Menuju konten utama
11 November 2004

Arafat-Suha, Kisah Cinta yang Tak Biasa dari Palestina

Pemimpin Palestina, Yasser Arafat, menikahi Suha Al-Tawil yang 34 tahun lebih muda darinya dan berbeda agama. 

Arafat-Suha, Kisah Cinta yang Tak Biasa dari Palestina
Header Mozaik Yasser Arafat. tirto.id/Sabit

tirto.id - Malam itu Bethlehem tak sunyi. Kembang api, tarian, koor, dan lampu laser menghiasi Manger Square, sebuah lapangan di tengah Bethlehem.

Yasser Arafat, seorang Muslim yang memimpin Fatah sekaligus pelopor berdirinya Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) duduk tenang di barisan paling depan Gereja Katolik Roma Saint Catherine, dekat Manger Square. Lengkap dengan sorban kotak-kotak khasnya, ia mendengarkan ceramah Michel Sabbah, uskup Katolik yang disebut Patriarch Latin.

Malam itu, 24 Desember 1995, Bethlehem, kota yang diyakini sebagai tempat suci kelahiran Yesus Kristus memang sedang merayakan Natal. Itu kali pertama Bethlehem merayakan hari raya umat kristiani dengan leluasa, karena saat itu Bethlehem sudah menjadi wilayah otoritas Palestina.

Sebagai pemimpin otoritas Palestina kala itu, Arafat memang punya niat khusus mendatangi acara pelayanan.

“Kita berdoa bersama, bekerja bersama demi kedamaian yang dijaga dan perjuangkan Nabi kita Yesus Kristus. Aku sangat yakin kita bisa mencapainya, tak hanya di Bethlehem sini, tapi juga di Yerusalem,” katanya sebelum pelayanan dimulai.

Sesuai keyakinannya, Arafat memang menganggap Yesus sebagai Nabi Isa. Dan tentu saja tak ada yang melaporkannya menista agama.

“Malam ini, Muslim, Kristen, dan Yahudi akan merayakannya di tanah damai,” kata Arafat.

Ia ingin Palestina yang dipimpinnya rukun dan harmonis. Damai dan bersatu di atas keberagaman agama masyarakatnya. Serge Schememan menuliskan suasana damai malam itu untuk The New York Times.

Istri Arafat, seorang Katolik yang kemudian masuk Islam setelah menikah, bahkan jadi orang yang menghidupkan lampu di atas puncak pohon natal yang dipacak di Manger Square.

Arafat memang dikenal sebagai muslim yang toleran. Di dalam PLO sendiri, ia juga turut merekrut pejuang pembebasan Palestina dari berbagai latar. Misalnya George Habash, seorang pemimpin pergerakan yang merupakan Katolik dengan idelogi komunisme.

Ia tak pernah melihat seseorang dari agamanya. Hal itu dibuktikannya saat menikahi perempuan yang duduk di sebelahnya, pada malam Natal Bethlehem 1995 itu.

Pernikahan yang Sulit

Arafat, pemimpin pergerakan pembebasan Palestina sempat dikira tak akan menikah. Bukan tak banyak perempuan yang mau dipersunting olehnya. Tapi betul kata pepatah, perkara jodoh tak ada yang tahu. Di usia 61, Arafat baru naik pelaminan bersama perempuan yang lebih pas dipanggilnya anak.

Namanya Suha Al-Tawil, perempuan Ramallah berusia 27 tahun menjadi tempat berlabuhnya cinta Arafat. Perempuan yang mewarnai rambutnya pirang itu disunting Arafat pada 1990. Namun, pernikahan disembunyikan cukup lama.

Arafat seorang Muslim Sunni, sementara Suha lahir dan dibesarkan keluarga Katolik. Pertemuan mereka terjadi di kamp pengungsi Al-Wuhdat di Yordania, pada 1985. Suha yang kala itu masih berumur 24 tahun agaknya sadar tak sadar kalau si 58 tahun Yasser Arafat terpikat olehnya. Ia menerima tawaran Arafat untuk jadi asisten dan penerjemahnya di Prancis selepas pertemuan tersebut.

Hubungan mereka terus berlanjut hingga keduanya memutuskan menikah secara diam-diam lima tahun kemudian pada ulang tahun Suha, tanggal 17 Juli. Kata Suha pada The Guardian, 2013 lalu, Ramonda Al-Tawil, ibu Suha tak setuju pada hubungan itu. Meskipun sang bunda sendiri, yang merupakan politikus dan jurnalis terkenal di Palestina, adalah orang pertama yang memperkenalkan pasangan yang berselisih usia 34 tahun itu.

Ramonda murka ketika mengetahui kabar itu. Ia langsung terbang ke Tunisia, tempat pasangan baru itu menetap. Ia marah hebat pada Arafat karena menilai pernikahan itu tak pantas karena jarak umurnya dengan sang putri.

Dan pertentangan itu tak hanya datang dari keluarga Suha. Orang-orang lingkaran terdekat Arafat juga bertanya-tanya kenapa harus Suha, perempuan Katolik, lulusan didikan Barat, yang umurnya dikalikan dua saja masih kalah tua dari Arafat.

“Sejak awal memang tak mudah,” kata Suha dalam wawancara dengan APTV pada 1994.

