tirto.id - Yasser Arafat adalah sosok yang kontroversial. Di satu sisi, pendiri Palestine Liberation Organization (PLO) ini dianggap sebagai perwujudan tekad abadi warga Palestina untuk merdeka dari belitan bangsa Israel. Di sisi lain, karismanya pelan-pelan meluruh seiring munculnya kelompok Hamas yang dianggap lebih militan dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina dari Israel.
Namun, hal tersebut tampaknya tidak serta-merta mengurangi penghargaan rakyat Palestina atas perjuangan Yasser Arafat pada masa lalu. Hal ini dibuktikan dengan diresmikannya Museum Yasser Arafat pada 2016. Museum ini dibangun sejak 2010 dan menghabiskan biaya hingga tujuh juta dolar AS.
Museum Yasser Arafat didirikan di Kota Ramallah, Tepi Barat, Palestina, di atas lahan seluas 2.600 meter persegi. Uniknya, museum ini dibangun tepat di atas kompleks persembunyian Arafat (Muqata) saat menghadapi gempuran tentara Israel, khususnya saat peristiwa Intifada kedua pada awal dekade 2000-an. Museum ini sangat dekat dari lokasi mausoleum tempat Arafat dikebumikan.
Memorabilia Pemimpin dan Palestina
Museum Yasser Arafat menampilkan beragam koleksi benda-benda pribadi Arafat, khususnya memorabilia yang terkait dengan perjuangannya membebaskan Palestina dari Israel. Berdasarkan laporan New York Times, museum ini menampilkan memorabilia seperti kaffiyeh (ikat kepala khas Arab) bercorak hitam-putih khas Arafat, seragam ala militer yang selalu dikenakannya, kaca mata hitam yang dipakai Arafat saat berpidato di depan Majelis Umum PBB pada 1974, serta sejumlah pena dan kertas-kertas berisi tulisan tangan Arafat.
Museum ini juga menjadi semacam kapsul waktu yang merekam perjuangan dan penderitaan rakyat Palestina di bawah pendudukan Israel. Membentang sepanjang empat koridor dan dua lantai, pengunjung museum disuguhi oleh foto-foto dan video yang memajang momen-momen penting dalam perjuangan rakyat Palestina melawan Israel.
Lini masa yang dipilih dalam foto-foto dan video tersebut dimulai saat negara Israel terbentuk pada 1948 hingga meninggalnya Arafat pada 2004. Warsa 1948 dijuluki oleh rakyat Palestina sebagai “Nakba” yang secara harfiah berarti “bencana”, itu adalah tahun lahirnya Israel sebagai sebuah negara bagi bangsa Yahudi sekaligus awal mula penindasan serta perampasan tanah Palestina.
Momen-momen kunci yang dijalani Arafat selama memimpin Palestina pun tak luput menjadi sorotan, antara lain pengasingan di Tunisia dan Lebanon, pidato di depan Majelis Umum PBB pada 1974, kembali memimpin perjuangan di Tepi Barat, penghargaan Nobel 1994 bersama Yitzhak Rabin, dan Intifada pertama serta kedua.
Rangkaian foto di museum ini juga merekam saat-saat puncak maupun titik terendah Arafat: jabat tangan dengan Presiden AS Bill Clinton serta Perdana Menteri Ehud Barak serta ketika tempat persembunyian Arafat di Muqata, dikepung oleh tank-tank dan bulldozer tentara Israel.
Selain itu, beberapa peristiwa tragis yang sempat dikutuk dunia internasional seperti pembunuhan atlet-atlet Israel di Olimpade Munich 1972, pembajakan pesawat Air France di Bandara Entebbe, Uganda, serta pasukan bom bunuh diri yang dikerahkan saat Intifada pertama dan kedua berusaha ditampilkan seutuhnya.
Salah satu bagian yang paling menarik dari museum ini adalah sebuah kamar tidur kecil berukuran 5 meter persegi yang menjadi tempat Yasser Arafat menghabiskan hari di tahun-tahun terakhir hidupnya. Ruang kamar ini terdiri dari sebuah tempat tidur kayu dan lemari yang di dalamnya terdapat beberapa pakaian dan penutup kepala kotak-kotak. Terdapat juga sebuah meja dengan lampu baca, sejadah, dan sebuah lukisan karya anak bungsu Arafat, Zahwa. Ruangan ini disebut Muqata yang terhubung langsung dengan bangunan utama museum.
“Sosok Arafat memang sangat identik dengan perjuangan rakyat Palestina,” ujar Nabeel Kassis, ketua komite Museum Arafat, seperti dikutip dari Daily Mail.
Hal ini juga diamini oleh Mohammad Halayqa, direktur Museum Arafat, yang menyebutnya sebagai sosok paling vital dalam lintasan sejarah perjuangan rakyat Palestina.
“Gagasan utama dari museum ini adalah sebagai institusi budaya, edukasi, sekaligus tempat untuk mengenang Arafat,” papar Nasser al-Kidwa, keponakan Arafat sekaligus ketua yayasan Yasir Arafat Foundation, seperti dikutip dari New York Times.
“Kami berusaha melakukannya dengan semaksimal dan seakurat mungkin, tanpa maksud untuk melebih-lebihkan atau menguranginya,” imbuhnya.
Kematian yang Menyisakan Tanya
Pada 10 November 2016, Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, mengeluarkan pernyataan mengejutkan pada peringatan 12 tahun meninggalnya Yasser Arafat. Ia secara terang-terangan mengaku tahu siapa yang membunuh Yasser Arafat.
"Kalian bertanya kepada saya siapa yang membunuhnya, saya tahu, tetapi kesaksian saya saja tidak cukup,” ungkapnya seperti dikutip dari Antara.
"Komisi penyelidikan sedang menyelidiki, tetapi kalian akan mengetahuinya lebih awal dan terkejut ketika tahu siapa yang melakukannya,” imbuh Abbas.
Namun, penerus Yasser Arafat itu menolak untuk mengucapkan nama sang pembunuh.
"Saya tidak ingin menyebut nama, karena nama-nama ini tidak layak diingat," pungkas Abbas.
Pernyataan Abbas itu hanya satu hari setelah ia menggunting pita sebagai simbol peresmian Museum Yasser Arafat. Terlepas dari kontroversi pernyataan ini, ucapan Abbas menyadarkan banyak pihak bahwa masih ada yang mengganjal di balik kematian Arafat.
Kematian mendadak Arafat di sebuah rumah sakit militer di Paris, Prancis, pada 11 November 2004 tepat hari ini 17 tahun lalu, memang menyisakan misteri. Arafat meninggal setelah kondisi kesehatannya menurun secara mendadak. Beragam spekulasi menyeruak, karena penelitian independen terpisah dari Swiss dan Rusia mengklaim adanya kadar polonium dalam jumlah yang berbahaya di dalam tubuh sang pemimpin.
Di sisi lain, penelitian resmi dari pihak Prancis--yang sempat menggali kubur Arafat pada tahun 2012—tidak menemukan kejanggalan dari peristiwa meninggalnya Arafat. Para dokter Prancis mengeluarkan pernyataan bahwa Arafat meninggal akibat hemorrhagic stroke setelah dua minggu sebelumnya mengalami gejala penyakit mirip flu. Ia akhirnya diterbangkan ke Prancis setelah dokter-dokter dari Yordania dan Mesir gagal mengidentifikasi penyakit yang mendera Arafat.
Spekulasi adanya pihak yang meracuni Arafat pertama kali disuarakan oleh Suha, janda Arafat. Suha yang tidak hadir dalam acara peresmian museum suaminya bersikeras bahwa kematian Arafat terjadi karena operasi intelijen tingkat tinggi yang melibatkan Mossad, dinas rahasia Israel.
Kematian Arafat memicu polemik. Warga Palestina menuduh Israel sebagai pihak yang bertanggung jawab atas meninggalnya Arafat, namun segera disangkal oleh pemerintah Israel.
Sementara itu, Mahmoud Abbas dan lawan politik bebuyutannya, Mohammed Dahlan, seperti diberitakan oleh AFP, saling menuduh keterlibatan satu sama lain atas meninggalnya Arafat.
Pihak Museum Yasser Arafat memilih untuk menampilkan versi yang paling kontroversial: Arafat meninggal karena diracun. Dalam keterangan yang tertera dalam museum, tertulis bahwa Arafat meninggal akibat racun yang diberikan oleh pihak Israel “berdasarkan bukti-bukti yang dikumpulkan dari laboratorium dan laporan medis serta pernyataan resmi dari pejabat-pejabat Israel”, meskipun pihak Israel sendiri telah membantah keterlibatan mereka. Untuk memperkuat klaim tersebut, pihak museum bahkan turut memajang hasil pemeriksaan medis dari Rusia dan Swiss yang menemukan adanya kadar polonium dalam tubuh Arafat.
Misteri kematian Arafat bagaikan kepingan puzzle yang belum lengkap, baik bagi Museum Arafat maupun dalam perjalanan sejarah Palestina secara keseluruhan. Hal ini membuat keberadaan Museum Yasser Arafat, seperti diulas oleh Isabel Kershner dari New York Times, menyisakan ambiguitas sekaligus menimbulkan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab bagi rakyat Palestina. Namun, museum ini juga dapat menjadi tonggak memori bagi warga Palestina atas perjuangan yang selama ini telah mereka tempuh.
“Saat saya masuk ke Muqata tempat Arafat bersembunyi di tengah-tengah kepungan Israel, saya bisa merasakan pahitnya ketidakadilan yang menderanya sepanjang hidupnya. Saya yakin semua orang Palestina ingin mengunjungi tempat ini, supaya mereka bisa menunjukkan kepada anak-anak mereka, bagaimana situasi yang harus dihadapi para pemimpin mereka dalam masa-masa blokade oleh Israel,” papar Bayan Mohammad, seorang pengunjung museum, seperti dikutip dari Reuters.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 13 November 2016. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Suhendra & Irfan Teguh Pribadi