelah Raja khususnya dalam relasi dengan bangsa asing. Frans meyakinkan kapten untuk berdagang, karena dia mengaku wakil dari syahbandar.
Membayangkan kesepakatan dagang signifikan, kapten pun melakukan pembicaraan dagang di daratan, tapi belum tercapai. Pada 24 Juni 1752, Frans dan syahbandar mengunjungi kapal Rustenwerk, yang disambut dengan penghormatan tembakan meriam dan dijamu makan dan minum, setelah mana dilanjutkan perundingan. Lagi-lagi, tidak ada kata sepakat, sehingga kapten diundang lagi ke darat.
Tanggal 25 Juni 1752 kapten mengunjungi syahbandar dan mendapat jamuan balasan, di mana setelahnya satu kesepakatan dagang pun dibuat. Namun, ketentuannya Frans sendiri dan anggotanya yang akan menjemput barang-barang di kapal yang akan dibeli. Penjemputan ini dilakukan 28 Juni 1752.
Akan tetapi, di luar dugaan, Frans membawa sejumlah perahu dengan 450 lebih orang bumiputra (disebut sumber orang-orang Bokka) mendatangi kapal. Melihat gelagat kurang bagus, nakhoda Andries Wylander memperingatkan kapten untuk tidak membiarkan mereka semua naik ke kapal karena bisa tenggelam.
Namun, sang kapten justru menyuruhnya untuk tidak turut campur. Sementara itu, Frans naik ke kapal dan kembali dijamu kapten untuk minum sambil membahas dagangan. Setelah beberapa waktu berkeliling, hari pun mulai sore dan Frans Franz kembali ke perahu.
Akan tetapi, tak lama kemudian dia naik kapal kembali bersenjatakan pedang dan pistol dengan orang-orang Bokka. Mereka menyerang para awak kapal yang sedang tidak siap. Frans sendiri menusuk sang kapten tiga kali. Para awak Rustenwerk jadi kalang kabut dan masuk bersembunyi ke berbagai ruangan dalam kapal.
Dalam kejadian ini, setidaknya 12 orang terbunuh dan puluhan lain luka-luka. Yang masih selamat dikumpulkan dengan dipanggil satu per satu. Total 49 orang dari yang diabsen hadir di hadapan Frans.
Frans mengatakan, “Aku ini sekarang bos kapal ini, majikan dan komandan kalian: apa yang kalian pilih, mau menjadi pengikutku yang setia atau masih ingin tetap bekerja dengan Kompeni?”
Namun, sebagian besar menolak, dan memohon agar dibiarkan pergi. Frans malah menyuruh mereka memuat peti-peti uang kompeni ke perahu-perahu, di bawah ancaman bunuh. Setelah dilakukan dengan terpaksa, kembali mereka memohon agar dilepas saja. Frans bergeming.
Permohonan ini diulang-ulang terus dengan beragam cara pinta dan bujukan hingga Frans jadi gusar. Mereka akhirnya dibiarkan pergi kecuali 6 orang Eropa dan 13 orang Ternate. Tiga puluh lainnya diizinkan pergi dengan terlebih dulu dibekali makanan untuk 4 hari menggunakan satu perahu boot.
Mereka akhirnya sampai di Makassar 3 Juli 1752 dan langsung melapor kejadian nahas tersebut kepada para pembesar di markas VOC. Kemudian diputuskan mengirim 5 kapal sloep dengan sejumlah pasukan untuk mengejar para perompak tersebut yang berangkat tanggal 17 Juli 1752.
Dalam ekspedisi ini berhasil diculik syahbandar yang bersekongkol dengan Frans. Beberapa hari kemudian juga terlacak Rustenwerk terdampar di antara karang Pulau Kabaena. Para perompak sendiri membuat benteng di sana dengan artileri milik kapal Rustenwerk.
Tembakan meriam dan senapan serta arus kuat membuat pimpinan ekspedisi memutuskan menunda operasi dan kembali ke Makassar, lalu sampai di sana 30 Oktober 1752, membawa sang syahbandar ke hadapan pembesar VOC.
Yang tidak diceritakan dalam kejadian tersebut adalah siapa sebenarnya dalang utama perampokan tersebut. Suryadi dalam "Goyangan Goyangan telunjuk Fort Rotterdam kepada Istana Wolio: transliterasi dan sigian tekstual-historis terhadap naskah EAP212/6/3" menyebut dua pendapat berbeda soal Frans.
Yang satu menyatakan dia adalah orang Bugis yang jadi juru bahasa VOC di Bulukumba, sementara pendapat lain dia adalah orang Belanda atau Eropa yang membangkang terhadap VOC, tersirat dari namanya yang bukan asli bumiputra.
Dalam karyanya yang cukup representatif tentang Buton, "Beschrijving en Geschiedenis van Boeton" A Ligtvoet pejabat Belanda di Makassar di pertengahan abad 19, lima kali menyebut nama Frans. Meski tidak menyebut asal usul, Frans disebut sebagai mantan penerjemah (gewezen tolk) di Bulukumba dan pernah ditahan di penjara militer pada September 1750 karena terlibat perampasan perahu, tapi berhasil kabur 2 bulan kemudian untuk bergabung dengan sejumlah kaum pribumi.
Karena VOC sudah tahu Frans jadi dalang perampokan Rustenwerk, maka dikirimlah ekspedisi awal 1753 untuk menghukumnya di bawah pimpinan onderkoopman Barnelius, dengan dua kapal VOC, dibantu oleh kapten orang-orang Melayu di Makassar, Abdul Qadir, bersama pasukannya, beserta sejumlah orang Tanette dan Bima.
Dalam ekspedisi ini, Frans diketahui bermarkas di Pulau Kabaena sehingga diserang habis-habisan di sana. Dalam serbuan VOC ini, Barnelius tewas, tapi Frans pun juga mati dibunuh Abdul Qadir, sementara puluhan pengikut sang perompak dibawa sebagai tahanan ke Makassar.
Di antara barang rampasan Frans, ditemukan sejumlah dokumen korespondensinya dengan dua orang Eropa di Makassar, salah satunya pejabat pajak VOC.
Meskipun episode dalang perampokan kapal VOC sudah berakhir, tetapi Kesultanan Buton mendapat dampak luar biasa setelahnya karena dianggap membiarkan perampokan itu terjadi.
Pada 1755 VOC melakukan serbuan besar-besaran ke istana Buton dengan banyak korban pembesar kerajaan dan kemudian terpaksa harus menandatangani kontrak yang salah satunya membayar ganti rugi 1.000 budak atas kejadian Rustenwerk.
Meskipun kemudian, setelah serangkaian negosiasi dan pembaharuan kontrak-kontrak, Kesultanan Buton tetap dalam relasi transaksional setara dengan VOC dan tidak tunduk padanya seperti banyak Kerajaan lain di Sulawesi.
Dari perampokan yang terbilang amat bernyali ini yang dilakukan sejumlah bumiputra di Buton pada abad 18 yang mungkin dari sumber-sumber sepihak terlihat murni motif keinginan merebut harta VOC, sebenarnya boleh jadi memiliki motif-motif lain yang lebih rumit seperti misalnya bentuk perlawanan terhadap monopoli VOC.
Dan barangkali perlu lebih mendalami lagi identitas dalang perampokan ini, Frans Fransz, yang masih belum jelas apakah ia orang bumiputra atau bukan.
Penulis: Novelia Musda
Editor: Nuran Wibisono