Menuju konten utama
Mozaik

Narasi Lokal dan Tragedi yang Terkubur di Lubang Buaya

Di balik memori kolektif yang tertancap kuat soal G30S, Lubang Buaya menyimpan kisahnya tersendiri yang lahir dari masa lampau yang bercampur mitos.

Narasi Lokal dan Tragedi yang Terkubur di Lubang Buaya
Sumur Lubang Buaya. wikimedia/Chris Woodrich

tirto.id - Di bawah langit muram, truk militer melaju pelan menembus semak belukar. Lampu sorotnya menyingkap wajah-wajah tegang: para jenderal yang diculik, tangan terikat, mata menatap gelap yang tak memberi jawaban. Di sisi lain, pasukan bersenjata berdiri kaku.

Hanya derap sepatu, bisikan perintah, dan musik latar yang kian mencekam, mengiris sunyi. Di sebuah bangunan sederhana, para jenderal diikat dan diinterogasi sebelum akhirnya digiring satu per satu.

Kamera menyorot dengan sudut rendah dan pencahayaan temaram saat salah satu adegan silet ditarik pelan di atas kulit, cukup untuk membuat penonton menutup matanya sembari menggenggam tangan satu sama lain. Tubuh-tubuh itu kemudian dijatuhkan ke dalam sumur tua berdiameter 75 sentimeter dan kedalaman 12 meter di pinggiran Jakarta Timur: Lubang Buaya.

Penonton tak diberi ruang untuk berpaling sebab kamera menuntut untuk terus menyaksikan, mengingat, dan menggigil. Film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI (1982) yang menggambarkan peristiwa pada malam 30 September 1965 itu berhasil menjadi alat pembentuk memori dari generasi ke generasi.

Kawasan Lubang Buaya sejak itu menjadi simbol bengis dan pengkhianatan, diabadikan dalam narasi resmi negara.

Di Antara Buaya dan Banjir

Nama Lubang Buaya diyakini dalam beberapa versi. Wilayah ini dulunya merupakan daerah rawa yang berimpitan dengan Kali Sunter yang bermuara di Teluk Jakarta. Pada masa lalu, sungai ini dikenal menjadi habitat buaya.

Kata “lubang” merujuk pada ceruk atau liang di tepi sungai tempat buaya bersembunyi atau bertelur. Menurut penelitian Lilie Suratminto dari Universitas Indonesia, penamaan semacam ini lazim dalam tradisi toponimi Betawi, yakni nama tempat sering diambil dari suasana atau keadaan setempat, termasuk alam atau hewan yang dominan di wilayah tersebut.

Narasi lain datang dari kisah Pangeran Syarif bin Syeikh Abdul Rahman atau Datok Banjir pada abad ketujuh. Merujuk jurnal Local History & Heritage, ia disebut dalam berbagai cerita lisan dan sumber lokal sebagai manusia pertama yang menghuni kawasan tersebut secara spiritual dan sosial, sekaligus sebagai penjaga wilayah dari gangguan makhluk gaib.

Kawasan Alam Lubang Buaya

Kondisi lahan yang dijadikan tempat pembuangan sampah oleh Sudin Pertamanan dan Hutan Kota (Tamhut) di Jalan Rawabinong, Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur, Rabu (18/12/2024). ANTARA/Syaiful Hakim

Menurut cerita rakyat yang berkembang di masyarakat sekitar Cipayung dan Pondok Gede, Datok Banjir merupakan keturunan ulama Arab atau Melayu, kemungkinan besar dari jalur Sayyid atau Syarif, yang datang ke wilayah Batavia untuk berdakwah.

Dalam satu kisah yang paling populer, ia diminta oleh warga untuk mengatasi gangguan siluman buaya putih yang bersemayam di lubuk sungai di kawasan Kali Sunter. Konon, buaya-buaya tersebut bukan hanya buaya fisik, tetapi juga buaya gaib yang mencelakai warga yang hendak menyeberang sungai.