“Awalnya sangat berat. Sangat berat karena semua orang fokus padamu. Bahkan media mulai membicarakanmu mulai dari yang benar sampai yang tidak.”

Pernikahan mereka terkuak ke publik saat Suha mengunjungi Libya pasca-kecelakaan pesawat yang dialami Arafat tahun 1992.

Keresahan kedua keluarga merangkak jadi cibiran publik. Suha yang dikabarkan masuk Islam setelah menikahi Arafat, menurut Hareetz, Koran lokal Israel, melakukannya “hanya demi kepentingan politik”. Bahkan, WND.com menurunkan berita yang mempertanyakan keislaman Suha.

Tapi bak pasangan beda agama lainnya, mereka sendiri sudah khatam dengan perdebatan tentang keyakinan dan jarak umur. Keduanya bukan musabab pertengkaran yang terjadi dalam rumah tangga Arafat dan Suha.

Sepeninggal Arafat

Sebelum menerima pinangan Arafat, Suha sudah tahu risiko yang akan dihadapinya karena menikahi pemimpin Palestina. Lima tahun berpengalaman sebagai sekretaris membuatnya paham jadwal padat Arafat. Tapi ia tak menyangka perasaan sendiri yang muncul karena sering ditinggal begitu mengganggu.

“Belakangan aku paham alasan Ibu dulu melarangku,” kata Suha pada The Guardian. “Kalau saja dulu aku tahu apa yang akan kulalui, pasti aku tak akan menikahinya… Dia memang pemimpin yang hebat, tapi aku kesepian.”

Selain keyakinannya yang dipertanyakan, dandanan, gaya bicara, idelogi, dan semua gerak-gerik Suha memang “diganggu” media dan protokol keamanan kenegaraan.

Pasca-pernikahan mereka terekspos, Suha harus mengisolasi diri demi alasan keamanan. “Aku harus selalu berhati-hati saat bicara di telepon karena kemungkinan dibajak, belum lagi harus selalu pindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.

“Identitasku benar-benar hancur,” tambahnya.

Rambut pirang, blus-blus cantik, dan sepatu hak tingginya juga sering jadi bulan-bulanan. Patrick Bishop dari Telegraph pernah menulis, “Di jalanan [Palestina], Suha lebih sering dirutuk sebagai perempuan nakal yang menjampi-jampi pemimpin dan merobek kocek rakyat untuk membiayai gaya hidup mewahnya di Paris.”

Infografik Mozaik Yasser Arafat

Infografik Mozaik Yasser Arafat. tirto.id/Sabit

Gaya Suha, lulusan Universitas Sorbone, Paris, memang berbenturan dengan budaya patriarki di tanah Arab. Ia yang datang dari keluarga berada dan berpendidikan memang lebih sesuai dengan kehidupan bebas berekspresi ala Barat.

Dalam wawancara dengan APTV, Suha yang baru beberapa tahun menikah dengan Arafat, mengaku sering merindukan kehidupannya di Paris dulu. “[…] yang paling kurindukan adalah kebebasan,” katanya.

Sebelum melahirkan putri mereka, Zahwa Arafat pada Juli 1995, Suha akhirnya memutuskan untuk kembali tinggal di Paris. Sejak itu, Arafat juga lebih sering tinggal di Paris, meski ia tetap sesekali harus pindah-pindah demi keamanan.

Kendati hidup Suha setelah menikahi Arafat makin sulit dan ia menyesalinya, tapi “Hidup tanpa Arafat jauh lebih sulit,” ungkapnya.

Arafat wafat pada 11 November 2004, tepat hari ini 16 tahun lalu, karena pendarahan otak. Belakangan, Suha yakin suaminya mati diracun setelah investigasi yang dilakukan Al-Jazeera.

Setelah jadi janda, hidupnya memang bukan makin mudah. Tuduhan-tuduhan sinis kerap mampir. Mulai dari mereka yang tak habis-habis mempertanyakan keyakinannya, menudingnya mengincar kekuasaan di PLO, dirumorkan menikah lagi berkali-kali, hingga mempertanyakan keuangan sang janda Arafat.

Semua itu dibantahnya tegas dalam wawancara dengan The Guardian pada 2013. Ia mengaku menerima lusinan lamaran setelah jadi janda. Tapi belum sekali pun melepas statusnya dari janda Arafat. Ia juga tak mungkir menerima pensiunan dari Palestina sebesar 10 ribu Euro setiap bulan.

“Itu bukan rahasia, kan didokumentasikan,” ujar Suha.

“Sangat berat hidup dengan tudingan-tudingan, karena jauh sebelum hidup dengan tudingan-tudingan itu, ada Yasser di sisiku. Dia selalu ada untuk melindungiku,” kata Suha pada Al Jazeera, 2012.

“Suha, jangan resah, bukan kau yang sebenarnya mereka serang. Aku… Aku yang mereka serang, lewat kamu,” kata Suha mengingat pesan suaminya dulu.

Suha pernah bilang pada Sabah, sebuah Koran Turki, kalau dia sangat mencintai suaminya, tapi tak memungkiri kalau ada sesal di pernikahannya.

“Aku tahu banyak wanita yang mau dinikahi Arafat, tapi dia cuma mau aku. Jadi istri Yasser Arafat sudah takdirku,” katanya.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 24 Desember 2016. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait PALESTINA atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Humaniora
Penulis: Aulia Adam
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti & Irfan Teguh