Menuju konten utama
5 Maret 1967

Mossadegh, PM Iran Penentang Minyak Inggris yang Dikudeta CIA

Mossadegh pernah dianggap sebagai pahlawan nasional Iran karena berusaha mengakhiri campur tangan Inggris.

Mossadegh, PM Iran Penentang Minyak Inggris yang Dikudeta CIA
Ilustrasi Mozaik Mohammad Mosaddegh. tirto.id/Tino

tirto.id - Di Ray, salah satu kota tertua di Provinsi Tehran, Iran, terdapat sebuah permakaman terkenal bernama Ibn Babawayh Cemetery. Di sana ada satu batu peringatan setinggi tiga meter yang terukir nama seorang tokoh yang ditulis menggunakan kaligrafi Farsi. Keadaan batu peringatan itu sudah terbelah dua, dirusak oleh sekelompok orang sepekan setelah satu-satunya peringatan yang pernah digelar pada 19 Juli 1980—13 tahun setelah kematian sang tokoh.

Namun, tak ada jenazah di sana. Kuburan itu kosong.

Harus menempuh perjalanan sekitar 120 kilometer dari Provinsi Tehran ke sebuah desa kecil bernama Ahmadabad di Provinsi Yazd, jika ingin tahu di mana jenazah itu berada. Masyarakat sekitar Desa Ahmadabad paham betul lokasi jenazah tokoh itu berada di sebuah rumah dua lantai, yang dikelilingi pagar logam setinggi tiga meter. Mereka menyebutnya “Benteng”. Siapapun tak diizinkan untuk mengunjungi makam itu.

“Jika Anda ingin melihat lokasinya, pergilah ke sisi lain benteng,” kata seorang gadis penjaga toko kelontong kecil di dekat gerbang masuk. Gadis itu bisa jadi juga akan memperingatkan kalian: “Cepatlah. Jika polisi datang, Anda akan mendapat masalah.”

Lebih dari setengah dekade setelah kematiannya, sang tokoh masih menjadi tabu. Ia kontroversial: makamnya tak boleh dikunjungi siapapun, tak pernah ada patung atau monumen yang didedikasikan untuk dirinya, namun sebagian warga Iran mengultuskannya.

Di masa lalu, ia dianggap sebagai pahlawan nasional karena pernah berusaha mengakhiri “150 tahun campur tangan politik Inggris, eksploitasi ekonomi, dan penjarahan sumber daya nasional Iran.” Demikian tulis wartawan asal Iran, Mehrnoush Cheragh Abadi, untuk Equal Times.

Dia adalah Mohammad Mossadegh, orang Iran yang paling dibenci negara-negara Barat.

Anak Menteri di Antara Rezim-Rezim Shah

Mossadegh lahir pada 16 Juni 1882 di Tehren. Bapaknya, Mirza Hedayat Ashtiani, adalah Menteri Keuangan, sedangkan ibunya, Najm al-Saltaneh, ada di lingkaran terdekat dinasti Qajar—kerajaan yang berkuasa di Iran sejak 1794 hingga 1925 yang dipimpin oleh seorang Shah (raja).

Saat berusia 10 tahun, bapaknya meninggal karena penyakit kolera. Ia dibesarkan oleh ibunya sampai pernah mendapat julukan “Mossadegh al-Saltaneh”. Saat Iran menetapkan kebijakan kartu identitas penduduk, dengan bangga ia hanya ingin menggunakan nama “Mossadegh”, yang artinya “benar dan autentik”.

Berkat nama orang tuanya, Mossadegh mulus melenggang ke birokrasi. Ia dipercaya menjadi Mostofi—semacam Kepala Keuangan—di Provinsi Khorasan saat berumur 15. Empat tahun setelahnya, ia menikahi seorang putri dinasti Qajar hingga punya lima orang anak. Tahun 1906, saat umurnya belum mencapai serempat abad, warga Kota Esfahan di Provinsi Tehran memilihnya menjadi anggota parlemen. Namun, pemilihan itu batal karena umurnya tak mencukupi syarat dan ketentuan.

Mossadegh sempat mencicip studi ilmu politik di salah satu kampus di Tehran, dan pada 1909 melanjutkan studinya ke Prancis. Namun, kuliahnya tak berjalan lancar. Ia sakit-sakitan, fisiknya lemah dan mudah kelelahan, hingga akhirnya ia pulang ke Iran tanpa menyelesaikan kuliahnya.

Apa yang dialami oleh Mossadegh saat itu, kita kenal saat ini dengan nama chronic fatigue syndrome—sindrom kelelahan kronis. Bisa jadi, keadaan kesehatan ini yang menjadi latar belakang mengapa Mossadegh akhirnya menjadi politikus yang cukup “unik”: sering pakai piyama di acara publik, pernah berpidato ke parlemen di atas tempat tidur, dan sering menangis di depan umum.

Namun akhirnya ia kembali ke Eropa dan menjadi orang Iran pertama yang menyelesaikan studi doktoral hukum di University of Lausanne, Swiss. Tahun 1914, ia memutuskan kembali ke Iran, tepat sehari sebelum Perang Dunia I meletus.

Tiga tahun setelah kembali ke Iran, ia menjadi Sekretaris Deputi di Kementerian Keuangan. Mossadegh ingin menjadi pribadi yang bersih dengan berusaha memberantas korupsi dan menemukan bukti beberapa individu yang terlibat. Tak lama, tahun 1919, ia memilih hengkang ke Swiss karena ribut-ribut soal perjanjian tambang minyak antara Iran dan Kerajaan Inggris.

Tahun 1925, pusat politik Iran berubah. Reza Shah Pahlavi naik tampuk kekuasaan, mengganti era kejayaan dinasti Qajar dengan dinasti Pahlavi. Kendati demikian, sistem pemerintahan tak banyak berubah. Iran hanya mengalami pergantian dari kekuasaan monarki ke kekuasaan monarki yang lain.

Saat itu, Mossadegh sudah menjadi anggota parlemen, dan dalam sejarah Iran menjadi pihak oposisi pertama yang menantang Shah. Ia mengkritik keras rezim dinasti Pahlavi yang didukung oleh Kerajaan Inggris, karena kepemimpinannya cenderung diktator: kasar, opresif, dan lingkungan politik yang tidak sehat—yang sangat tidak sesuai dengan kesehatan dirinya.

Karena frustasi, pada 1928 ia memilih mundur dan mengasingkan diri di desa kecil bernama Ahmadabad di Provinsi Yazd. Di sana, lebih dari satu dekade, Mossadegh menghabiskan waktu untuk membaca, berkebun, dan melakukan banyak eksperimen agraria dengan para petani.

Namun, lari dari politik ternyata tak membuat keadaan aman. Hingga November 1940, setidaknya dua kali tempat tinggal Mossadegh digrebek aparat Reza Shah dan dua kali pula menjadi tahanan politik tanpa kesalahan yang jelas. Salah satu putri Mossadegh, Khadijeh, sampai mengalami trauma berkepanjangan seumur hidup karena melihat ayahnya ditangkap paksa dengan kekerasan.

Namun, di pengasingannya itu justru Mossadegh menempa dirinya yang kelak menjadi pribadi berani, punya taji, dan lantang bersuara untuk mencabut pancang-pancang kolonialisme yang kadung mengakar kuat di bangsanya.

Dikudeta CIA karena Urusan Minyak

Warsa 1941, setahun setelah lepas dari tahanan politik, pusat politik Iran berubah kembali. Reza Pahlavi dipaksa mundur dan digantikan oleh anaknya, Mohammad Reza Pahlavi. Menurut Shareen Blair Brysac dalam artikelnya tahun 2007, A Very British Coup: How Reza Shah Won and Lost His Throne, Kerajaan Inggris punya peran signifikan dalam hidup Reza Shah: berkat Inggris ia naik sekaligus turun dari takhta karena kudeta.

Tiga tahun setelahnya, Mossadegh kembali menjadi penjabat publik setelah terpilih di parlemen. Ia membangun basis politik yang kuat untuk menasionalisasi konsesi dan instalasi tambang minyak The Anglo-Persian Oil Company (APOC) milik Inggris yang berada di Iran selatan. Di sisi lain, ia juga menolak hibah konsesi tambang minyak Uni Soviet di Iran utara. Ia keras betul ke semua kubu.

Ide nasionalisasi minyak pertama kali muncul pada 8 Maret 1951. Di parlemen, ia konsolidasi ke semua politikus untuk loloskan undang-undang nasionalisasi minyak di Iran. Di mata Mossadegh, lebih dari 150 tahun intervensi Kerajaan Inggris atas semua hajat hidup orang banyak di Iran harus segera diakhiri. Ia ingin Iran menjadi independen, bebas, dan demokratis.

Ia percaya tak ada negara yang independen secara politik tanpa independen secara ekonomi terlebih dahulu. Oleh karena itu, nasionalisasi minyak jadi prioritas utama. Undang-undang nasionalisasi minyak lolos pada 20 Maret 1951. Satu bulan setelahnya, Mossadegh berhasil menjadi Perdana Menteri Iran setelah 90 persen suara representasi parlemen memilihnya.

Kebijakan untuk menasionalisasi minyak di Iran tentu bikin Shah dan Kerajaan Inggris berang. Bahkan, Perdana Menteri Iran sebelum Mossadegh, Ali Razmara, dibunuh di bulan yang sama undang-undang disahkan karena ikut mendukung program itu. Saat Mossadegh menggantikan posisi itu, tambah beranglah Shah dan Kerajaan Inggris.

Kolonialisme Kerajaan Inggris dalam perkara tambang minyak bisa dilacak pertama kali pada 1901, saat pengusaha minyak asal Inggris, William Knox D’Arcy, dapat konsesi eksplorasi dan eksploitasi minyak hingga 60 tahun di Iran bagian selatan. Enam tahun setelahnya, berdirilah The Anglo-Persian Oil Company (APOC). Sebelum Perang Dunia I, Kerajaan Inggris pun membeli saham perusahaan hingga 51 persen. Hal inilah yang membuat Kerajaan Inggirs bisa memengaruhi kebijakan politik Iran.

Pasca nasionalisasi minyak, Iran mengalami krisis politik dan ekonomi. Beberapa penyebabnya seperti Kerajaan Inggris yang memberi sanksi ekonomi hingga pengerahan pasukan militer ke Iran.

Namun, Mossadegh tak kehilangan akal. Ia sampai rela datang ke Pengadilan Internasional di Belanda guna mempresentasikan 200 dokumen terkait eksploitasi sumber daya alam dari perusahaan minyak Inggris hingga bagaimana intervensi ke sistem politik Iran. Tak heran, ia menjadi Man of the Year versi Majalah TIME edisi Januari 1952.

Puncaknya pada awal 1953 saat Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat (Central Intelligence Agency, CIA) membuat rencana untuk penggulingan Mossadegh. Mereka sampai bikin studi berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejatuhan Mossadegh”, dengan konklusinya: kudeta Mossadegh mungkin untuk dilakukan.

Dana yang disiapkan pun tak kecil. Totalnya sebesar 1 juta dolar Amerika Serikat yang tujuannya untuk, “menciptakan, memperluas, dan meningkatkan permusuhan dan ketidakpercayaan publik serta ketakutan terhadap Mossadegh dan pemerintahannya."

Pada 15 Agustus 1953, aksi penggulingan Mossadegh dilakukan oleh CIA dengan nama Operation Ajax, berkolaborasi dengan anasir-anasir Shah—karena saat itu Shah eksil di Eropa. Operasi itu dipimpin langsung oleh Kermit Roosevelt Jr. Namun, operasi hari itu gagal. Upaya kudeta kedua dilakukan pada 19 Agustus 1953. Mossadegh sempat kabur, namun rumahnya diserang dan dibakar.

Di mata CIA, upaya kudeta atas Mossadegh berhasil dilakukan hanya dalam waktu empat hari—aksi tersebut baru diakui secara resmi 60 tahun setelahnya, 19 Agustus 2019.

Hari berikutnya, 20 Agustus 1953, Mossadegh menyerahkan diri ke aparat dan dipenjara. Di jalanan, kerusuhan terjadi ekses dari protes para pendukung Mossadegh. Mereka ditangkap hingga disiksa. Lebih dari 300 orang mati karena kerusuhan itu.

Keesokan harinya, 21 Agustus 1953, Shah pun kembali ke Iran setelah eksil di Eropa. Waktu yang singkat untuk seorang kolaborator kudeta kembali ke negara asalnya. Rezim teror pun dimulai.

Infografik Mozaik Mohammad Mosaddegh

Infografik Mozaik Mohammad Mosaddegh. tirto.id/Tino

Korban Pembelokan Sejarah

Desember 1953, Mossadegh diseret ke Pengadilan Meter dan dituduh melakukan pengkhianatan. Ia divonis tiga tahun penjara. Dalam pidato penutupnya di pengadilan, ia mengaku bahwa putusan yang dirinya terima di pengadilan adalah risiko yang harus ditanggung karena upaya nasionalisasi minyaknya selama ini.

“Dengan berkah Tuhan dan keinginan rakyat, aku melawan sistem yang mengerikan ini, terutama dari kolonialisme internasional. Saya sangat sadar bahwa takdirku harus dijadikan contoh di masa depan di seluruh Timur Tengah untuk hancurkan rantai perbudakan keinginan penjajah,” katanya.

Satu tahun kemudian, perusahaan tambang minyak Inggris kembali beroperasi di bawah kesepakatan baru: pendapatan sesama 50 persen dalam pengendalian produksi dan pemasaran dengan konsorsium internasional. Dengan demikian, upaya nasionalisasi minyak telah gagal.

Usai menjalani masa penjara tiga tahun, Mossadegh lanjut menjalani tahanan rumah di Ahmadabad hingga akhir hayatnya pada 5 Maret 1967, tepat hari ini 55 tahun lalu.

Mossadegh menginginkan pemerintahan bersih dan sistem peradilan yang independen, mempertahankanan kebebasan beragama dan afiliasi politik, serta mempromosikan kebebasan memilih. Ia implementasikan banyak reformasi kebijakan dan memperjuangkan hak-hak perempuan, pekerja, dan petani. Namun, ia tahu, langkahnya selalu berseberangan dengan Shah, jenderal militer, pemimpin ulama, tuan tanah, dan pemerintahan Inggris dan Amerika.

Mossadegh tak pernah berada di permakaman permintaan terakhirnya. Salah seorang cucu Mossadegh, Abdol-Madjid Bayat Mossadegh, bilang bahwa Mossadegh sebenarnya sangat ingin dimakamkan di Ibn Babawayh di Provinsi Tehran.

“Tempat pemakaman di Ibn Babawayh telah siap untuknya selama bertahun-tahun. Bumi siap menerima tubuhnya, tetapi tidak ada yang membiarkan ini terjadi,” ujarnya sedih.

Baca juga artikel terkait IRAN atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Irfan Teguh Pribadi