Dalam pertarungan spiritual yang disebut dalam cerita lisan, Datok Banjir berhasil menaklukkan siluman tersebut, dan sejak saat itu wilayah itu disebut sebagai Lubang Buaya yang berarti lubang tempat buaya (baik nyata maupun gaib) bersemayam dan kemudian dikalahkan.

Masih menurut cerita lisan masyarakat setempat, saat pasukan Belanda mencoba menguasai wilayah Lubang Buaya, Pangeran Syarif memanjatkan doa yang menyebabkan pasukan Belanda melihat wilayah Lubang Buaya sebagai lautan air banjir, sehingga mereka tidak berani masuk atau menyerang.

Peristiwa tersebut dianggap sebagai bentuk karamah yang dimilikinya dan sejak saat itu masyarakat menyebutnya sebagai Datok Banjir. Ia dimakamkan di kompleks makam keramat Lubang Buaya, yang hingga kini kerap dikunjungi peziarah. Di sana terdapat beberapa nisan yang diyakini sebagai milik Datok Banjir dan keluarganya, serta para tokoh lokal.

Dengan kisah-kisah ini, Lubang Buaya tampil sebagai ruang yang punya identitas sendiri. Ia tak hanya dibentuk oleh tragedi nasional, tapi juga oleh ingatan lokal yang hidup. Sebuah lanskap memori yang tak tunggal, tapi saling berdampingan.

Demografi Sosial Masa Kolonial

Kawasan Lubang Buaya pada masa kerajaan merupakan bagian dari wilayah penyangga yang menghubungkan pelabuhan Sunda Kelapa dengan pedalaman. Sebagaimana terdapat dalam catatan Portugis, Sunda Kelapa telah menjadi pelabuhan penting sejak abad ke-12 dan merupakan pelabuhan utama Kerajaan Pajajaran.

Dalam perkembangannya, koneksi melalui sungai-sungai seperti Ciliwung dan Kali Sunter menjadikan kawasan Lubang Buaya sebagai bagian dari jalur perdagangan dan dakwah Islam yang menghubungkan pesisir dengan pedalaman.

Pada awal abad ke-20, Lubang Buaya merupakan wilayah rawa-rawa dengan kondisi lahan yang terbuka dan berlahan basah. Wilayah ini konsisten tercatat pada pemetaan dengan nama “Loebangboeaja” atau “Loebangboewaja” dalam ejaan Belanda.

Pada peta tahun 1902 terbitan Topographisch Bureau Batavia, Lubang Buaya masih tergolong pedalaman dengan dominasi vegetasi alami seperti hutan bambu dan belum terlihat jaringan jalan besar atau permukiman padat.

Memasuki tahun 1914, mulai terlihat keterhubungan dengan wilayah Batavia dan sekitarnya. Jalur-jalur jalan sekitarnya mulai terbentuk seperti kehadiran Stasiun Klender yang beroperasi pada 1909. Karena bukan jalur kereta api, Lubang Buaya sebagai wilayah rural di selatan Klender, bergantung pada stasiun kecil itu untuk akses transportasi.

Sebagai stasiun penghubung, stasiun Klender melayani kereta uap untuk penumpang dan gerbong khusus pikoenlanwagen untuk angkutan barang. Rutenya menghubungkan para petani, pedagang, dan pekerja perkebunan ke Batavia atau Bekasi.

Masa itu, meski terlihat ada infrastruktur pos militer dan perkebunan, Lubang Buaya masih didominasi oleh areal lahan terbuka, rawa, dan hutan karet yang belum terlalu padat penduduknya.

Memasuki dekade 1930-1940, Lubang Buaya mulai menunjukkan tanda-tanda perkembangan, terutama dengan adanya perluasan permukiman dan penggunaan lahan yang lebih terorganisasi, meski masih didominasi oleh lahan hijau dan hutan karet.

Populasi wilayah mulai bertambah seiring pembangunan infrastruktur dan kemunculan fungsi baru, terutama kedekatannya dengan Lapangan Terbang Cililitan (Bandara Halim Perdana Kusuma) yang beroperasi sejak 1924. Peta 1940 menunjukkan pertumbuhan fasilitas pendukung serta akses jalan raya dan jalur kereta api yang mulai terbentuk lebih baik dibandingkan dekade-dekade sebelumnya.

Lubang Buaya mulai menjadi wilayah yang lebih strategis terutama pada masa sebelum dan saat Perang Dunia II. Kawasan ini mulai diketahui sebagai lokasi pelatihan militer pada pertengahan 1960-an.

Pergeseran Makna Wilayah

Setelah Indonesia merdeka, kawasan Lubang Buaya mulai mengalami perubahan administratif. Pada tahun 1949, wilayah ini merupakan pemekaran dari Desa Jati Rahayu, Kabupaten Jatinegara. Kemudian pada sekitar tahun 1976, Lubang Buaya yang sebelumnya masuk wilayah Kecamatan Pondok Gede, Kabupaten Bekasi, dialihkan menjadi salah satu kelurahan di Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur.

Pada masa awal kemerdekaan, kawasan ini masih mempertahankan karakteristiknya sebagai daerah perkebunan karet dengan populasi yang sangat sedikit. Bahkan sebelum peristiwa G30S, hanya terdapat 13 rumah yang menyebar berjauhan di berbagai lokasi di Lubang Buaya.

Kondisi ini berubah drastis ketika pada 31 Mei 1965, kawasan Lubang Buaya dipilih sebagai tempat pelatihan “angkatan kelima” yang terdiri dari buruh dan tani yang dipersenjatai. Menurut Ulf Sundhaussen dalam The Road to Power: Indonesian Military Politics,1945-1967 (1982:193), program tersebut digagas Presiden Sukarno yang mendapat tentangan keras dari pimpinan Angkatan Darat.

Kelurahan Lubang Buaya

Kelurahan Lubang Buaya. foto/https://timur.jakarta.go.id/

Nama Lubang Buaya kemudian mengalami pergeseran makna yang sangat kuat setelah peristiwa G30S. Peristiwa ini memicu gelombang pembersihan antikomunis dan loyalis Sukarno yang meluas dan mengakibatkan perubahan besar dalam tatanan politik dan sosial negara.

Dampak sosial yang paling terasa adalah terciptanya trauma kolektif dan stigmatisasi terhadap segala hal yang berkaitan dengan ideologi komunis. Pada tahun 1967, Presiden Soeharto membebaskan 14 hektare lahan di Lubang Buaya dari permukiman warga untuk pembangunan kompleks Monumen Pancasila Sakti yang diresmikan pada 1 Oktober 1973 sebagai pengingat peristiwa tragis tersebut.

Selama masa Orde Baru, narasi tentang Lubang Buaya sebagai tempat pembunuhan para jenderal menjadi wacana dominan yang disosialisasikan melalui berbagai media termasuk film wajib Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI (1982), kurikulum sekolah, dan museum.

Penelitian akademis Yoseph Yapi Taum menunjukkan bahwa narasi resmi tentang Lubang Buaya telah mengalami proses pemitosan yang kompleks. Beberapa detail dalam cerita resmi, seperti penyiksaan mengerikan di Lubang Buaya, ternyata tidak ditemukan buktinya dalam data visum dokter. Hal ini memunculkan diskusi akademis tentang perlunya keseimbangan narasi dalam memahami peristiwa 1965.

Pada 2021, jumlah populasinya melonjak 62 ribu menjadi lebih dari 78 ribu pada 2024. Wilayah ini terbagi dalam 12 RW dan 117 RT, menandakan struktur sosial yang rapat dan aktif.

Hari ini, Lubang Buaya tidak hanya hidup dalam kenangan sejarah. Ia menjelma dari rawa dan hutan karet menjadi sebuah kelurahan urban yang dinamis dan padat penduduk.

Baca juga artikel terkait LUBANG BUAYA atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Mozaik
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi