Menuju konten utama

Nasib Pekerja di Balik Kampanye Boikot Produk Afiliasi ke Israel

Ekonom dari CORE Yusuf Rendy Manilet melihat, gerakan boikot dilakukan sejumlah masyarakat secara umum merupakan hal lumrah.

Nasib Pekerja di Balik Kampanye Boikot Produk Afiliasi ke Israel
Ilustrasi Boikot Israel. foto/IStockphoto

tirto.id - Ada rasa kekhawatiran yang berlebih dari dalam diri Cika (bukan nama asli). Pekerjaannya yang terhitung baru seumur jagung di salah satu resto cepat saji ‘menjadi taruhan’ di tengah aksi boikot yang dilakukan sejumlah negara, termasuk Indonesia. Seruan boikot, belakang ramai dan menjadi salah satu trending topik di media sosial X setelah konflik antara Israel dan Palestina kembali pecah.

Resto tempat Cika berkerja termasuk yang menjadi bulan-bulanan massa. Seingat Cika, ada sekitar 30-40 massa berkumpul persis di sebrang resto beberapa waktu lalu. Mereka membentangkan sepanduk bertuliskan bermacam-macam. Pada intinya, seluruh kalimat itu merupakan seruan boikot terhadap produk-produk Israel.

“Setahu aku [di daerah sini] yang diboikot baru dua,” kata dia menceritakan kepada reporter Tirto, Jumat (3/11/2023).

Aksi tersebut, membuatnya was-was. Memikirkan bagaimana nasib pekerjaannya ke depan. Isi otaknya penuh pertanyaan bercabang. Pikirnya, jika seruan boikot berlarut panjang bagaimana nasibnya? Jika resto sepi, pendapatan perusahaan otomatis berkurang. Kalau berkurang bagaimana perusahaan ini bertahan bisa menggaji dan mempertahankan karyawannya?

“Ketakutan ada, ada konsekuensi yang bakal diterima pastinya,” imbuh dia.

Cika berharap, seruan aksi boikot di Indonesia ini tidak menjadi lebar dan besar seperti terjadi di beberapa resto negara lain. Terlebih banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya di tempat tersebut, termasuk tempat yang dia saat ini bekerja.

“Harapannya tentu masyarakat bisa bijak dalam hal ini. Banyak ratusan atau mungkin ribuan orang bergantung hidupnya di sini," kata Cika.

Sama halnya dengan Cika, Taufan (bukan nama sebenarnya) yang bekerja di salah satu perusahaan kopi dan jaringan kedai kopi global ini turut merasakan ketakutan yang sama. Dia khawatir, narasi atau ajakan boikot turut memengaruhi neraca keuangan perusahaannya. Dampak panjangnya nasib pekerjaannya bisa menjadi taruhan.

“Ketakutan pastinya ada. Apalagi sekarang banyak meme-meme di media sosial bertebaran menampilkan kesan negatif,” kata dia kepada reporter Tirto, Jumat (3/11/2023) malam.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad menilai, perusahaan-perusahaan besar yang masuk dalam daftar boikot biasanya punya kemampuan finansial besar. Artinya daya tahannya bisa sampai berbulan-bulan sekalipun pendapatannya turun.

“Tapi memang kalau misalnya ini berlanjut dan bisa lebih dari enam bulan, bisa saja terjadi pengurangan pegawai, tapi tidak besar-besaran sih. Mereka juga sangat memperhatikan isu ini apalagi mereka mengutamakan brand,” kata Tauhid saat dihubungi Tirto, Jumat (3/11/2023).

Tauhid menambahkan, “Artinya bukan pertama kali juga mereka hadapi boikot seperti ini. Jadi sudah punya SOP-nya yang saya lihat.”

Masyarakat Perlu Bijak & Tak Asal Boikot

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Keagamaan, Ahmad Fahrurrozi, meminta kepada masyarakat agar bijak untuk melakukan aksi boikot. Pertama, harus jelas dahulu siapa perusahaan yang memang resmi menjadi donatur Israel agar tidak salah sasaran.

Sebab faktanya, sumbangan makanan untuk tentara Israel hanya dilakukan secara sepihak oleh McD Israel dan bukan kebijakan yang dibuat oleh McDonald’s itu sendiri.

Menyusul serangan di Sidon, McD Lebanon sempat memberikan klarifikasi bahwa apa pun aksi yang dilakukan oleh McD Israel tidak mewakili pandangan dari McD Lebanon. Mereka juga menegaskan bahwa McD Lebanon sama sekali tidak terlibat dalam aksi donasi yang dilakukan oleh McD Israel.

Pernyataan serupa juga dikeluarkan oleh pihak McD di beberapa negara lain. Contohnya McD di Oman, Uni Emirat Arab, Turki, hingga Kuwait yang menyatakan bahwa mereka tidak sejalan atau satu pikiran dengan McD Israel.

Sementara PT Rekso Nasional Food sebagai pemegang waralaba McDonald’s Indonesia juga sudah merilis pernyataan resmi terkait kontroversi aksi yang dilakukan oleh McDonald’s Israel.

Manajemen dengan tegas menyatakan bahwa McDonald's Indonesia merupakan entitas yang beroperasi secara independen dan tidak terafiliasi dengan kegiatan operasional maupun keputusan McDonald's di negara lain, termasuk McDonald's Israel.

“Bagi yang tetap ingin membeli produk mereka juga tidak apa-apa, silakan saja dan tidak haram hukumnya membeli produk Israel secara bisnis murni, ini adalah soal solidaritas kemanusiaan saja," ujar pria yang akrab disapa Gus Fahrur itu kepada Tirto, Jumat (3/11/2023).

Menurut Gus Fahrur, tekanan ini sifatnya juga sementara agar mereka mau gencatan senjata. Ini juga mempertimbangkan risiko jika terus menerus melakukan kekejaman kemanusiaan di Palestina, karena modal utama perang dan pembelian senjata adalah industri dan ekonomi.

“Cara damai yang bisa dilakukan dengan efektif mampu menekan Israel jika dilakukan bersama oleh seluruh masyarakat internasional,” ujar dia.

Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet melihat, gerakan boikot dilakukan sejumlah masyarakat secara umum merupakan hal lumrah. Apalagi ini karena wujud dari kekecewaan atau perlawanan terhadap kondisi tertentu yang dilakukan oleh masyarakat atau golongan.

“Kalau kita lihat memang gerakan boikot dilakukan untuk memberikan efek kepada produk yang diboikot dengan harapan bahwa ketika produk tersebut terdampak dengan adanya hasil boikot, maka mereka akan melakukan penyesuaian," ujar dia kepada Tirto, Jumat (3/11/2023).

Dia menuturkan, jika bicara konteks boikot produk Israel atas dasar kemanusiaan yang terjadi di Palestina tentu menjadi hal wajar juga. Kemudian ini direspons oleh banyak konsumen dari Indonesia mengekspresikan simpatinya dengan melakukan boikot produk-produk tertentu.

"Apakah akan ada konsekuensi dari hal tersebut? Sudah tentu jelas bahwa ada potensi-potensi [berdampak kepada karyawan] bisa terjadi ketika boikot dilakukan secara masif dan secara bersamaan," kata dia.

Namun tentu, kata Yusuf, kita tidak boleh lupakan bahwa tujuan melakukan boikot produk itu adalah menekan produk tersebut agar tidak memberikan dana kepada pihak lain yang dianggap akan merugikan dalam konflik Palestina dan Israel. Penekanan inilah yang kemudian perlu menjadi gerakan bersama.

“Ini bisa menjadi dorongan agar konflik yang tengah terjadi itu bisa selesai dan syukur-syukur bisa menghasilkan solusi antara kedua negara," kata dia.

Ilustrasi Boikot Israel

Ilustrasi Boikot Israel. foto/istockophoto

Boikot Dinilai Bukan Solusi

Terlepas dari konflik tersebut, Tauhid Ahmad mengatakan, boikot bukan menjadi salah satu solusi dalam menyelesaikan masalah. Karena terlepas dari itu, banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya di perusahaan-perusahaan tersebut.

“Memang boikot bukan solusi ya. Tapi itu cara protes banyak orang ini negara demokrasi," ujar dia.

Dia memahami bahwa di balik aksi boikot ini ada tujuan politiknya, yakni menginginkan adanya upaya damai. "Istilahnya mencari atensi untuk damai karena apa pun perang tidak bagus buat semua negara,” kata Tauhid.

Hal senada disampaikan Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafid. Dia menegaskan bahwa aksi boikot komoditas terhadap Israel tidak diperlukan. Sebab menurutnya aksi tersebut tak menyelesaikan permasalahan perang antara Israel-Palestina.

“Enggak (perlu), kita kalau boikot-boikot janganlah, boikot juga enggak menyelesaikan masalah," kata dia dalam pernyataannya, Jumat (3/11/2023).

Meski demikian, anggota Fraksi Partai Golkar ini memandang penting bagi Indonesia untuk bersikap keras di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas situasi yang terjadi di Gaza.

“Kalau kita bersikap keras di PBB harus. Jadi, kita kerasnya yang insyaallah bawa manfaat dan ada konkretnya, seperti sikap presiden yang sudah tegas, tinggal bagaimana di PBB kita bisa menggalang. Kalau boikot-boikot saya rasa tidak usah," ujar dia.

Terlebih, jabatan Indonesia yang duduk di Anggota Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB bukan hanya prestasi, melainkan juga sebuah tanggung jawab yang besar. Di antaranya untuk menyuarakan ihwal pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di Gaza.

“Artinya untuk apa jadi anggota Dewan HAM kalau kemudian kita tidak berhasil menyuarakan hal-hal yang memang kita rasa perlu, khususnya terkait Palestina,” kata Meutya menegaskan.

Baca juga artikel terkait BOIKOT PRODUK ISRAEL atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz